[Matahari Milikku] #14. Filosofi Lem Besi
Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #13. Magnet
Seminggu kemudian.
Kejadian-kejadian itu masih malang melintang di
dalam kepalaku. Ke bioskop ama Dicky. Naik sepeda kayuh. Esoknya, dia sudah
sukses menjungkirbalikkan duniaku. Ia dekat dengan Mela. Keluar sama-sama. Naik
mobil.
Ah! Bukan itu maksudku. Bukan kendaraan yang
kupermasalahkan. Melainkan... kenapa sedrastis itu ia bisa berubah? Seperti
kumbang yang hinggap di bunga satu, lalu hinggap di bunga lain dirasa bunga
sebelumnya nggak punya madu yang cukup menggiurkan. Oh... kumbang-kumbang di
taman...
Eh malah nyanyi.
Di jam istirahat ini, aku masih perlu repot-repot
memikirkannya. Bukan sesuatu yang penting untuk dipikir seperti ulangan fisika
atau matematika, tapi kepalaku jadi pusing. Padahal sudah seminggu berlalu, dan
sampai saat ini aku merasa tidak cukup hanya mendapat jawaban dari diri
sendiri.
Pernah suatu kali aku berpikir, selama ini aku aja
yang kege-eran. Memangnya kenapa kalo kami keluar nonton film di bioskop? Apa
itu sudah menjelaskan bahwa hubungan kami sesungguhnya lebih dari sekedar
teman? Jika iya, nggak salah kalau kita ngeliat cewek dan cowok keluar nonton
film di bioskop itu sebagai gebetan, bukan teman?
Kalau betul selama ini aku aja yang besar hati, dan
Dicky menanggapinya sebagai hubungan sosial yang biasa, ini namanya aku kena
PHP! Witing PHP jalaran saka ke-GR-an
saben dino. Tumbuhnya PHP dikarenakan ke-GR-an setiap hari.
Aku jadi merasa cewek paling bego di dunia ini.
Pernah juga aku berpikir, Dicky aja yang plin-plan.
Atau jangan-jangan, Dicky merasa aku nggak cocok lalu pindah alih ke Mela.
Kalau sudah begitu, aku berpikir apa aja kekuranganku sehingga ia bertindak
seperti itu.
Terus begitu. Terus berputar-putar, puncaknya aku
pusing sendiri. Tapi aku nggak bisa menghentikan pola di pikiranku yang terus
bercabang seperti batang ranting pohon. Sudah begitu, tidak ada cara lain
selain ikut melibatkan diri ke dalamnya. Meski ujung-ujungnya, terbelit sendiri
dengan batang-batang pohon itu.
“Ada apa Nal?” Tiba-tiba Melody sudah kembali dari
kantin. Tepat saat aku menoleh padanya, kulihat Ayana juga kembali dan beranjak
duduk di kursinya. Semingguan ini atau bahkan lebih, aku ogah-ogahan ke kantin,
jadi Melody ke kantin dengan Ayana dan terus bersedia mau dititipkan makanan.
Sampai sekarang. Uh, dasar Kinal, orang lain jadi korban.
Aku menggeleng sambil tersenyum menjawab
pertanyaannya. Melody menyerahkan pesanan makananku sambil mengernyit heran.
“Jujur aja lah. Pasti ada apa-apa. Akhir-akhir ini
lo aneh.”
Aku diam saja, memandangi makananku.
“Nal, cerita dong. Kenapa lo mendadak jadi tertutup
gini ama gue?”
Aku meringis. Itu dia. Aku sudah pusing kena makan
jawaban diriku sendiri, sekarang aku butuh orang lain. Mungkin jawaban Melody
berbeda dengan apa yang kupikirkan. Bisa jadi refrensi (dipikir lagi ngerjain
tugas butuh refrensi).
Aku menjelaskan sambil makan. Melody pendengar yang
baik, dia nggak menyela bahkan saat terjadi jeda beberapa kali.
“Nah, gitu...” kataku, murung.
