[Matahari Milikku] #11. Beda
Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #10. Yang Tertempel di Dinding, di Ujung Ranjang
“SELAMAT PAGI!!!” Teriakkan itu menggema, yang
mengucapkannya seperti mengerahkan seluruh tenaga.
“PAGI JE!!”
“Ampun, Dick! Nggak usah keras-keras napa? Kuping
gue masih normal!” protes Jeje sambil mengusap telinganya.
Dicky nyengir lebar sekali sampai-sampai matanya
sipit. Ia meletakkan tas pada bangkunya, tanpa beranjak duduk. Lalu ia menepuk
bahu seseorang yang duduk di sebelahnya, sedang serius menekuri buku.
“PAGI NIEL!”
“Tumben lo ngucapin pagi ke gue?” kata Daniel datar
tanpa mengalihkan pandangannya.
Lagi-lagi ekspresi Dicky sama dengan ekspresi yang
ia berikan pada Jeje barusan.
“Lagi seneng ya lo?” kata Daniel, matanya melirik
sedikit.
Dicky angkat bahu. “Nggak juga.”
Daniel mengikuti jejak Dicky, mengangkat bahu nggak
mau ambil pusing, lalu melanjutkan bacaannya lagi.
Selanjutnya yang terjadi, Dicky beranjak berdiri di
ambang pintu saat sebelumnya ia melihat bangku seseorang kosong. Jadi ia
memutuskan untuk menunggu di depan kelas, agar bisa mengucap selamat pagi pada
seseorang itu. Seperti yang dilakukannya sekarang, mengucapkan selamat pagi
pada semua teman yang berdatangan sambil membungkuk sekali-sekali seperti PSG.
Tak lupa senyum yang tidak bosan diulaskannya. Tapi orang itu tak kunjung
datang.
Dicky melihat jam tangannya. Jam tujuh kurang lima.
Kenapa lama sekali? Apa terjadi sesuatu? Makin berjalan detik jarum jam
tangannya, makin membeludak rasa cemasnya. Dicky mulai berkeringat. Ini respon
aneh yang nggak Dicky sadari karena terlalu cemas memandang pintu gerbang sekolah,
menunggu. Hingga beberapa teman yang baru datang masuk, tetap ia ucapkan
selamat pagi meski dengan nada berbeda, senyum yang sedikit pudar, namun mata
membelalak nyaris maksimal mengamati wajah-wajahnya. Belum, orang itu belum
datang.
Dua menit sebelum bel masuk, akhirnya orang itu
datang. Kehadirannya langsung nampang di depan mata, padahal mata Dicky sampai
nyureng memandangi gerbang sekolah. Entah orang ini datang darimana, atau
mungkin ia masuk lewat gerbang depan tapi luput dari pandangan Dicky. Mungkin
itu terjadi ketika Dicky menyapa dan mengamati wajah teman-teman yang barusan
masuk.
Cewek itu ngos-ngosan. Matanya membulat begitu ia
melihat Dicky dan nyaris menabraknya. Cewek itu mengusap peluh yang bercucuran,
membuat Dicky panas dingin.
Dicky baru sadar apa yang telah terjadi.
Mengapa ia perlu begini?
***
Aku mengatur napas sambil membungkukkan badan. Tepat
di depanku Dicky berdiri sambil mengamati.
Entah apa yang dipikirkannya dan untuk apa ia
memerhatikanku, yang jelas aku terlalu lelah untuk berpikir. Aku memutuskan
untuk turun dari bis sebelum halte sekolah karena aku merasa bis yang kutumpangi
sudah berubah menjadi siput kena osteoporosis. Sangat amat lamban. Didukung
jalanan macet penuh dengan kendaraan berdempet-dempet, jarum jam yang tidak
bisa diajak kompromi barang lima menit saja, akhirnya aku mengambil opsi lari
sampai gerbang sekolah. Yang sialnya, ternyata tempat di mana aku berhenti
berjarak satu blok dari sekolah.
Aku menegakkan badan dan mata Dicky mengikutinya.
Aku mengusap keringat sekali lagi.
“Selamat pagi,” katanya, lirih. Ekspresinya, seperti
bangun dari mimpi.
Aku mengangkat kedua alisku, lalu setengah nyengir,
masih terus ngos-ngosan. “Selamat pagi.”
