[Matahari Milikku] #16. Kompetisi
Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #15. Heavy Rotation
!@#$%^&*()
Melody menutup mulutnya dengan telapak tangan menahan tawa, sementara aku menelungkupkan wajahku. Benar-benar malu.
“Ky, lo gimana sih? Lo nggak peka apa
nggak tahu, apa gimana sih?” protesku.
Dicky menengadahkan wajah, meninggalkan
sebentar kekhusyukannya melahap mi ayam.
“Maksud lo apa sih? Ngomong yang jelas
dong,” jawabnya kalem.
Aku memutar bola mata. Gemas. “Tadi Mela itu...”
“Kover dance-nya JKT48. Iya kan?” potongnya.
“Iya.”
“Emang kenapa?”
Sekarang aku baru tahu Dicky ini
kesadarannya pergi ke bulan. “Itu semua buat elo.”
“Kelihatan.”
“Lha trus??”
“Kalau terus nabrak dong.Nggak ada jalan
yang terus melulu.”
Aku menghela napas, sengaja dengan
keras. Kayaknya capek ngomong ama Dicky. Pembawaannya yang santai sementara aku
bersungut-sungut seperti ini, membuatku tahu untuk membuatnya sadar akan
perbuatan fatal “meninggalkan” pertunjukan tiba-tiba begini nggak berhasil.
Kayaknya dia emang laper banget, jadi sebodo amat untuk urusan yang lain.
Kesadarannya bakal pulang dari bulan ketika perutnya sudah puas terisi.
Tapi ternyata diamnya aku membuat acara
melahap mi ayamnya terhenti. Ia melepas sendok dan garpu dari tangannya, melipat
tangan di meja seperti anak TK berdoa untuk pulang, menatapku lekat-lekat. “Lo
kenapa sih, Nal?”
Oke. Kuputuskan memulainya dengan cara
yang lebih mudah. “Mela begitu karena lo, lo tahu apa alasannya?”
Dicky berpikir sebentar. Lalu ia menggeleng
pelan.
“Dia suka lo. Dia lagi cari perhatian
lo. Amati lirik Heavy Rotation tadi, Dick. Dan semua yang dia lakukan. Apa nggak
cukup memberitahu elo betapa sukanya dia ama lo? Sampai dia nekat, nggak peduli
bakal dimarahin atau ditegur anak OSIS maupun juri karena seperti mengkhususkan
acara ini sebagai acara pribadi, sewa kostum, belajar koreo, dan sebagainya.”
“Jadi menurut lo, dia tadi nyatain
perasaannya ama gue?”
“Iya,” jawabku. “Di depan semua siswa di
sini.”
Dicky terkesiap, matanya membulat.
Amboi, ternyata kesadarannya benar-benar terbang ke bulan! Menunggu biar
dijelasin dulu buat paham. Dicky ini lemot apa gimana sih?
Dicky menyandarkan badannya ke sandaran
kursi. Lalu ia mengambil bunga mawar putih pemberian Mela di saku seragamnya.
Ia menatapnya sebentar. Tak dapat kutangkap makna apapun dari pandanganya.
Setelah itu ia merentangkan tangan, membawa mawar itu ke hadapanku.
Aku mengangkat alis, ia menambahkan
dengan lembut, “Buat lo.”
Aku berjengit, tidak setuju. Tidak ada
perasaan tersanjung sama sekali, karena situasi sangat berbeda. Semua kelakuan
Dicky benar-benar di luar dugaan. Pola pikirnya tidak bisa kucerna.“Maksudnya?
Ini kan pemberian Mela buat lo.”
“Gue nggak suka, buat lo aja.Gue nggak
suka bunga kali.Kalau Mela suka gue, masa dia nggak tahu?”
Aku diam. Menatapnya serius. “Ini
pemberian orang. Kalau lo nggak suka, setidaknya lo terima, demi menghargai
orang yang memberi.”
“Trus ini mawar mau gue apain?Kalau ini
udah jadi milik gue, terserah kan mau gue apain?”
Aku melipat bibir, menatapnya datar. Entah
mengapa aku kecewa. Ia seperti meremehkan apa yang telah Mela beri.
Aku mendorong tangannya yang memegang
mawar itu. Ia bingung, menarik tangannya pelan-pelan. “Maaf, gue nggak bisa.”
“Apa lo nggak suka mawar juga?”
“Bukan gitu.”
“Lantas?”