“Pantes. Gue, Dimas, Willy pada heran lo
pulang-pulang bawa mata segede bola tenis begitu. Tapi lo bilang nggak ada
apa-apa. Sayangnya kami nggak bisa percaya gitu aja, Nal. Kelihatan banget lo
habis nangis hebat. Tapi soal perkaranya, kami nggak tahu.
“Sampai akhirnya si Dimas denger dari Naomi kalo
Mela abis diajak keluar ama Dicky. Di hari yang sama dan di jam yang sama pas
lo beli gula itu. Jadi nggak salah lagi...”
Mataku membulat maksimal. “Jadi sebenarnya kalian
udah tahu??”
“Iya,” jawab Melody sambil mencomot siomay
Bandung-nya. “Gue sengaja nggak konfirmasi ke elo. Gue nunggu lo cerita sendiri
ke gue,” Melody tersenyum.
Aku jadi merasa bersalah. “Bukannya gue nggak mau
langsung cerita, Mel...”
“Ya udahlah, kali ini nggak apa-apa. Tapi kali lain,
langsung cerita ya? Apa gunanya gue jadi sohib lo.”
Aku tersenyum. “Makasih...”
“Aneh juga kalo dia ngajak lo keluar naik sepeda
kayuh sementara ngajak Mela pake mobil. Kesannya lebih spesial.”
“Gue nggak mempermasalahkan itu,” Aku mendesah.
“Yang gue pikirin, kenapa dia jadi begini? Cuman jeda sehari, itupun paginya dia
anter jemput gue pulang. Pasti ada apa-apanya.”
“Lo cemburu, Nal?”
Aku menoleh, menatapnya dengan penuh makna. Tapi
nggak segera menjawab. Kemudian hening menusuk karena ternyata Melody menunggu
jawabanku. Dengan resah aku mengedarkan pandangan ke jendela.
“Awalnya gue kira dia cuman cinta monyet,” kataku
sambil tersenyum geli. “Tapi pas... gue ama dia nonton itu gue rasa ada yang
beda.”
Senyap sejenak.
“Hal yang pernah gue rasain sama...” Dengan berat
aku menelan ludah. “Arya.”
Mata Melody membulat mendengarnya. Seperti yang
kupikirkan, baginya ini bukan masalah sepele.
“Rasa itu lebih besar daripada sekedar cinta monyet.
Cinta Tyrex, mungkin?”
“Ah, lo nyontek konsep Cinta Brontosaurus-nya
Raditya Dika.”
Aku tertawa, suaranya sumbang.
“Dan sekarang gue kelabakan sendiri. Duuuh! Gue
pusing!!!!” keluhku sambil mengacak rambut.
“Kalo reaksi lo udah sejauh ini, gue rasa ada
benernya juga.”
“Apanya?” kataku dengan nada tinggi.
“Nggak sekedar suka.”
Dengan muram kutatap sahabat yang duduk di sampingku
ini. Begitu juga Melody menatapku. Mendadak, sesuatu abstrak yang tidak bisa
dengan mutlak dipastikan sebagai ilmu, seperti satu ditambah satu sama dengan
dua yang dinamakan–ehm–perasaan yang lebih dari sekadar suka, menjadi hal yang
mengerikan. Mendadak, persoalan cinta-cintaan ini menjadi masalah serius
seperti masalah yang bakal memutus ikatan pernikahan, padahal belum lagi kami
lulus dari bangku sekolah.
Bel masuk berdering. Sekarang aku berhasil menjebak
Melody ikut-ikutan khawatir soal cinta-cintaan ini.
Suara orang ngobrol menyentak kami untuk mengalihkan
pandangan. Dua orang pertama masuk. Mereka teman sebangku. Seperti kami.
Membicarakan sesuatu yang kayaknya memang cowok banget. Pertandingan sepak
bola.
Mataku menangkap matanya. Mata kami bersibobok.
Mendadak Dicky berhenti sementara Daniel terus nyerocos sambil berjalan menuju
kursi. Kenapa? Kenapa Dicky perlu bereaksi seperti itu ketika kutatap dengan
serius?
