[Matahari Milikku] #16. Kompetisi

Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #15. Heavy Rotation



“Ky, lo gimana sih? Lo nggak peka apa nggak tahu, apa gimana sih?” protesku.

Dicky menengadahkan wajah, meninggalkan sebentar kekhusyukannya melahap mi ayam. 

“Maksud lo apa sih? Ngomong yang jelas dong,” jawabnya kalem.

Aku memutar bola mata. Gemas. “Tadi Mela itu...”

“Kover dance-nya JKT48. Iya kan?” potongnya.

“Iya.”

“Emang kenapa?”


Sekarang aku baru tahu Dicky ini kesadarannya pergi ke bulan. “Itu semua buat elo.”

“Kelihatan.”

“Lha trus??”

“Kalau terus nabrak dong.Nggak ada jalan yang terus melulu.”

Aku menghela napas, sengaja dengan keras. Kayaknya capek ngomong ama Dicky. Pembawaannya yang santai sementara aku bersungut-sungut seperti ini, membuatku tahu untuk membuatnya sadar akan perbuatan fatal “meninggalkan” pertunjukan tiba-tiba begini nggak berhasil. Kayaknya dia emang laper banget, jadi sebodo amat untuk urusan yang lain. Kesadarannya bakal pulang dari bulan ketika perutnya sudah puas terisi.

Tapi ternyata diamnya aku membuat acara melahap mi ayamnya terhenti. Ia melepas sendok dan garpu dari tangannya, melipat tangan di meja seperti anak TK berdoa untuk pulang, menatapku lekat-lekat. “Lo kenapa sih, Nal?”

Oke. Kuputuskan memulainya dengan cara yang lebih mudah. “Mela begitu karena lo, lo tahu apa alasannya?”

Dicky berpikir sebentar. Lalu ia menggeleng pelan.

“Dia suka lo. Dia lagi cari perhatian lo. Amati lirik Heavy Rotation tadi, Dick. Dan semua yang dia lakukan. Apa nggak cukup memberitahu elo betapa sukanya dia ama lo? Sampai dia nekat, nggak peduli bakal dimarahin atau ditegur anak OSIS maupun juri karena seperti mengkhususkan acara ini sebagai acara pribadi, sewa kostum, belajar koreo, dan sebagainya.”

“Jadi menurut lo, dia tadi nyatain perasaannya ama gue?”

“Iya,” jawabku. “Di depan semua siswa di sini.”

Dicky terkesiap, matanya membulat. Amboi, ternyata kesadarannya benar-benar terbang ke bulan! Menunggu biar dijelasin dulu buat paham. Dicky ini lemot apa gimana sih?

Dicky menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Lalu ia mengambil bunga mawar putih pemberian Mela di saku seragamnya. Ia menatapnya sebentar. Tak dapat kutangkap makna apapun dari pandanganya. Setelah itu ia merentangkan tangan, membawa mawar itu ke hadapanku.

Aku mengangkat alis, ia menambahkan dengan lembut, “Buat lo.”

Aku berjengit, tidak setuju. Tidak ada perasaan tersanjung sama sekali, karena situasi sangat berbeda. Semua kelakuan Dicky benar-benar di luar dugaan. Pola pikirnya tidak bisa kucerna.“Maksudnya? Ini kan pemberian Mela buat lo.”

“Gue nggak suka, buat lo aja.Gue nggak suka bunga kali.Kalau Mela suka gue, masa dia nggak tahu?”

Aku diam. Menatapnya serius. “Ini pemberian orang. Kalau lo nggak suka, setidaknya lo terima, demi menghargai orang yang memberi.”

“Trus ini mawar mau gue apain?Kalau ini udah jadi milik gue, terserah kan mau gue apain?”

Aku melipat bibir, menatapnya datar. Entah mengapa aku kecewa. Ia seperti meremehkan apa yang telah Mela beri.

Aku mendorong tangannya yang memegang mawar itu. Ia bingung, menarik tangannya pelan-pelan. “Maaf, gue nggak bisa.”

“Apa lo nggak suka mawar juga?”

“Bukan gitu.”

“Lantas?”

Sebelum melaksanakan niat untuk pergi, kutatap ia sebentar. Aku meyedot habis es teh manisku dan beranjak berdiri. Semua pergerakan tubuhku diikuti mata Dicky yang bingung dan kaget. Aku melangkah menuju ibu kantin, menyerahkan uang ribuan.