Tepat aku tamat menyelesaikan kalimatku, bel masuk
menjerit-jerit. Uh-oh, kupikir sudah bel sebelum aku sampai karena keadaan
sekolah begitu sepi. Gerbang sekolah tadi saja setengah ditutup. Uhf...
selamat...
Aku berjalan masuk, dan, saking senangnya aku
melewatkan Dicky begitu saja. Ia sendiri seperti terpaku di ambang pintu, namun
kemudian setengah berlari menyusulku.
“Telat bangun, Non?” tanyanya jenaka.
Aku nyengir tapi membelakanginya. “Iya. Jalan juga
macet.”
“Ya iyalah, jam berapa ini?”
Aku beranjak duduk di sebelah Melody dan anehnya, ia
masih terus mengikuti. Biasanya ia duduk di bangku depanku tapi bangku itu
ditempati pemiliknya. Jadi ia berdiri di sebelah mejaku.
Aku mendongak menatapnya. “Ada apa?”
“Eh?” katanya, lagi-lagi seperti bangun dari mimpi.
Lama-lama aku curiga sebenarnya ia masih tidur. Dan sekarang ia mengalami tidur
sambil jalan. Tapi keadaan matanya terbuka, jadi itu mustahil. Atau
jangan-jangan, pikirannya masih ngetem di alam mimpi?
Kemudian ia terlihat salah tingkah, seperti
menggaruk-garuk kepalanya dan kepalanya menunduk sedikit. Yang kurasa percuma
karena aku duduk, jadi masih bisa melihat wajahnya.
“Ng, selamat pagi.”
“Hah? Lo udah ngucapin tadi,” kataku, heran.
“Oh ya?” katanya, lalu disusul ekspresi seperti
ingat sesuatu. Lalu ia nyengir sampai matanya sipit. “Sori.”
“Lo kenapa sih Dick?” kataku cepat.
Ia terlihat diam. Memandangku, datar. Terus begitu
hingga membuatku jengah. Tak sesentipun ia bergerak, diam seperti patung batu
pualam.
“Assalamu’alaikum...” sapa seseorang tiba-tiba. Aku
menggeser kepalaku ke belakang Dicky, melihat guru pelajaran pertama berjalan
masuk sambil menenteng tasnya.
“Wa’alaikum salam,” jawab teman-teman serentak.
“Ada gurunya, Dick,” bisikku sambil menarik ujung
seragamnya.
Dicky menoleh pada guru yang sudah duduk itu, dan
anehnya ia tak langsung kembali ke kursinya. Malah-malah ia membungkuk ke
arahku, bibirnya mendekat ke telingaku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan
desah napasnya. Membuatku mati-matian berharap bahwa detak jantung yang bertalu-talu
tidak didengarnya. Aku meremas tangan kuat-kuat.
“Ng,” bisiknya. “Ntar aja deh di jam istirahat.”
***
Setelah mengucap salam, guru itu melenggang keluar
kelas. Tepat setelah itu, bel istirahat berbunyi. Aku memasukkan
barang-barangku ke tas dan Melody bertanya apa aku mau ke kantin. Sebelum aku
menjawab Ayana datang dan berdiri di sebelahnya.
Tapi jawabanku dijegal. Karena tiba-tiba seseorang
menepuk kedua bahuku dari belakang. Aku mendongak dan melihat wajah Dicky yang
memandang Melody dan Ayana. Tanpa perlu dikomando pipiku bersemu merah
mengingat apa yang dikatakannya sebelum ini. Sederhana memang, tapi aku tak
pernah sedekat itu dengannya. Sedekat itu
dengannya.
Seperti mendapat jawaban, mulut Melody berbentuk
bundar dan kepalanya mengangguk berkali-kali. Tangannya menggapai tangan Ayana,
mengajaknya pergi. “Oke deh,” katanya dengan nada jail.
“Lho? Lho?” kataku.
“Sori ya, Mel,” Suara itu berasal dari Dicky, dan,
begitu aku mendongak, ia nyengir pada Melody.
Melody tersenyum mengerti. “Haha, nggak apa-apa. Mau
pesen, Nal?”
Aku mengerutkan kening tak mengerti, benar-benar
lamban berpikir. Aku mengangguk begitu saja, bahkan saat Melody menawarkan
siomay dan jus alpukat aku pun juga mengangguk. Sepeninggal Melody, tangan
Dicky yang rupanya tidak hengkang dari kedua bahuku menarikku supaya berbalik
menghadapnya.