Meski bingung, Dicky membuang muka. Ia berjalan
mendekati Daniel, duduk di sampingnya. Aku menghela napas, Melody meringis di
sebelahku. Kali ini aku enggan melaporkan apa saja yang baru terjadi pada
Melody.
Bahwa tiba-tiba saja panca inderaku berubah seratus
kali lebih tajam daripada biasanya, sehingga aku dapat menangkap sesuatu yang
kecil, amat kecil seukuran partikel itu, dan aku belum pernah merasakannya. Segala
unsur dalam matanya, bergabung jadi satu, aku berani taruhan lebih menakjubkan
daripada kerlip bintang sekalipun. Mata paling indah yang pernah aku lihat.
***
Bel pulang berbunyi.
Aku keluar kelas sambil ngobrol dengan Melody. Kami
berjalan berisisian. Pun ketika aku melewati barisan bangku Dicky, berusaha
keras aku tidak terpancing meski magnet itu bergeletar minta disatukan. Magnet
apanya? Kuharap magnet itu segera soak. Karena lama-lama aku muak.
Begitu keluar kelas, ternyata seseorang sudah
menunggu.
“Kinal!”
“Oh, hei, Kamen!” kataku sambil nyengir. “Ada apa?”
“Sori nih dadakan, tapi kita perlu membahas sesuatu
di basecamp.”
Alisku terangkat. “Sekarang?”
Dengan sesal yang tak bisa ditutupi, Ghaida
menjawab, “Iya.”
Aku manggut-manggut. Aku dan Ghaida satu tim di
ekstra pecinta alam. Sebenarnya kami berdua sudah lama vakum mengingat ujian
nasional makin lama makin mendekati kami. Makanya aku rada kaget Ghaida
tiba-tiba datang dan kami bakal membahas sesuatu di ruang ekstra pecinta alam.
“Ehm, sori ya, Mel. Gue ngetem dulu di basecamp nih,” kataku.
“Iya. Sori banget ya, Mel,” timpal Ghaida.
“Ah, nggak papa kali. Kalo gitu gue duluan ya!”
“Oke tiati!”
***
Sejam berlalu. Rupanya senior ekstra pecinta alam
sedang membahas sebuah trip. Usul dari Anjas, ketua pecinta alam yang dulu,
sehabis ujian nasional kita harusnya
bersenang-senang keluar. Naik gunung Semeru!
Senior itu artinya bagi mereka yang udah kelas tiga.
Tapi aku belum bisa dibilang senior karena aku bergabung di semester akhir
kelas dua dulu itu, jadi aku belum kena cipratan pengalaman apa-apa. Rencana
naik gunung Semeru besok mungkin jadi pengalamanku yang pertama.
Sudah satu jam, kami belum rampung membahas apa-apa
saja yang perlu dipersiapkan. Kebanyakan sih gara-gara di tengah-tengah diskusi
ada yang cerita apa-apa saja yang menarik di Semeru. Mereka Ghaida, Anjas, dan
Veranda. Katanya mereka udah pernah ke Semeru, meski cuman Anjas yang berhasil
di Mahameru, puncak tertinggi di Pulau Jawa itu. Sedikit banyak di tengah
diskusi mereka bilang, Ranu Kumbolo keren lah. Ranu Kumbolo surganya Semeru
lah. Desa terakhir sebelum nge-track
Semeru itu namanya Ranupani lah. Setelah Ranu Kumbolo ada yang namanya Tanjakan
Cinta-lah.
“Kalian bertiga ini bolak balik nonton film 5cm.
kali. Bukannya pernah naik Semeru!” celetuk salah satu temanku.
Ketiganya melotot dan dengan kompak berucap, “Enak
aja!”
Beberapa saat kemudian kami berhenti dulu untuk
diskusi. Gara-garanya sih Anjas, pusat diskusi ini mengaku perutnya keroncongan.
Sementara beberapa yang lain terbang beli makanan, aku izin untuk pergi ke
kamar mandi.
