[Matahari Milikku] #13. Magnet



“Halo, Nal. Sori hari ini gue nggak bisa jemput lo.”

“Eng?” sahutku sambil mengunyah lebih cepat supaya bisa bicara. “Emangnya lo wajib jemput gue tiap hari ya?” Setelahnya aku mencomot rotiku lagi.

Dicky tertawa pelan. “Ya kali aja lo nungguin gue hari ini.”

Aku mengedarkan pandanganku menuju jam dinding. “Udah jam segini, nggak mungkin lo jemput gue. Bisa telat kita berdua.”

“Oke. Makasih pengertiannya,” katanya, lirih.

Aku berhenti mengunyah. Entah kenapa nadanya membuatku terusik. Hening selama beberapa detik makin membuatku yakin kalau ada yang dipikirkan Dicky. “Halo? Dick, lo nggak papa kan?”

“Hah?” Suaranya serak seperti sudah dipendam lama tak digunakan. “Ah, nggak papa. Udah ya, gue mau siap-siap berangkat.”

“Hah? Masih jam enam kurang juga! Rumah lo kan tinggal loncat aja ke sekolah.”

“Nggak masalah. Gue kan nggak kayak elo kalo berangkat, nggak peduli rumah gue deket ato kagak. Seharusnya lo yang rumahnya jauh bisa lebih awal datengnya dari pada gue dong.”

Aku mencibir. “Gue udah denger ceramah pagi ini di tipi, lo nggak usah nambah-nambahin. Udah buruan pergi sono!”

Dicky tergelak. “Oke.”

Klik! Sambungan telepon diputus.

***

Kerumunan di depan mading sekolah menarik perhatian begitu aku memasuki gerbang. Ng? Ada apa ya? Tentang pengumuman nilai try out? Tapi kemarin bukannya udah? Atau tentang kontroversi Rhoma Irama jadi presiden? Atau aktor cakep Herjunot Ali bakal bertandang ke sekolah? Ngaco deh. Atau penghapusan ujian nasional? Amin!

Sambil bermisi-misi ria dengan seenaknya aku menyeruak di kerumunan, berusaha mendapat tempat paling depan. Begitu sampai ternyata bukan pengumuman nilai, Rhoma Irama, Herjunot Ali, maupun ujian nasional. Melainkan poster ukuran lebih besar dari A3 yang dibuat oleh pengurus OSIS. Sedetik kemudian, beberapa orang di belakangku mulai membubarkan diri.


Hm. Pengurus OSIS membuat acara lomba bertema Jepang. Ada lomba cosplay dan cover dance. Seluruh siswa boleh ikut. Acara ini dipersiapkan untuk event di kota, jadi yang terbaik akan maju mewakili nama sekolah.

“Mau ikut, Nal?” Tiba-tiba saja Ayana sudah ada di belakangku.

“Hm? Ikut? Cosplay ya... Paling gue keliatan lebih imut pake kostum Doraemon.”

Ayana tertawa. “Jangan yang cosplay. Yang cover dance aja.”

Aku mengangkat alis memandangnya. “Cover dance? Nari Jepang? Nggak bisa gue.”

“Ya cover dance-nya AKB48 aja,” sahut Ayana sambil cengar-cengir. “Di sini kan bebas, boleh tradisional Jepang atau modern.”

Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. “Nggak deh. Gue udah pensiun ikut ekstra dance.”

“Di sini kelas 3 boleh ikut kan?” Ayana menunjuk poster di balik kaca itu.

“Nggak ah. Lo aja yang ikut.”

“Kalo lo nggak ikut gue juga nggak. Kan kita satu tim di dance.”

“Kan masih ada temen-temen lain.”

Ayana mengerucutkan bibir sambil berpikir. “Nggak,” jawabnya lalu cengengesan sendiri.

“Hm, dasar penakut.”

Awalnya kukira kalimat itu bukan untukku maupun Ayana. Maka aku biarkan. Tapi sesuatu menarikku untuk merespon. Aku lirik sana lirik sini. Ternyata di depan mading hanya ada aku dan Ayana. Jadi nggak salah lagi itu kalimat untuk aku, atau Ayana, atau kami berdua.