“Gue pergi dulu,” pamitku tanpa memandangnya lagi.

Tapi ternyata tangan Dicky masih sempat meraih tanganku. Aku bergetar, darahku mendesir. Ada keinginan untuk menoleh, tapi disusul perasaan, apa gunanya? Jadi aku bergeming, menunggu ia bicara.

“Bukannya lo benci Mela?” tanyanya.

Aku memutar kepala sedikit, tidak sampai memandangnya, lebih tepatnya memandang pundakku sendiri.“Tapi gue salut dengan usahanya untuk dapetin lo.” Meski gue harus kesakitan, sambungku dalam hati.

Karena Dicky tidak juga melepas tanganku meski sudah didengarnya jawabanku, akhirnya kulepas tanganku dengan paksa. Setelah itu aku pergi meninggalkan kantin, diiringi banyak tatap pasang mata. Mungkin mereka pikir aku jahat, menggagalkan usaha Mela tadi. Begitu, orang yang tidak tahu duduk perkaranya bisa bicara sembarangan. Terserah. Aku lelah. Aku hanya ingin berdiam di kelas, menikmati semua kasak-kusuk panas itu sampai aku kebal.

***

Brak!!

“Maksud lo apa, hah? Gue belum selesai! Tapi lo malah ajak Dicky pergi!”

Dari kelima jari dengan jarak lebar-lebar di atas meja kupandang, merambat menuju pangkal, lalu tepat pada mata. Ketika sepasang mata itu membara, seperti ada minyak gas dalam diriku, yang membuatku ikut tersulut. Tanpa perlu banyak waktu, mataku yang kaget berubah menjadi kebencian.

Suasana kelas menjadi sunyi senyap karena sebelumnya ramainya melebihi keramaian pasar. Namanya aja jam kosong seharian. Dan acara tadi sudah selesai. Tidak perlu melirik sekeliling, kami sudah jadi pusat perhatian. Jumlah pasang mata? Random. Melihat gelagat Mela dalam perjalanannya dari kelasnya menuju kelasku pasti sudah memancing minat banyak siswa.

Aku beranjak berdiri perlahan tanpa melepas sasaran busur panahku. Mata Mela mengikuti, masih dengan api membara dan dagu dinaikkan.

“Gue nggak ngajak Dicky pergi!”

“Apanya?” tandas Mela telak dengan timing kelewat cepat. “Gue lihat lo malah pergi berdua ama dia ke kantin!”

“Iya, tapi bukan gue yang ajak!”

“Nggak mungkin! Gue nggak percaya!”

“Lo punya mata sih, hah?” tantangku pedas, menunjuk atau bahkan hampir menculek mataku sendiri. “Lo lihat sendiri kan? Dicky yang jalan ke gue duluan! Bukan gue yang nyamperin dia!!”

Mela diam sebentar. Harusnya ia sadar, pergi ke sini dengan niat melabrak tanpa membawa bukti banyak hanya membuatnya kepalang malu. Aku tidak perlu takut. Jumlah penonton pertunjukkannya tadi hampir ribuan, yang artinya semua penghuni sekolah ini, jadi banyak saksi mata. Yang kuperlukan hanyalah melumpuhkannya di saat ia lengah menyadari kecerobohannya.

Tapi bukan Mela namanya kalau mau malu di depan banyak orang. “Kinal, denger ya. Dicky itu punya gue! Gue peringatin ama lo, jangan deketin dia!”

Egois. “Memangnya kenapa? Apa hak lo ngelarang gue?” Amarah yang terlanjur tersulut sulit membuatku kembali waras.Tidak ada niat bagiku untuk mundur. Akal sehat tertutup awal tebal sekuat baja. Tinggal menunggu aku menimbulkan masalah yang baru.

Mata Mela makin garang. Ia melipat tangan di dada. “Lo nggak tahu siapa gue? Lo berani cari masalah ama gue, gue...”

“Kenapa? Apa karena lo anak dari yang menyumbang besar untuk sekolah ini? Yang kaya kan bokap lo, bukan elo! Ironis banget ya, elo pamer kekayaan orang tua!”

Mela melongo. Ia tersentak, tubuhnya sampai terguncang. Setelah memberi lampu hijau untuk emosi jiwa, aku telah mengibarkan bendera merah pada banteng yang sedang marah.