Setelah dari kamar mandi, aku menyusuri lorong
kembali menuju basecamp. Tapi begitu
melintas di depan ruang ekstra dance,
langkahku terhenti karena mendengar seseorang berkata.
“Gue harus tunjukin kalo gue yang lebih pantes!”
kata suara yang kukenal, nadanya sinis.
Aku bersandar di dinding luar ruangan, tiba-tiba
merasa tertarik memegang profesi penguping. Maka aku memasang telinga
baik-baik. Aku mengintai sebentar lewat jendela. Benar kan, mereka.
“Jadi gue mau besok dia secara tegas jadi sasaran utama. Biar tuh cewek peka!”
“Tapi gimana caranya?”
“Gue pasang pita, menegaskan teritori!”
“Emang boleh?”
“Gue yang ngomong deh ama ketua panitianya! Siapa
sih ketuanya?”
“Beby! Dia sekretaris OSIS yang jadi ketua panitia
acara ini.”
“Beby? Apalagi dia! Keciiiiill!!”
“Tapi kan Beby temennya Kinal?”
“Sebodo amat! Pokok Beby besok kudu dengerin
kata-kata gue.”
Aku menyipitkan mata. Oke. Mereka mau ngapain lagi?
Arah pandangku melihat Ghaida baru keluar dari basecamp. Untungnya ia tidak serta merta
memanggil namaku. Ia bertanya lewat mata.
Aku memberi isyarat bahwa aku bakal balik segera. Keluar
dari acara menguping pembicaraan ini dengan membawa pulang satu hipotesa; Mela
merencanakan sesuatu yang buruk
untukku.
***
Hah...
Mungkin karena sudah cukup jengah, Daniel memutuskan
untuk mengintip sebentar dari majalah game
yang dibacanya. Cukup jengah mendengar desah napas yang entah ke berapa.
Setelah mengintip sekian lama dan tak ada reaksi apalagi jawaban, Daniel
menurunkan majalahnya dan ia sampirkan di pangkuannya. Menatap sosok di
sebelahnya lekat-lekat, setengah berharap akan keluar desah napas lagi dari
sana. Setelahnya, majalah di pangkuannya bakal menggetok kepala orang itu.
Dicky diam saja dan kepalanya tetap menegak ke
depan, meski ia tahu Daniel memancingnya untuk menatap balik. Ia malah berusaha
menikmati pemandangan balkon kamar Daniel yang menghadap ke taman perumahan,
tempat paling hijau di seantero daerah penuh rumah ini. Dicky benar-benar berusaha menikmati. Benaknya
terpecah-pecah, antara sesuatu yang sedang ia hadapi, pandangan Daniel, ataupun
pohon berdaun lebat berdiri tegak di sebelah ayunan yang agaknya lebih mirip
sayuran brokoli ukuran raksasa.
Tanpa sadar, Dicky mendesah lagi, dan Daniel spontan
meraih majalahnya. Namun tak sampai tujuan.
“Lo kenapa sih?” tanya Daniel, agak gusar. Ia merasa
terganggu dengan desah napas teman sebangkunya itu, yang jelas-jelas bermakna
kegelisahan. Mengganggu keseriusannya membaca artikel tentang game yang berusaha ditamatkannya di area
online, Ayo Dance Indonesia.
Dicky melirik, tajam. “Lagian ada temen bertandang
ke rumah malah dicuekin baca majalah.”
“Oh, jadi lo galau gue tinggal baca?”
Dicky mendecak, terdengar lebih ekspresif. Dan tak
ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Sekarang giliran Daniel yang mendesah, dan sepintas
ada niat untuk menggetok kepalanya sendiri dengan majalah di pangkuannya.
Absurd. Rentetan desah napas ini ternyata berpengaruh besar pada kejiwaan
Daniel.
“Apa lo lagi mikirin itu?” Seperti biasa, Daniel
menembak dengan jitu.
“Itu? Benda maksud lo?” Dicky mencoba ngeles.