Namun begitu melihat pelakunya, kalimat itu ternyata memang untukku.

“Alasan aja kali pensiun dari ekstra dance. Bilang aja takut kalah dari kita-kita,” kata Mela sambil bersedekap, meminta persetujuan pada cicit-cicitnya di belakang. Dan kepala cicit-cicit itu mengangguk setuju.

Huh, dia lagi, dia lagi. Aku menyipitkan mata, sementara Ayana merangsek agak ke belakang punggungku. Ia memegangi lenganku, bukan takut, terlebih sepertinya mencegahku menyerang balik.

Sebenarnya Ayana nggak perlu bertindak demikian. Aku sudah capek meladeni mulutnya itu. Maka aku melangkahkan kaki, melengos pergi. Ayana mengikuti bingung dari belakang, tapi berangsur-angsur ia tersenyum setuju padaku.

***

Mela menatap kesal Kinal yang melaju pergi begitu saja. Tangannya terkepal dan kakinya mencak-mencak.
“Apa-apaan? Main pergi aja! Emang dasar penakuuuuuutt!!!”

Nggak ada respon. Punggung itu tetap menegak pergi. Nggak terguncang karena tersinggung atas ocehannya barusan. Membuat Mela makin kesal.

“Kok tumben dia nggak ngerespon?” tanya Mela pada anggota gengnya.

“Lo gimana sih, Mel. Dia respon, lo marah, nggak respon lo juga marah. Mau lo apa?” kata Ayen, terlalu polos.

Spontan pelototan mata ketiga temannya tertuju padanya.

“Mela,” panggil seseorang.

Mela berbalik, dan, wajah merengutnya langsung lenyap tak bersisa. Dicky, yang kayaknya baru datang berdiri di depannya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. Tatapannya sedatar tripleks di toko bangunan.

Meski begitu, Mela girang bukan main karena Dicky memanggil namanya.

“Ya? Ada apa?” tanya Mela, nadanya diberi gula satu kilo biar kedengeran manis.

“Gue mau ngomong...” Dicky terlihat ragu-ragu. “Empat mata aja.”

Mela melongo. Lebar mulutnya sudah sepadan dengan lebar Gua Hantu milik Si Buta. “Boleh! Boleh!” Saking senangnya, Mela menjawab sambil histeris. “Di mana??”

Dicky celingukan sebentar. “Eng, di sini aja,” katanya menunjuk pilar nggak jauh dari tempat mading. Kemudian mata Dicky menatap satu per satu anak Mela. Mela langsung paham dan memberi isyarat supaya nggak ikutan pada ketiga temannya itu dan berkata tanpa suara, “Empat mata bok!”

***

Mendekati pintu kelas, langkahku berangsur-angsur biasa. Ayana masih mengikuti di belakang, langkahnya juga mulai biasa. Begitu sampai di ambang pintu kelas, sesuatu menahanku. Langkahku seperti direm mendadak, membuat Ayana menabrak tubuhku dari belakang.

“Aduh!” sahut Ayana sambil mengusap-usap hidungnya.

“Eh, sori banget Chan.”

Ayana mengibaskan tangannya lalu berjalan melewatiku memasuki kelas. “Nggak papa.”

Tidak ada niat dariku untuk balik mengikuti langkah Ayana. Ada sesuatu yang menahanku. Dan sesuatu itu, menyuruhku menoleh lagi pada mading sekolah. Inisiatif bodoh, menatap Mela dan cicit-cicitnya sekali lagi.

Tapi begitu kulihat, aku merasa sesuatu yang menyuruh dan menahanku itu berguna. Bukan sekedar inisiatif bodoh. Ya, berguna untuk membuat suasana hatiku berubah, menjadi abstrak.

Mela dan Dicky ngobrol. Berdua saja, agak tersembunyi di balik pilar. Bahasa tubuh mereka dan cara mereka ngobrol... intens.

***

Bel istirahat pertama terdengar lebih nyaring dari biasanya.

“Jadi fix ya, kerja kelompoknya di rumah gue?” kata Melody setengah membalik badan ke belakang. Aku diam saja, Willy dan Dimas mengangguk setuju.