Seiring dengan itu, mata Mela meruncing. Kucing sekalipun yang ditatap seperti itu akan lari. “Kenapa demen banget sih lo gangguin gue?” tanyanya, suaranya bergetar. Aku membulatkan mata. Nggak kebalik apa? “Lo suka Dicky, hah?”

“Kalau iya kenapa?”

Suara lantangku membelah kebisuan memancing banyak dugaan.

Kulihat tangan Mela terkepal kuat. Tatapannya yang kejih membuatku berpikir ia mau membunuhku kalau saja tidak ada hukum membatasi.

“Oke, Kinal.Selamat datang dalam kompetisi,” desisnya.

***

Setelah mengatakannya, dengan dagu diangkat tak peduli riasan wajahnya berantakan akibat air mata, Mela menghentakkan kaki keluar dari kelas. Dan membentak semua orang yang menurutnya menghalangi jalannya.

Sebelum melangkah pergi, mata setajam elang Naomi menusukku. Aku diam, pun tidak membalas. Dengan rambut dikibaskan ia berjalan keluar, mengikuti sang kapten. Sedang Acha tak menghiraukanku, Ayen mengancamku dengan mengepalkan tangannya.

Saat mereka semua telah hilang, pandangan sekeliling masih tertuju padaku. Pasti, mata mereka sarat akan tanda tanya beserta cerita yang baru saja mereka tonton. Bagus. Kehidupan setengah pribadiku diketahui seluruh teman kelasku.

Badanku melemas. Aku butuh Melody. Tapi bangkunya belum terisi. Ia masih makan siang dengan Ayana di kantin.

***

Sampai rumah sepulang sekolah, aku baru paham dan sadar. Karena kewarasanku sudah pulih.

Oke, ini bencana. Pertama, kenapa tadi begitu mudah aku terpancing emosi? Kedua, bodoh sekali, mengaku pada banyak orang kalau aku menyukai Dicky. Ketiga, aku menyetujui permusuhanku dengan Mela, demi menarik perhatian Dicky.

Memang segitu dangkalnya aku mau membangun permusuhan hanya demi satu cowok?

Uwaaaah!! Hari yang berat.

Aku ingin membatalkan niat ini. Tapi bendera perang yang diajukan Mela sudah kubalas sebagai tanda setuju. Tapi aku tidak mau maju. Tidak, tidak. Aku harus membatalkan ini.

Maka aku berpikir, lebih baik mengalah saja. Menganggalkan permusuhan ini dengan cara perlahan, yakni bersikap pasif saja. Tidak meladeni apa yang dilakukan Mela terhadap Dicky. Ya. Lebih baik begitu. Urusan patah hati, belakangan aja.

Tapi tidak dengan orang lain.

Ketika hari sudah berganti, topik aku rebutan Dicky dengan Mela sudah bisa mengalahkan pamor berita kucing segede kambing obral di pasaran (ngaco). Berita ini bisa kautemukan di mana saja di sekolahku, di kantin, kamar mandi, ruang guru yang dimasuki siswa untuk mengumpulkan tugas, kelas-kelas, laboratorium, masjid, bahkan sampai ke rumah penjaga sekolah yang ikut ngerumpi bareng siswa. Ditambah dengan jumlah cewek yang notabene bermulut ceriwis yang bejibun di sekolahku, berita itu mulai ditambah-tambah dengan argumen dan dugaan yang tidak bertanggungjawab. Kupikir, pasti gampang kalau berita ini nangkring di deretan teratas trending topic sedunia di Twitter.

Sudah begitu, mereka membicarakannya tidak tahu waktu maupun tempat. Segitu pentingnya sehingga waktu pelajaran juga diambil untuk bergosip. Tidak tahu tempat ketika ketiga pemeran utama berita itu lewat, mulut mereka masih aktif mengeluarkan lahar (memangnya gunung berapi).

Jadi bukan tak mungkin berita ini sampai di telinga Dicky.

“Ada apa sih dengan lo? Gue pikir lo lebih dewasa dari Mela.Kok bisa-bisanya lo iyain aja permintaan dia.”

Kalau kalimat Dicky barusan adalah kereta, mungkin kereta jurusan membuat hati Kinal patah-patah.