Sebelum melaksanakan niat untuk pergi,
kutatap ia sebentar. Aku meyedot habis es teh manisku dan beranjak
berdiri. Semua pergerakan tubuhku diikuti mata Dicky yang bingung dan kaget. Aku
melangkah menuju ibu kantin, menyerahkan uang ribuan.
“Gue pergi dulu,” pamitku tanpa
memandangnya lagi.
Tapi ternyata tangan Dicky masih sempat
meraih tanganku. Aku bergetar, darahku mendesir. Ada keinginan untuk menoleh,
tapi disusul perasaan, apa gunanya? Jadi aku bergeming, menunggu ia bicara.
“Bukannya lo benci Mela?” tanyanya.
Aku memutar kepala sedikit, tidak sampai
memandangnya, lebih tepatnya memandang pundakku sendiri.“Tapi gue salut dengan
usahanya untuk dapetin lo.” Meski gue harus kesakitan, sambungku dalam hati.
Karena Dicky tidak juga melepas tanganku
meski sudah didengarnya jawabanku, akhirnya kulepas tanganku dengan
paksa. Setelah itu aku pergi meninggalkan kantin, diiringi banyak tatap pasang
mata. Mungkin mereka pikir aku jahat, menggagalkan usaha Mela tadi. Begitu, orang
yang tidak tahu duduk perkaranya bisa bicara sembarangan. Terserah. Aku lelah. Aku
hanya ingin berdiam di kelas, menikmati semua kasak-kusuk panas itu sampai aku
kebal.
***
Brak!!
“Maksud lo apa, hah? Gue belum selesai!
Tapi lo malah ajak Dicky pergi!”
Dari kelima jari dengan jarak
lebar-lebar di atas meja kupandang, merambat menuju pangkal, lalu tepat pada
mata. Ketika sepasang mata itu membara, seperti ada minyak gas dalam diriku,
yang membuatku ikut tersulut. Tanpa perlu banyak waktu, mataku yang kaget
berubah menjadi kebencian.
Suasana kelas menjadi sunyi senyap
karena sebelumnya ramainya melebihi keramaian pasar. Namanya aja jam kosong
seharian. Dan acara tadi sudah selesai. Tidak perlu melirik sekeliling, kami
sudah jadi pusat perhatian. Jumlah pasang mata? Random. Melihat gelagat Mela dalam
perjalanannya dari kelasnya menuju kelasku pasti sudah memancing minat banyak
siswa.
Aku beranjak berdiri perlahan tanpa
melepas sasaran busur panahku. Mata Mela mengikuti, masih dengan api membara
dan dagu dinaikkan.
“Gue nggak ngajak Dicky pergi!”
“Apanya?” tandas Mela telak dengan
timing kelewat cepat. “Gue lihat lo malah pergi berdua ama dia ke kantin!”
“Iya, tapi bukan gue yang ajak!”
“Nggak mungkin! Gue nggak percaya!”
“Lo punya mata sih, hah?” tantangku
pedas, menunjuk atau bahkan hampir menculek mataku sendiri. “Lo lihat sendiri
kan? Dicky yang jalan ke gue duluan! Bukan gue yang nyamperin dia!!”
Mela diam sebentar. Harusnya ia sadar,
pergi ke sini dengan niat melabrak tanpa membawa bukti banyak hanya membuatnya
kepalang malu. Aku tidak perlu takut. Jumlah penonton pertunjukkannya tadi
hampir ribuan, yang artinya semua penghuni sekolah ini, jadi banyak saksi mata.
Yang kuperlukan hanyalah melumpuhkannya di saat ia lengah menyadari
kecerobohannya.
Tapi bukan Mela namanya kalau mau malu
di depan banyak orang. “Kinal, denger ya. Dicky itu punya gue! Gue peringatin
ama lo, jangan deketin dia!”
Egois. “Memangnya kenapa? Apa hak lo
ngelarang gue?” Amarah yang terlanjur tersulut sulit membuatku kembali
waras.Tidak ada niat bagiku untuk mundur. Akal sehat tertutup awal tebal sekuat
baja. Tinggal menunggu aku menimbulkan masalah yang baru.
Mata Mela makin garang. Ia melipat tangan
di dada. “Lo nggak tahu siapa gue? Lo berani cari masalah ama gue, gue...”
“Kenapa? Apa karena lo anak dari yang
menyumbang besar untuk sekolah ini? Yang kaya kan bokap lo, bukan elo! Ironis
banget ya, elo pamer kekayaan orang tua!”