“Kalian berdua tahu rumah gue kan? Kalo nggak tahu tanya Kinal aja,” lanjut Melody.

“Rumah lo yang deket rumah Mela itu kan?” tanya Dimas.

Aku balik badan untuk memasukkan buku ke dalam tas sambil tersenyum geli. “Ciye, Dimas tahu rumah Mela.” Disambut seringaian dari Melody dan Willy.

Dimas kelihatan salah tingkah. “Bukan. Gue tahu rumah Mela dari Naomi.”

Kami bertiga terkesiap. Aku dan Melody saling pandang dan mesam-mesem. Sementara Dimas kelihatan menyesal mengaku, dalam hati pasti ngomong, “Duh bego keceplosan”.

“Jadi kecengan lo sekarang Naomi, Dim?” godaku lagi.

“Siap-siap jadi musuhnya Kinal lo. Dia kan anaknya si Mela,” tambah Willy.

Dimas mengusap rambutnya pelan. “Nggak, gue nggak ada apa-apa sama Naomi.”

“Nggak papa lah kalo kalian jadian, yang penting kita bertiga kena cipratannya,” kataku.

“Dengan makan sepuasnya!” seru Willy.

Kami semua tertawa kecil. Sementara Willy dan Melody terus menggoda Dimas, sesuatu itu datang lagi. Sesuatu itu menyuruhku untuk menoleh ke arah lain. Dan pandanganku tertumbuk pada luar kelas.

Mela menunggu di depan. Begitu Dicky keluar, dengan antusias Mela menariknya pergi.

Sekali lagi, sesuatu itu benar-benar berguna. Berguna untuk membuatku rela menghabiskan waktu untuk bermonolog dengan diri sendiri. Begitu banyak pertanyaan yang mengelilingi kepalaku atas apa yang kulihat tadi pagi. Mengapa tadi pagi Dicky kelihatan baru datang setelah aku datang, padahal di telepon dia berangkat jam enam kurang? Mengapa mereka berdua, Mela dan Dicky ngobrol intens tadi pagi? Bukannya aku berpikiran Dicky nggak mau ngomong ama Mela perkara di pantai itu, jelas kekanakan kalau Dicky ngambeknya sampe sekarang. Tapi...

Dan lagi, tumben-tumbennya mereka berdua istirahat sama-sama?

Itu dia. Kata tumben... Karena selama ini mereka nggak pernah seperti itu, persepsiku jadi berbeda. Seperti ada yang melatarbelakangi, padahal sebenarnya sah-sah aja karena mereka teman.

Dan... sesuatu itu... yang menarikku dua kali itu...

Seharusnya aku tahu sesuatu itu apa. Magnet. Dicky adalah tempat magnetku bermuara.

***

Di rumah Melody, jam 4 sore.

Kerja kelompok sudah dimulai setengah jam yang lalu, tapi kami berempat belum membuat apa-apa. Membuat sih... membuat toples-toples cemilan Melody ludes. Dari tadi kami kebanyakan bercanda dan ngobrol. Tugas berkelompok membuat naskah drama yang setengah jam harusnya sudah menulis beberapa paragraf atau minimal, sebuah tema, ini malah masih tertulis nama kelompok di kop kertas folio.

“Udah, udah, ini kita kapan selesainya?” tegur Melody, membungkuk memegang bolpoin, bersiap menulis tugas kami.

Tugas bahasa Indonesia ini membuat naskah drama. Naskah yang terbaik bakal dimainkan di pelajaran bahasa Indonesia dengan pemeran seluruh anggota kelas.

“Temanya?” tanya Dimas.

“Misteri aja!” usulku. Mata ketiga temanku melihatku secara bersamaan. “Kalau drama, udah keseringan! Gue berani taruhan tema semua naskah drama di kelas kita pasti drama percintaan semua.”

“Tapi kalo misteri, apa nggak keberatan? Kita harus meras otak, dan ceritanya harus runut dan apik,” kata Willy.

“Berani eksperimen dong!” sahutku, mencoba membangkitkan semangat teman-temanku. “Ayolah, naskah kita harus jadi nomor satu di kelas!”