Setelah ditanya lagi oleh siswa-siswa yang tidak hadir saat ikrar diucapkan, Mela mengiyakan dengan tegas.Membuat mereka berpikir, kompetisi ini sedang hangat-hangatnya. Hal ini menimbulkan adanya dua oknum bernama Willy dan Dimas, yang diketahui sebagai teman sekelas Kinal dan Dicky, menggelar wawancara dadakan! Demi mengumpulkan titik temu dan menyimpulkan hipotesa, juga membuat survei tentang jawaban dari persaingan ini. Bagaimana saja pendapat mereka semua? Cekidot!

Sasaran 1. Seorang cewek kelas 3 IPS. “Menurut gue sih, Kinal ya. Dia kalem, cantik, nggak sombong kek Mela.”

Sasaran 2. Cewek kelas 1. “Kak Kinal! Karena Kak Mela itu seenaknya! Bener kata Kak Kinal, Kak Mela itu nggak malu apa, pamer kekayaan yang bukan hasil kerja dia? Harusnya Kak Dicky udah bisa melihat dari situ dong. Kalau Kak Dicky milih Kak Mela, bisa-bisa gunung berapi bakal meletus lebih dahsyat! Karena bisa kiamat! Karena bagi gue, tindakan seperti itu... pppffftt...” Sebelum mendengarkan dongeng sebelum tidur yang diucapkan dengan logat proklamasi, Willy cepat-cepat membereskan alat-alat wawancara sementara Dimas membekap mulut cewek pendukung moral anak muda di masa depan itu.

Sasaran 3. Cowok kelas 3 jurusan IPS. “Menurut gue, mungkin Mela. Setelah tiga hari setelah mereka resmi musuhan, gue bingung karena Kinal justru pasif. Dia mau-mau aja tuh pas Dicky diambil Mela pas mereka berdua jalan ke kantin. Jadi pikir gue, Kinal nyerah duluan. Mela deh.”

Sasaran 4. Cowok di kelas dan jurusan yang sama dengan sasaran 3. “Kinal nggak konsekuensi sama kata-katanya. Awalnya gue salut, dia satu-satunya cewek yang bisa bantah omongan Mela dan bicara soal fakta jelek mengenai Mela.Tapi pas dilihat kok dia pasif gitu. Melempem kayak kerupuk!”

Sasaran 5. Cowok kelas 3 jurusan Bahasa. “Kinal ama Mela sih cantikan Kinal, tapi Mela punya apa yang nggak dipunya Kinal. Kinal juga punya apa yang nggak dipunya Mela. Gitu kali ya, namanya manusia, punya kelebihan dan kekurangan, sudah begitu...” Wawancara ini dihentikan dengan cara Willy dan Dimas kabur segera sebelum komentar itu merembet panjang menjadi ceramah di pagi hari.

Sasaran 6. Cowok kelas 3 jurusan IPA, satu kelas dengan Shania. “Kinal ama Mela? Cantikan Emak gue kali!” Bletak! Ini sih saran sableng. Maka sebagai upah, Willy dengan telak menjitak kepala cowok itu.

Sasaran 7. Cewek kelas 1 lagi. “Kak Kinal! Karena Mela kecentilan itu udah bikin gebetan gue kabur. Sial banget sih? Gue benci banget ama Mela, udah gitu dia beraninya keroyokan. Ke mana-mana ama temen-temennya. Gue pilih Kak Kinal! Hidup Kak Kinal!!”

Sasaran 8. Dua cowok kelas 2 jurusan Bahasa. “Gue sih Mela ya. Soalnya Mela punya niat yang kuat banget buat dapetin Dicky.”

Cowok dua membantah. “Enggak dong.Menurut gue Kinal. Meski kelihatannya diem begitu, siapa tahu aja dia punya cara lain. Pakai jalan silent but deadly. Lagian Mela kecentilan. Gue pilih Kinal.”

Cowok satu melotot tidak setuju. “Bego amat sih lo? Mela lah yang menang!”

“Kinal!”

“Mela!”

Bak bugh!! Dengan susah payah Dimas dan Willy melerai dua cowok yang adu pukul itu.

Sasaran 9. Cewek kelas 2 jurusan IPA. “Kinal. No komen.” Ini sih niru artis Desy Ratnasari kali ye.

Sasaran 10. Cowok kelas 1. “Nggak dua-duanya. Gile aja harus berantem demi satu cowok. Lagipula apa bagusnya Dicky? Ganteng iya, tapi cowok kan banyak di dunia ini. Gue saranin udahan aja lah. Cari cowok lain. Buat Kinal, mending dia lihat gue dulu deh!”