Mangkir dari kenyataan kalau Daniel (ngerinya) lebih tahu problemnya daripada
dirinya sendiri.
Daniel memutar bola mata. “Kinal.”
“Kenapa kudu sebut merek sih??” Dicky tiba-tiba
frustasi.
Daniel malah menanggapinya dengan nyengir. “Emang di
sini ada dia? Santai aja kali!”
“Kali aja telinganya lebih tajam dari telinga
kelelawar; atau dia anak Indigo yang bisa denger namanya disebut-sebut, sejauh
apapun itu; atau dia punya firasat seratus kali lebih tajam dari firasat orang
tua; atau tepat ketika lo sebut nama dia gelas di sampingnya jatuh dan cling!
Ia ngerasa gelasnya jatuh gara-gara ada yang menggunjing dia dan ia paralelkan
dengan gue, cowok yang sukses bikin dia nangis seminggu yang lalu...” Dicky
nyerocos tanpa ampun, ngalah-ngalahin kecepatan kereta api ekspres bonus ludah
muncrat ke mana-mana.
Daniel menjetik-jentikkan tangannya di depan mata
Dicky, menghentikan racauan sebelum panjangnya sepanjang kereta dari rangkaian
seluruh gerbong yang ada di Indonesia. Daniel hendak menoyor kepala Dicky, tapi
urung karena dilihatnya ekspresi temannya itu tiba-tiba sendu.
“Setelah sukses buat cewek nangis, sampe rumah
seminggu lalu pulang-pulang lo langsung nonton acara sains? Atau kartun Avatar?
Atau acara-acara supranatural? Atau ceramah tentang “Ridho Orangtua Juga Ridho
Tuhan”? Dan terakhir, lo dengerin ibu-ibu ngerumpi soal firasat jadi
digunjingkan saat gelas jatuh, keselek, dan gigit lidah sendiri??”
“Kayaknya elo deh yang paling tahu.”
Daniel mendengus. “Tapi gue salut sama lo.”
“Apa?”
“Butuh waktu seminggu bagi lo untuk menegaskan pada
diri sendiri secara lisan, lo-udah-buat-cewek-nangis.”
Dicky memalingkan muka, membiarkan Daniel
terkekeh-kekeh dengan reaksinya. Sepertinya yang paling senang tentang fakta
perbuatan seminggu lalu yang masih dipikirkannya itu adalah Daniel. Mendadak
Dicky menyesal membawanya sebagai saksi, merangkap jadi fotografer lagi!
“Oke deh, ini serius,” Daniel berusaha mengerem
kekehannya. “Sekarang apa ada yang baru di benak lo, at the same topic?”
Dicky mendesah lagi. Wajahnya jadi seribu kali lebih
keruh daripada air empang pinggir jalan. “As
finally, gue butuh jawaban.”
“Answer for
what?”
“What else?”
Dicky memandang Daniel seperti memandang anak idiot. “Jalan keluar!”
Daniel diam saja.
Dicky mengacak rambutnya. “Waktu itu, “suara itu”
bilang gue harus menghindar dengan cara cari perhatian lain. Dan Mela jadi
penerimanya. Eh, tuh cewek malah nangis...”
“Gue sebenernya nggak setuju soal pelarian,” sumbang
Daniel. “Kalo lo mau tahu lebih parahnya, lo sukses buat nangis dua cewek
sekaligus! Tinggal tunggu aja Mela tahu lo ajak jalan seminggu lalu hanya
sebagai pelarian.”
Dicky memandang Daniel sebal. “Kalo lo bukan sohib
gue, gue lempar lo keluar sekarang.”
Daniel tak bereaksi, ia terlihat berpikir. Impuls
dalam otaknya bekerja lebih cepat.
Dicky merunduk, tiba-tiba merasa “cengeng”
memilin-milin ujung jaketnya. Dicky ingin mendesah lagi, tapi dirasa percuma.
Mau dibuat sirkulasi berkali-kali, paru-parunya tetap keruh kecanduan gas
karbondioksida. Berpengaruh pada pusat logikanya yaitu otak, membuatnya tidak
bisa berpikir runut dan rasional.