Ketiga orang di depanku terdiam.

“Misteri... pembunuhan, gitu?” tanya Melody.

Aku mengangguk.

“Semacam Sherlock Holmes?”

“Ya nggak serumit itu juga. Kita bikin sesederhana mungkin.”

“Gimana kalo genre action aja? Perampokan?” usul Dimas.

“Menarik,” sumbang Willy.

“Teruuuss?” tanya Melody.

“Pembunuhan yang ada pencuriannya?” tanyaku. “Atau...”

“Awalnya perampokan terus merepet ke arah pembunuhan,” kataku, barengan dengan Dimas.

Kedua temanku yang lain mengerutkan kening, berpikir. Beberapa detik hening, namun diakhiri anggukan semua temanku.

Aku berhehe ria dan meminta kertas folio tugas kami. “Gue aja yang nulis.”

Dan kami berdiskusi. Kertas folio tugas kami dipinggirkan dulu, sebagai gantinya kami pakai kertas buram untuk corat-coret. Diskusi berjalan alot karena isi kepala kami berbeda-beda. Sulit memang menggabungkan empat kepala sekaligus dalam satu cerita. Kadang dua penulis aja udah cukup sulit.

Jam lima lewat, hujan turun. Kami bahkan nggak sadar kapan langit mendung saking seriusnya berdiskusi.

“Mau kopi atau teh?” tanya Melody, berancang-ancang berdiri.

“Kopi,” sahut Dimas dan Willy barengan.

“Gue teh aja,” kataku.

Sementara Melody menghambur ke dapur, diskusi masih terus berlanjut. Sampai akhirnya langkah Melody tergopoh-gopoh berdebam di lantai menghampiri kami.

“Yah, gula gue abis. Gue beli dulu ya di depan,” katanya sambil masuk kamar untuk mengambil jaket.

“Depan? Kenapa nggak di warung belakang?” tanyaku.

“Orangnya lagi pulang kampung.”

“Gue aja yang beli!” kataku sedikit keras supaya tidak tertutup suara hujan yang menderas.

“Nggak bisa gitu ah. Gue aja.”

“Gue aja Mel!” kataku sedikit memohon. Entah mengapa.

“Bener nggak papa? Nggak usah deh, gue suruh Frieska aja yang beli.”

“Nggak, gue aja. Gue juga mau ujan-ujanan,” Kudengar mulutku bicara.

Melody menimbang sebentar. “Hm, ya udah deh. Gula lima kilo ya.”

“Kinal ngebet gitu. Jangan-jangan lo naksir si penjaga warung ya.”

Aku memelototi Willy sebelum keluar rumah.

“Payungnya di deket pager!” teriak Melody.

***

“Makasih, Pak!”

“Oke Neng sama-sama!” seru bapak si penjaga warung yang agak gaul itu.

Aku membentangkan payung. Payung Melody yang kuambil adalah payung berwarna merah muda berkuping kucing. Agak kekanakan, tapi ya sudahlah.

Aku dan Melody sejak kelas satu selalu satu kelompok. Otomatis nyaris tiga tahun kami sebangku. Jadi aku mengenal lingkungan rumahnya dengan cukup baik. Seperti yang sudah kubilang tadi, ada warung di belakang rumah Melody. Kalau mau apa-apa, tinggal beli di situ aja. Tapi kata Melody tadi orangnya pulang kampung, jadi di sinilah aku. Warung ini terletak di sebelah halte di pinggir jalan besar, yang bisa diakses dengan keluar dulu dari gang rumah Melody.

Sebelum melangkah lagi, aku sengaja mengedarkan pandangan ke halte dahulu. Lagi-lagi, tanpa alasan. Kemudian pandanganku tertumbuk pada warung kacang ijo tepat di samping halte.

Dan ternyata inilah yang membuatku kemari. Magnet itu bereaksi lagi.

Avanza hitam diparkir di samping warung kacang hijau tersebut. Dua orang keluar dari dalamnya. Perempuan dan laki-laki. Si laki-laki buru-buru mengampiri si perempuan untuk memayungi dengan jaket. Si perempuan tampak tersipu, dan mereka berdua lenyap dari bilik warung kacang hijau.