Sementara komentar dari antek-antek Mela hanyalah, “Tunggu aja ya,” sambil tersenyum sinis, teman-teman Kinal sebaliknya.Hanya mengangkat bahu, terlebih bingung. “Terserah Kinal.”

Berdasarkan semua yang diwawancarai Dimas dan Willy, memang banyak memilih Kinal.Jadi bagi mereka, yang keluar sebagai pemenang adalah Kinal.Lalu bagaimana dengan kenyataannya?Tunggu selanjutnya di SILAT INVESTIGASI.

Tapi ternyata, perbuatan Willy dan Dimas itu juga menimbulkan dampak lain. Kompetisi ini berubah menjadi sayembara! Di hari kelima, ada oknum tidak bertanggungjawab berkeliling ke kelas-kelas sambil membawa kotak amal masjid sekolah sambil teriak-teriak “Kinal lima ribu lima ribu! Mela tiga rebu!! Yang berani lebih, monggo! Ayo, siapa jagoan kalian?Kinal lima ribu, Mela tiga ribu!!”(Jangan ditiru yaa).

Kupingku panas.Untungnya hal ini tidak merambat jauh seperti mengadakan voting mirip pemilu.

***

Jam istirahat. Hari keenam setelah ikrar diucapkan.

Aku termenung bertopang dagu. Kalian pasti tahulah, apa yang kupikirkan. Akibatnya aku malas berbuat apa-apa. Dan ke mana-mana. Untuk pertama kalinya, berkeliaran di tempat yang lebih dari dua tahun aku menimba ilmu menjadi terror. Begitu banyak spekulasi dan argumentasi di segala sudut sekolah perkara kompetisi sialan ini. Benar-benar mengganggu kehidupanku saja.

Aku menoleh dan menemukan Melody membaca buku. Fisika Quantum. Tumben nih anak jam istirahat baca, buku pelajaran pula. Memang sih, minggu depan ada try out terakhir. Seharusnya aku meniru perbuatannya.Tapi yang terpikir olehku malah mau nitip makanan ke dia karena aku lapar.

Aku menengok ke belakang, bangku Ayana kosong. Ah, telat, mungkin dia juga udah duluan ke kantin. Ya udah deh Nal, puasa dulu hari ini, atau nekat ke kantin tapi belum sampai tujuan sudah kenyang dengan tuduhan-tuduhan tak kasatmata dan tatapan-tatapan mengerikan? Dua-duanya nggak ada yang enak.

“Nggak ke kantin, Mel?” tanyaku, berusaha tidak menunjukkan niat minta tolong.

Melody mengangkat wajahnya dan tersenyum.“Nggak.”

Aku manggut-manggut, pura-pura mengerti padahal merutuki. Setelahnya aku menghembus napas keras-keras dan menjatuhkan diri pada sandaran kursi.

“Ada apa, Nal?” tanya Melody.

“Hah, memang apalagi masalah yang lagi gue pikirin?” keluhku.

Melody tertawa kecil.“UN yang deket banget, mungkin?”

Aku menatapnya sambil nyengir. “Itu juga sih, tapi...”

“Nggak usah dipikirin,” katanya kalem.

“Mana mungkin!”

“Cuek aja.”

“Mana bisa! Gue masih sekolah di sini itu artinya gue harus inget kejadian konyol ini.”

Melody menutup buku Fisika Quantum-nya. Oh, Kinal, sahabat macam apa kamu? Tadi ada niat menyuruh Melody ke kantin membelikanmu makanan, sekarang kau merusak konsentrasinya belajar? Kau ini bodoh ya?

“Kok ditutup? Lanjutin aja lah, Mel.”

“Nggak papa kok,” Seperti biasa, Melody adalah satu-satunya orang yang sangat perhatian dan bisa dipercaya. “Sekarang lo mau apa?”

Pempek Palembang... batinku meringis dalam hati.“Eeeng, gue mau menghentikan semua ini.Gue mau membatalkan acara rebutan ini. Tapi gimana caranyaaaaaa??”

“Minta maaf?”

“Mana mungkin dia terima!” kataku pasrah.“Aaaaahhh!!!”

“Tapi kayaknya dia ngerencanain sesuatu...”