Mela melongo. Ia tersentak, tubuhnya
sampai terguncang. Setelah memberi lampu hijau untuk emosi jiwa, aku telah
mengibarkan bendera merah pada banteng yang sedang marah.
Seiring dengan itu, mata Mela meruncing.
Kucing sekalipun yang ditatap seperti itu akan lari. “Kenapa demen banget sih
lo gangguin gue?” tanyanya, suaranya bergetar. Aku membulatkan mata. Nggak
kebalik apa? “Lo suka Dicky, hah?”
“Kalau iya kenapa?”
Suara lantangku membelah kebisuan
memancing banyak dugaan.
Kulihat tangan Mela terkepal kuat.
Tatapannya yang kejih membuatku berpikir ia mau membunuhku kalau saja tidak ada
hukum membatasi.
“Oke, Kinal.Selamat datang dalam
kompetisi,” desisnya.
***
Setelah mengatakannya, dengan dagu
diangkat tak peduli riasan wajahnya berantakan akibat air mata, Mela
menghentakkan kaki keluar dari kelas. Dan membentak semua orang yang menurutnya
menghalangi jalannya.
Sebelum melangkah pergi, mata setajam
elang Naomi menusukku. Aku diam, pun tidak membalas. Dengan rambut dikibaskan ia
berjalan keluar, mengikuti sang kapten. Sedang Acha tak menghiraukanku, Ayen
mengancamku dengan mengepalkan tangannya.
Saat mereka semua telah hilang,
pandangan sekeliling masih tertuju padaku. Pasti, mata mereka sarat akan tanda
tanya beserta cerita yang baru saja mereka tonton. Bagus. Kehidupan setengah
pribadiku diketahui seluruh teman kelasku.
Badanku melemas. Aku butuh Melody. Tapi
bangkunya belum terisi. Ia masih makan siang dengan Ayana di kantin.
***
Sampai rumah sepulang sekolah, aku baru
paham dan sadar. Karena kewarasanku sudah pulih.
Oke, ini bencana. Pertama, kenapa tadi
begitu mudah aku terpancing emosi? Kedua, bodoh sekali, mengaku pada banyak
orang kalau aku menyukai Dicky. Ketiga, aku menyetujui permusuhanku dengan Mela,
demi menarik perhatian Dicky.
Memang segitu dangkalnya aku mau
membangun permusuhan hanya demi satu cowok?
Uwaaaah!! Hari yang berat.
Aku ingin membatalkan niat ini. Tapi
bendera perang yang diajukan Mela sudah kubalas sebagai tanda setuju. Tapi aku
tidak mau maju. Tidak, tidak. Aku harus membatalkan ini.
Maka aku berpikir, lebih baik mengalah
saja. Menganggalkan permusuhan ini dengan cara perlahan, yakni bersikap pasif
saja. Tidak meladeni apa yang dilakukan Mela terhadap Dicky. Ya. Lebih baik begitu. Urusan
patah hati, belakangan aja.
Tapi tidak dengan orang lain.
Ketika hari sudah berganti, topik aku
rebutan Dicky dengan Mela sudah bisa mengalahkan pamor berita kucing segede
kambing obral di pasaran (ngaco). Berita ini bisa kautemukan di mana saja di
sekolahku, di kantin, kamar mandi, ruang guru yang dimasuki siswa untuk
mengumpulkan tugas, kelas-kelas, laboratorium, masjid, bahkan sampai ke rumah
penjaga sekolah yang ikut ngerumpi bareng siswa. Ditambah dengan jumlah cewek
yang notabene bermulut ceriwis yang bejibun di sekolahku, berita itu mulai
ditambah-tambah dengan argumen dan dugaan yang tidak bertanggungjawab. Kupikir,
pasti gampang kalau berita ini nangkring di deretan teratas trending topic sedunia di Twitter.
Sudah begitu, mereka membicarakannya
tidak tahu waktu maupun tempat. Segitu pentingnya sehingga waktu pelajaran juga
diambil untuk bergosip. Tidak tahu tempat ketika ketiga pemeran utama berita itu
lewat, mulut mereka masih aktif mengeluarkan lahar (memangnya gunung berapi).
Jadi bukan tak mungkin berita ini sampai
di telinga Dicky.
“Ada apa sih dengan lo? Gue pikir lo
lebih dewasa dari Mela.Kok bisa-bisanya lo iyain aja permintaan dia.”
Kalau kalimat Dicky barusan adalah
kereta, mungkin kereta jurusan membuat hati Kinal patah-patah.