Aku terpaku. Cairan hangat keluar dari kelopak mataku. Begitu saja.

***

“Di sini hujan angin Mel, gue bakal telat balik nih. Lanjutin diskusinya dan buruan tulis naskahnya ya.” Mail sent. Aku berdusta.

Bukan hujan angin yang menahanku di halte untuk nggak segera balik ke rumah Melody. Melainkan hujan angin yang melandaku, membuat kondisiku nggak memungkinkan. Aku nggak mungkin menemui teman-temanku dengan keadaan hati patah-patah.

Aku mengusap pipiku yang basah, entah sudah berapa kali. Sudah sepuluh menit aku menangis di halte, sudah tiga orang yang sedang berteduh bertanya padaku apa aku baik-baik saja. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Setelah menanyakan itu, ekspresi mereka bertiga jadi aneh. Mungkin pikir mereka aku memang aneh, seorang cewek nangis sendirian di halte sambil membawa bungkusan gula dan payung merah muda berkuping kucing. Seperti anak kecil yang takut dimarahi ibunya kalau pulang membawa gula, padahal disuruh membeli garam.

Aku memandangi langit. Hujannya sudah lumayan reda. Beberapa peneduh mulai pergi karena dirasa hujan yang sekarang nggak akan terlalu membasahi pakaian dan barang mereka. Dan seketika halte jadi sepi. Hanya ada beberapa orang yang menunggu angkutan umum.

Dan avanza hitam itu masih di sana. Magnetku masih belum mau lepas.

***

Dicky duluan ke mobil saat mereka berdua selesai makan kacang hijau. Gara-gara menunggu Mela yang masih di bilik warung, Dicky harus melihat dia.

Melihat cewek yang entah mengapa bisa ada di sana. Duduk sendirian dengan kepala tertunduk. Apa yang dilakukannya?

Cewek itu perlahan mendongak, nggak jelas memandang langit atau memandang langit-langit halte. Di jarak yang sedekat ini, mata normal Dicky tentu bisa menangkap ekspresi yang kini hinggap di wajah cewek itu.

Dicky tertegun. Beberapa detik, ia tak bisa melakukan apa-apa. Sampai kemudian badannya condong ke belakang untuk mengambil sesuatu di jok. Sebuah kamera.

Cklik!

Dicky merogoh ponselnya di saku. Menekan sebuah nomor dan mendekatkan benda itu pada telinganya. “Halo. Lo di mana? Sibuk? Bisa ke sini? Gue minta tolong... Halte Jl. Dr. Sucipto. Oke. Thanks.”

Cklek! Pintu penumpang di buka. Mela masuk dengan membawa wajahnya yang berseri-seri. Dicky meletakkan kembali kamera di jok belakang, mengantongi ponsel, dan menghidupkan mesin.

“Rumah lo tiga blok dari sini kan?” tanya Dicky.

“Iya. Kita pulang?”

“Iya. Udah mau malem.”

Ada raut kecewa di sana, tapi Mela berusaha senang. Kesempatan diajak keluar Dicky saja merupakan suatu keajaiban. Mela berdoa saja kalau ada lagi momen-momen seperti ini di hari berikutnya.

Ban Avanza itu pun berputar menggilas aspal. Saat melintas di depan halte, sengaja Dicky tegak memandang ke depan. Dicky terlalu sakit melihat pemandangan itu.

***

Dirasa cukup lama aku berdiam diri, kuputuskan untuk balik. Bisa berabe kalau salah satu temanku datang menjemput dan menemukan keadaanku yang lebih parah dari korban angin topan sekalipun. Berlebihan sih, tapi setidaknya memang begitu suasana hatiku sekarang.

Rasa yang pasti dirasakan semua orang kalau ada di posisiku sekarang. Padahal sudah kutekankan berkali-kali pada diri sendiri, aku dan Dicky hanya sebatas teman, nggak sepantasnya aku begini. Tapi terkadang jika kau tidak punya pilihan lain, menangis adalah jalan terbaik melarikan diri. Setidaknya bagi cewek.