“Emang!Makanya gue perlu menemukan solusi sebelum hal itu terjadi. Pliiis bentar lagi kan UN...”

Tepat pada saat itu, saat hening terjadi karena Melody tampak berpikir, suara cempreng membahana di luar kelas, di sepanjang koridor. Cowok tinggi anak kelas tiga IPS mengangkat tinggi-tinggi kotak amal masjid sekolah, berjalan cepat dan dengan ekspresi yang dibentuk sedemikian rupa, mirip pertunjukan monyet saat adegan, Sarimin Pergi ke Pasar.“KINAL LIMA REBU!!! MELA TIGA REBU!!! AYO, SIAPA JAGOAN KALIAN??!!”

!@#$%^&*()

Melody menutup mulutnya dengan telapak tangan menahan tawa, sementara aku menelungkupkan wajahku. Benar-benar malu.

“Pulang sekolah entar ikut gue ke rumah Beby ya?”

“Ngapain?” tanyaku, masih bersedu-sedan.

“Gue mau pinjem kaset musiknya.Udah janjian.”

“Ya udah ayooo... huhuhuhu...”

Karena mungkin tidak ada lagi yang bisa Melody sampaikan, sebagai bentuk simpati ia menepuk-nepuk pundakku lembut.

***

Di depan rumah Beby.

Kedua pintu besar menjulang itu tertutup. Pun jendelanya. Dari luar pagarnya saja kami berdua bisa mendengar suara musik keras sekali. Duh, mau ditekan bel berkali-kali tuan rumahnya pun takkan keluar. Akhirnya Melody memutuskan menelpon Beby.

Diangkat! Melody berkata tanpa suara padaku. Saat itu juga suara musik dikecilkan.Dan beberapa detik berikutnya Beby keluar dengan kaus putih bertuliskan namanya, nyengir pada kami.

Beby membuka slot pagarnya. “Masuk, masuk. Heh, Nal, kenapa muke lo kusut begitu?”

Aku tak menjawab, yang akhirnya Melody yang menjawab, “Apalagi kalau bukan ulah temen sekelas lo.”

“Oooh, Nenek Sihir ituu...”

Kalau di anime, kondisi wajahku adalah mataku jadi sipit digambarkan dengan satu garis, mirip mata Shiro anjing Shinchan sedang tidur, di bawahnya ada gelombang berwarna putih. Ceritanya air mata gitu.

Kami memasuki rumah Beby dan duduk di ruang keluarganya, di atas karpet. Beby menggelar semua kaset musik yang ia punya untuk Melody. Ketika aku ikut melihat, kebanyakan genre klasik.

“Kenapa lagu-lagu klasik? Tumben?”

“Ehm, nggak papa, lagi suka aja. Hehehe.”

“Ini semua punya lo, By?”

“Enggaklah. Sejak kapan gue suka lagu klasik. Punya nyokap. Pas lagi hamil gue demen dengerin lagu klasik. Kan biar anaknya pinter... hehehe.”

Aku diam saja. Sementara Melody memilih-milih kaset, membaca judul-judul lagunya, atau sesekali meminjam music player Beby untuk dites, aku malah melamun, sementara Beby memerhatikanku tanpa kusadari.

“Nenek Sihir itu...,” Beby bergumam, membuat kepalaku terangkat dan Melody menoleh di depan music player.

“Tiga hari lagi ulang tahun...”

Penting?

Aku menunduk lagi, tanda tak minat.

“Anak buahnya lagi sibuk bikin pesta kejutan yang katanya ngundang semua siswa di aula olahraga. Gue juga. Gue malah disuruh jadi penyanyi selamat ulang tahun.”

Aku terkesiap. “Elo?”

“Ya nggak gue juga sih. Mereka rencananya malah mau buat paduan suara.Yang diajak kebanyakan sih geng kita dulu. Shania, Viny. Ayana juga. Mel, lo diundang?”

Melody menggelengkan kepala.

Beby menatapku, matanya menyiratkan sesuatu. Begitu juga impuls-impuls otakku, menyerap informasi ini dan mengemasnya pada suatu keputusan.

Melody tersenyum seperti membaca pikiranku. “Kayaknya lo udah nemuin jawaban deh.”

Beby ikut tersenyum. Ooooh malaikat penyelamatku!!

@anggianab #CerbungKinalProject

Komentar