Setelah ditanya lagi oleh siswa-siswa
yang tidak hadir saat ikrar diucapkan, Mela mengiyakan dengan tegas.Membuat
mereka berpikir, kompetisi ini sedang hangat-hangatnya. Hal ini menimbulkan
adanya dua oknum bernama Willy dan Dimas, yang diketahui sebagai teman sekelas
Kinal dan Dicky, menggelar wawancara dadakan! Demi mengumpulkan titik temu dan
menyimpulkan hipotesa, juga membuat survei tentang jawaban dari persaingan
ini. Bagaimana saja pendapat mereka semua? Cekidot!
Sasaran 1. Seorang cewek kelas 3
IPS. “Menurut gue sih, Kinal ya. Dia kalem, cantik, nggak sombong kek Mela.”
Sasaran 2. Cewek kelas 1. “Kak Kinal!
Karena Kak Mela itu seenaknya! Bener kata Kak Kinal, Kak Mela itu nggak malu
apa, pamer kekayaan yang bukan hasil kerja dia? Harusnya Kak Dicky udah bisa melihat
dari situ dong. Kalau Kak Dicky milih Kak Mela, bisa-bisa gunung berapi bakal
meletus lebih dahsyat! Karena bisa kiamat! Karena bagi gue, tindakan seperti
itu... pppffftt...” Sebelum mendengarkan dongeng sebelum tidur yang diucapkan
dengan logat proklamasi, Willy cepat-cepat membereskan alat-alat wawancara
sementara Dimas membekap mulut cewek pendukung moral anak muda di masa depan
itu.
Sasaran 3. Cowok kelas 3 jurusan
IPS. “Menurut gue, mungkin Mela. Setelah tiga hari setelah mereka resmi musuhan,
gue bingung karena Kinal justru pasif. Dia mau-mau aja tuh pas Dicky diambil
Mela pas mereka berdua jalan ke kantin. Jadi pikir gue, Kinal nyerah duluan. Mela
deh.”
Sasaran 4. Cowok di kelas dan jurusan
yang sama dengan sasaran 3. “Kinal nggak konsekuensi sama kata-katanya. Awalnya
gue salut, dia satu-satunya cewek yang bisa bantah omongan Mela dan bicara soal
fakta jelek mengenai Mela.Tapi pas dilihat kok dia pasif gitu. Melempem kayak
kerupuk!”
Sasaran 5. Cowok kelas 3 jurusan
Bahasa. “Kinal ama Mela sih cantikan Kinal, tapi Mela punya apa yang nggak
dipunya Kinal. Kinal juga punya apa yang nggak dipunya Mela. Gitu kali ya,
namanya manusia, punya kelebihan dan kekurangan, sudah begitu...” Wawancara ini
dihentikan dengan cara Willy dan Dimas kabur segera sebelum komentar itu
merembet panjang menjadi ceramah di pagi hari.
Sasaran 6. Cowok kelas 3 jurusan IPA,
satu kelas dengan Shania. “Kinal ama Mela? Cantikan Emak gue kali!” Bletak! Ini
sih saran sableng. Maka sebagai upah, Willy dengan telak menjitak kepala cowok
itu.
Sasaran 7. Cewek kelas 1 lagi. “Kak
Kinal! Karena Mela kecentilan itu udah bikin gebetan gue kabur. Sial banget
sih? Gue benci banget ama Mela, udah gitu dia beraninya keroyokan. Ke mana-mana
ama temen-temennya. Gue pilih Kak Kinal! Hidup Kak Kinal!!”
Sasaran 8. Dua cowok kelas 2 jurusan Bahasa. “Gue sih Mela ya. Soalnya Mela punya niat yang kuat banget buat dapetin
Dicky.”
Cowok dua membantah. “Enggak dong.Menurut
gue Kinal. Meski kelihatannya diem begitu, siapa tahu aja dia punya cara lain.
Pakai jalan silent but deadly. Lagian
Mela kecentilan. Gue pilih Kinal.”
Cowok satu melotot tidak setuju. “Bego
amat sih lo? Mela lah yang menang!”
“Kinal!”
“Mela!”
Bak bugh!! Dengan susah payah Dimas dan
Willy melerai dua cowok yang adu pukul itu.
Sasaran 9. Cewek kelas 2 jurusan IPA.
“Kinal. No komen.” Ini sih niru artis Desy Ratnasari kali ye.