Sebelum beranjak berdiri, aku memandang warung kacang hijau itu lagi. Tapi tidak kutemukan Avanza di sana. Kapan mereka pergi? Kok aku nggak menyadarinya?

“Cari siapa?”

Jantungku nyaris melejit keluar lewat tenggorokan. Dengan kekagetan jelas terpancar, aku menatap seseorang yang entah sejak kapan ada di sebelahku. Di luar halte, Avanza hitam itu terparkir. Dari jendela depannya, tak kutemukan Mela di sana.

“Kok lo di sini?” tanyaku.

“Seharusnya gue yang tanya.”

“Eng, gue lagi kerja kelompok di rumah Melody.”

“Kerja kelompok kok nyasar di halte?”

“Ini gue abis beli gula, anak-anak mau minum kopi,” kataku sambil menunjukkan bungkusan yang kubawa.

Diam sejenak.

“Nal? Lo... abis nangis ya?”

Aku tersentak, dan buru-buru mengusap mataku. Lalu nyengir, dan menghindar dari tatapan tajamnya. Percuma bohong. “Eh, i-iya.”

“Kenapa? Lo inget si Arya itu lagi ya?”

Aku terhenyak. Aku meremas-remas celanaku. Nggak mungkin kalau bilang aku... ah sudahlah. Iyakan saja! “I-iya...”

H e n i n g.

“Nggak balik?”

“Ini mau balik.”

“Gue anter ke rumah Melo ya?”

Entah mengapa dadaku makin sesak. Kutahan mati-matian air mata yang hendak tumpah lagi. Makanya saat masih sempat, aku buru-buru beranjak berdiri. “Nggak perlu. Gue sendiri aja. Deket kok,” Selanjutnya aku merutuki diri karena suaraku terdengar jelas sekali bergetar.

Aku meraih payung Melody, mengangkatnya sehingga menaungiku meski aku masih di bawah lindungan atap halte dan hujan nyaris reda. Dicky tak lagi bersuara atau bahkan, tak bergerak seinci pun.

Tiga langkah pertama, mendadak aku berhenti. Aku membalikkan badan, kalimat tak semestinya dan ceroboh, tidak dipikirkan dahulu keluar dari mulutku. Seperti orang bangun tidur, setengah sadar aku polos berkata, meski malah membuat sesak itu makin menjadi.

“Kalo jadian ama Mela, bilang-bilang ya...”

***

Cklik terakhir dan lensa itu berputar-putar. Setelah Kinal berbelok menuju gang rumah Melody dengan payung merah muda berkuping kucing, Daniel keluar dari persembunyian, mendekat, dan duduk di tempat Kinal duduk tadi.

“Gimana menurut lo?” tanya Dicky. Matanya menerawang.

“Kalimat terakhirnya itu kalimat penjelas secara keseluruhan,” kata Daniel sambil memandangi hasil jepretannya. “Dari caranya menghindar dari tatapan lo, itu artinya dia bohong.”

“Jadi dia nggak lagi mikirin mantannya kan?”

“Tuh tahu.”

Dicky menghembus napas pelan. “Gimana, hasilnya?” katanya sambil menatap Daniel yang sibuk dengan kamera.

“Sesuai kemampuan gue,” kata Daniel menyerahkan kamera.

Dicky memandangi hasil-hasil jepretan Daniel. Ya, Daniel sengaja ia panggil kemari jadi tukang foto. Menangkap kesedihan Kinal dalam sebuah gambar. Setelahnya dicetak, kalau Dicky butuh moodbreaker tinggal lihat aja fotonya.

Dicky mendecak kagum. “Lo emang fotografer andal.”

Daniel hanya tersenyum.

“Apa yang bakal lo lakuin setelah ini?” tanya Daniel.

Dicky menggeleng pelan. “Gue nggak tahu.”

“Lo udah buat cewek nangis!”

“Jangan dipertegas.”

Daniel tersenyum iba dan menepuk pundak kawannya itu. Dicky mematikan kamera dan duduk terpekur memikirkan sesuatu.


Dicky memandangi langit. Langit semesta dengan langit hatinya sekarang nggak jauh beda. Atau malah, lebih parah.


@anggianab #CerbungKinalProject

Komentar