Tapi tiba-tiba Daniel menjentikkan jarinya dan
wajahnya berseri-seri seperti diterpa cahaya yang dipantulkan kain putih polos.
Dicky menyambutnya dengan bingung, padahal seharusnya ia menyambutnya dengan
sambutan sehangat matahari tugas lagi di pagi hari. Matahari. Aduh, kenapa
harus benda bulat kuning itu lagi sih??
Alih-alih dengan sembarangan Daniel menepuk bahu
Dicky keras-keras, nyaris membuat korban terjembab ke depan mencium besi pagar
balkon. Daniel sialan. Semoga wajahnya yang plong seperti melepas merpati
ngebet terbang itu memang benar-benar membawa berita bagus. Kalau nggak,
mengabaikan nama sebangku dan sohib Dicky nekat melemparnya ke bawah balkon
berdasar paving, berharap minimal pun satu tulang remuk.
“Elo siiih!!” Daniel menuduh, nadanya seperti anak
kecil menuduh temannya mencuri kartu tos karakter Naruto. “Model galau lo kayak
anak SMP aja!”
Si Daniel ini... Mungkin Dicky perlu
mempertimbangkan acara pembuka sebelum acara utama. Kursi yang didudukinya,
misalnya? Minimal hidung itu harus mimisan.
Daniel malah nyengir lebar, seolah tahu apa yang
dipikirkan Dicky. “Gue sih...” Nadanya tiba-tiba serius, membuat posisi duduk
Dicky berubah yang artinya bakal mendengarkannya dengan serius pula. “Lebih
milih, semua ngalir apa adanya.”
Sebelah alis Dicky terangkat.
Dengan sabar Daniel meneruskan, “Lo tawakkal aja.
Berserah diri.”
“Sebelum bertawakkal kita kudu usaha. Dan gue, nggak
tahu harus berbuat apa.”
“Yang harus lo lakuin cuman menetralkan keadaan. Lo
di pihak nol. Nggak Kinal, nggak Mela. Balik ke posisi awal, mereka cuman temen
lo. Anggap aja nggak ada yang terjadi, netralkan keadaan, ajak ngobrol, ya
kehidupan sosial biasa. Apa masalah patah-patah hatian ini membuat lo jadi
pihak asosial?”
Dengan telak disampaikannya niat menoyor kepala
Daniel, nggak bisa disebut wujud tanda terima kasih atas saran yang barusan
didengarnya. “Dan apa mereka nerimanya juga demikian? Netral?”
“Semingguan ini lo masih melancarkan aksi ke Mela
nggak?”
“Nggak sih. Terus terang gue ngerasa jadi anak SMP
labil yang netapin bidik panah ke Mela. Suwer dah.”
“Jiwa lo emang masih labil kayak anak SMP.”
Untuk pertama kalinya, Dicky tak mengindahkan ejekan
itu.
“Tapi Kinal...”
“Just try...”
potong Daniel kalem. “Gue rasa tindakan yang diberi judul “Menetralkan Keadaan”
ini merupakan hal positif. Salah besar kalo reaksi Kinal justru sebaliknya.”
Dicky manggut-manggut. Nemu di mana sih dia teman
setengah bijak setengah sableng ini?
“Eh, Niel,” celetuk Dicky saat hening lama yang
dimanfaatkan Daniel buat lanjut membaca. “Gue boleh curhat dikit?”
“Tumben lo mau curhat aja bilang-bilang,” jawab
Daniel tanpa melihat lawan bicara.
Dicky berhehehe ria. “Karena ini dari lubuk hati
gue. Paling dalam.”
Daniel menoleh, memandang Dicky ngeri. “Mending
nggak usah deh. Lo ketularan akting cowok cengeng di FTV apa gimana sih??” Dan
pandangan ngeri itu seketika jadi jijik.
“Nggak boleh apa cowok “melankolis” sebentar? Buktinya
band-band Indonesia laku karena romatisme dan melankolisme. Ubah dikit napa
perspektif lo, kaku tahu.”