Sasaran 10. Cowok kelas 1. “Nggak
dua-duanya. Gile aja harus berantem demi satu cowok. Lagipula apa bagusnya
Dicky? Ganteng iya, tapi cowok kan banyak di dunia ini. Gue saranin udahan aja
lah. Cari cowok lain. Buat Kinal, mending dia lihat gue dulu deh!”
Sementara komentar dari antek-antek Mela
hanyalah, “Tunggu aja ya,” sambil tersenyum sinis, teman-teman Kinal
sebaliknya.Hanya mengangkat bahu, terlebih bingung. “Terserah Kinal.”
Berdasarkan semua yang diwawancarai
Dimas dan Willy, memang banyak memilih Kinal.Jadi bagi mereka, yang keluar
sebagai pemenang adalah Kinal.Lalu bagaimana dengan kenyataannya?Tunggu
selanjutnya di SILAT INVESTIGASI.
Tapi ternyata, perbuatan Willy dan Dimas
itu juga menimbulkan dampak lain. Kompetisi ini berubah menjadi sayembara! Di
hari kelima, ada oknum tidak bertanggungjawab berkeliling ke kelas-kelas sambil
membawa kotak amal masjid sekolah sambil teriak-teriak “Kinal lima ribu lima
ribu! Mela tiga rebu!! Yang berani lebih, monggo! Ayo, siapa jagoan
kalian?Kinal lima ribu, Mela tiga ribu!!”(Jangan ditiru yaa).
Kupingku panas.Untungnya hal ini tidak
merambat jauh seperti mengadakan voting mirip pemilu.
***
Jam istirahat. Hari keenam setelah ikrar
diucapkan.
Aku termenung bertopang dagu. Kalian
pasti tahulah, apa yang kupikirkan. Akibatnya aku malas berbuat apa-apa. Dan ke
mana-mana. Untuk pertama kalinya, berkeliaran di tempat yang lebih dari dua
tahun aku menimba ilmu menjadi terror. Begitu banyak spekulasi dan argumentasi di
segala sudut sekolah perkara kompetisi sialan ini. Benar-benar mengganggu
kehidupanku saja.
Aku menoleh dan menemukan Melody membaca
buku. Fisika Quantum. Tumben nih anak jam istirahat baca, buku pelajaran pula.
Memang sih, minggu depan ada try out terakhir. Seharusnya aku meniru
perbuatannya.Tapi yang terpikir olehku malah mau nitip makanan ke dia karena
aku lapar.
Aku menengok ke belakang, bangku Ayana
kosong. Ah, telat, mungkin dia juga udah duluan ke kantin. Ya udah deh Nal,
puasa dulu hari ini, atau nekat ke kantin tapi belum sampai tujuan sudah
kenyang dengan tuduhan-tuduhan tak kasatmata dan tatapan-tatapan
mengerikan? Dua-duanya nggak ada yang enak.
“Nggak ke kantin, Mel?” tanyaku,
berusaha tidak menunjukkan niat minta tolong.
Melody mengangkat wajahnya dan
tersenyum.“Nggak.”
Aku manggut-manggut, pura-pura mengerti
padahal merutuki. Setelahnya aku menghembus napas keras-keras dan menjatuhkan
diri pada sandaran kursi.
“Ada apa, Nal?” tanya Melody.
“Hah, memang apalagi masalah yang lagi
gue pikirin?” keluhku.
Melody tertawa kecil.“UN yang deket
banget, mungkin?”
Aku menatapnya sambil nyengir. “Itu juga
sih, tapi...”
“Nggak usah dipikirin,” katanya kalem.
“Mana mungkin!”
“Cuek aja.”
“Mana bisa! Gue masih sekolah di sini itu
artinya gue harus inget kejadian konyol ini.”
Melody menutup buku Fisika Quantum-nya.
Oh, Kinal, sahabat macam apa kamu? Tadi ada niat menyuruh Melody ke kantin
membelikanmu makanan, sekarang kau merusak konsentrasinya belajar? Kau ini bodoh
ya?
“Kok ditutup? Lanjutin aja lah, Mel.”
“Nggak papa kok,” Seperti biasa, Melody
adalah satu-satunya orang yang sangat perhatian dan bisa dipercaya. “Sekarang
lo mau apa?”
Pempek Palembang... batinku meringis
dalam hati.“Eeeng, gue mau menghentikan semua ini.Gue mau membatalkan acara
rebutan ini. Tapi gimana caranyaaaaaa??”
“Minta maaf?”
“Mana mungkin dia terima!” kataku
pasrah.“Aaaaahhh!!!”
“Tapi kayaknya dia ngerencanain
sesuatu...”
“Emang!Makanya gue perlu menemukan
solusi sebelum hal itu terjadi. Pliiis bentar lagi kan UN...”
Tepat pada saat itu, saat hening terjadi
karena Melody tampak berpikir, suara cempreng membahana di luar kelas, di
sepanjang koridor. Cowok tinggi anak kelas tiga IPS mengangkat tinggi-tinggi
kotak amal masjid sekolah, berjalan cepat dan dengan ekspresi yang dibentuk
sedemikian rupa, mirip pertunjukan monyet saat adegan, Sarimin Pergi ke
Pasar.“KINAL LIMA REBU!!! MELA TIGA REBU!!! AYO, SIAPA JAGOAN KALIAN??!!”
Melody menutup mulutnya dengan telapak tangan menahan tawa, sementara aku menelungkupkan wajahku. Benar-benar malu.
“Pulang sekolah entar ikut gue ke rumah
Beby ya?”
“Ngapain?” tanyaku, masih bersedu-sedan.
“Gue mau pinjem kaset musiknya.Udah
janjian.”
“Ya udah ayooo... huhuhuhu...”
Karena mungkin tidak ada lagi yang bisa
Melody sampaikan, sebagai bentuk simpati ia menepuk-nepuk pundakku lembut.
***
Di depan rumah Beby.
Kedua pintu besar menjulang itu
tertutup. Pun jendelanya. Dari luar pagarnya saja kami berdua bisa mendengar
suara musik keras sekali. Duh, mau ditekan bel berkali-kali tuan rumahnya pun
takkan keluar. Akhirnya Melody memutuskan menelpon Beby.
Diangkat! Melody berkata tanpa suara
padaku. Saat itu juga suara musik dikecilkan.Dan beberapa detik berikutnya Beby
keluar dengan kaus putih bertuliskan namanya, nyengir pada kami.
Beby membuka slot pagarnya. “Masuk,
masuk. Heh, Nal, kenapa muke lo kusut begitu?”
Aku tak menjawab, yang akhirnya Melody
yang menjawab, “Apalagi kalau bukan ulah temen sekelas lo.”
“Oooh, Nenek Sihir ituu...”
Kalau di anime, kondisi wajahku adalah
mataku jadi sipit digambarkan dengan satu garis, mirip mata Shiro anjing
Shinchan sedang tidur, di bawahnya ada gelombang berwarna putih. Ceritanya air
mata gitu.
Kami memasuki rumah Beby dan duduk di
ruang keluarganya, di atas karpet. Beby menggelar semua kaset musik yang ia
punya untuk Melody. Ketika aku ikut melihat, kebanyakan genre klasik.
“Kenapa lagu-lagu klasik? Tumben?”
“Ehm, nggak papa, lagi suka aja. Hehehe.”
“Ini semua punya lo, By?”
“Enggaklah. Sejak kapan gue suka lagu
klasik. Punya nyokap. Pas lagi hamil gue demen dengerin lagu klasik. Kan biar
anaknya pinter... hehehe.”
Aku diam saja. Sementara Melody
memilih-milih kaset, membaca judul-judul lagunya, atau sesekali meminjam music player Beby untuk dites, aku malah
melamun, sementara Beby memerhatikanku tanpa kusadari.
“Nenek Sihir itu...,” Beby bergumam,
membuat kepalaku terangkat dan Melody menoleh di depan music player.
“Tiga hari lagi ulang tahun...”
Penting?
Aku menunduk lagi, tanda tak minat.
“Anak buahnya lagi sibuk bikin pesta
kejutan yang katanya ngundang semua siswa di aula olahraga. Gue juga. Gue malah
disuruh jadi penyanyi selamat ulang tahun.”
Aku terkesiap. “Elo?”
“Ya nggak gue juga sih. Mereka rencananya
malah mau buat paduan suara.Yang diajak kebanyakan sih geng kita dulu. Shania,
Viny. Ayana juga. Mel, lo diundang?”
Melody menggelengkan kepala.
Beby menatapku, matanya menyiratkan
sesuatu. Begitu juga impuls-impuls otakku, menyerap informasi ini dan
mengemasnya pada suatu keputusan.
Melody tersenyum seperti membaca
pikiranku. “Kayaknya lo udah nemuin jawaban deh.”
Beby ikut tersenyum. Ooooh malaikat
penyelamatku!!
@anggianab #CerbungKinalProject
Komentar
Posting Komentar