“Setidaknya prinsip gue juga mencegah gue
sepenuhnya.”
“Terserah lo deh!” Dicky mengibaskan tangannya,
malas.
“Jadi curhat nggak?” Daniel merongrong.
“Lo denger kalimat melankolis aja langsung begitu.
Ogah ah! Kehilangan selera gue.”
Bletak! Muka Dicky sukses digampar majalah yang
lembarannya membuat jarak yang lumayan pada mikrometer sekrup. Daniel menekuk
wajahnya, memandang datar pemandangan yang disodorkan padanya, sambil menopang
wajah dengan tangan yang ditumpu pada tangan kursi. Kayaknya dia juga
kehilangan selera membaca.
“Lo pernah jatuh cinta, Niel?”
“Kalimat retoris,” Daniel mendesis.
“Kalo gitu lo jangan ngejek gue dong.”
“Iya iya!”
“Lo tahu lem besi nggak?”
Daniel melirik, sekilas tampak tak minat.
“Untungnya, iya.”
Dicky tak menghiraukan nada sinis itu. “Anggap aja
nih, teralis balkon lo. Lo tempel sobekan majalah ini pake lem besi. Biarin
kering. Trus lo copot lagi kertasnya. Apa yang lo liat?”
“Yang pasti besi teralisnya nggak sepenuhnya bersih.
Masih ada sisa-sisa sobekan kertas majalah...”
“Itu yang gue rasain.”
“Gue nggak nyambung. Coba nggak usah pake filosofi
segala.”
“Rasanya aneh. Ketika lo udah kadung nempel ke satu orang dan lo berusaha lepas ikatan itu ke
orang lain...”
“Jadi maksud lo masih ada bekasnya gitu? Bekas
perasaan lo ke Kinal?”
“Berisik! Gue belom selesai ngomong.”
Daniel menurut dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
“Pokoknya rasanya aneh. Karena lo berusaha
memindahkan area nyaman lo ke orang lain. Aneh. Rasanya aneh! Kayak kopi
dikasih garam.”
Dicky memandang langit. Pandangannya menerawang
menembus bahkan sampai eksosfer, lapisan terluar atmosfer. Terus melejit sampai
ke satelit alami bumi, yang gravitasinya mempengaruhi air laut. Bulan.
“Detik ini gue ngerasa, jawaban dari “suara itu” benar-benar
sesat.”
“Sayang sekali,” jawab Daniel, setengah kecewa
setengah menyindir.
“Menurut lo kertas majalah yang ditempel di teralis
kalau dilepas menghancurkan si kertas, dan ada bekas di teralisnya? Bagi gue
nggak. Kertas itu bakal terus menempel tanpa ada yang bisa melepas, dan lem
yang merekatkannya adalah lem besi terbaik. Oh, sori gue salah...,” Dicky
bermonolog. “Ada yang bisa melepasnya. Waktu. Itu pun kalau dia bisa...”
Mereka berdua saling bertukar pandang.
“Apa gue...”
“Apa lo butuh pedang?” potong Daniel sambil ngikik.
“Mungkin,” jawab Dicky sekenanya. “Gue harus perang
dengan apa yang namanya... waktu.”
“Dan kesatria membawa bendera tanpa pedang itu
datang ke istana sang putri, sambil membawa senyum bahagianya meski keadaannya
compang camping dan babak belur dibabat sang waktu. Oh indahnya...” Daniel
mendramatisir keadaan, pake peragaan tangan segala.
Dicky memandang Daniel sentimental, membuat temannya
membentuk jari dan berkata, “Pisss.”
Detik berikutnya seluruh dimensi lenyap, secara
visual, audio, maupun audio-visual. Dicky tercenung. Lama ia tenggelam, dalam
dirinya sendiri. Berjuang mengarungi sungai berair kata-kata sepintas tak
berarti, dan buruknya lagi, tanpa ujung.
@anggianab #CerbungKinalProject
Komentar
Posting Komentar