“Temenin gue ke perpus, ya?” pintanya, melepas
tangannya lalu bersikap biasa.
Melihat itu dan merasakan adanya perubahan–yang
membuatku lamban berpikir juga tadi mungkin gara-gara tangannya
itu–berangsur-angsur aku pun bersikap biasa.
“Katanya tadi mau ngomong?”
“Iya, di perpus.”
Aku mengangkat alis, tapi toh aku membututinya
menuju perpus.
***
“Ke bioskop?”
Dicky mengangguk cepat, wajahnya senang, matanya
berpendar cahaya.
Tapi aku malah memandangnya tak mengerti. “Lo ngajak
gue ke bioskop aja kudu di perpus?” tanyaku skeptis.
Dicky tertawa kecil dengan suara amat pelan. “Maaf,
gue nggak pernah ngajak jalan cewek soalnya,” katanya polos.
Serta merta aku menelan ludah, merasa melayang di
udara. Dia bilang nggak pernah ngajak cewek sebelumnya...? Jadi aku cewek
pertama dong?
Hello... hello! Panggilan untuk Kinal dari bumi,
jangan tinggi-tinggi kalo terbang! Kalo terbang pun jangan sambil merem, entar
nubruk pesawat lewat! (yang ini ngaco).
Aku segera menormalkan diri, dengan berakting
menatapnya tak percaya. “Nggak pernah? Mana mungkin...”
“Serius!” katanya dengan penuh penekanan dan
membenahi duduknya sedikit. “Makanya gue ajak lo ke perpus. Gue nggak mau
didenger siapapun, karena kalo ada yang denger dan menyadari nada gue yang gugup,
gue bisa ketiban malu tujuh lapis.”
Dasar jaim.
“Ya kan? Nada gue tadi aneh kan? Gugup kan?”
Sejenak aku mengingat-ingat ekspresi juga nadanya
barusan. Memang sedikit gugup dan sedikit terbata-bata, tapi aku merasa itu
masih normal. Bukan hal yang bisa membuat malu apalagi tujuh lapis.
“Nggak juga,” kataku, khidmat.
“Oya? Hahahaha!!” katanya, nadanya aneh. Makanya aku
pun juga memandangnya aneh sekarang.
“Gimana? Mau nggak?”
“Emang mau nonton apa?”
“Ya nonton film yang bagus.”
“Loh? Jadi lo ngajak gue nonton begini belom tahu
apa yang mau ditonton?”
Dicky menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Nah gue belom baca koran pagi ini. Eh, di sini ada koran kan?” tanyanya lalu
beranjak berdiri dan mencari koran.
Nggak sampai semenit ia kembali dengan koran
terentang lebar. Ia duduk dan langsung menunjuk ke satu kolom film yang tayang
hari ini di bioskop.
“Ini aja. Gimana?”
Aku membaca judulnya. “Suster Ngesot Mandul”.
Aku nyengir dan geleng-geleng.
“Hm...” katanya, seperti berpikir. Lalu ia
memandangi kolom-kolom itu lagi, dan tanpa suara menunjukkanku satu kolom lagi.
Kali ini judulnya, “Pocong Koboi dan Kuntilanak Cabe-Cabean”.
Aku nyengir lagi, kali ini dibarengi tawa yang
tersendat-sendat sambil menggeleng. Seleranya jelek! Setidaknya bagiku.
“Lo nggak suka horor?” tembaknya.
Aku menggeleng lagi sambil meringis.
“Hm...” katanya lagi memandangi kolom-kolom. “Kalo
gitu lo suka apa? Action? Komedi? War? Petualangan? Fantasi? Atau...
drama?” katanya, kata yang terakhir matanya melirik.
“Terserah. Asal jangan horor.”
“Kenapa sih? Padahal “Pocong Koboi dan Kuntilanak
Cabe-Cabean” dari judulnya aja udah menjanjikan. Nggak sepenuhnya horor kok,
ada komedinya!”
Aku menggeleng tegas. “Nggak, nggak, nggak!” kataku
dengan nada mewanti-wanti.
“Sayang banget.”
“Kalo gitu nonton aja sendiri!”
“Nggak gitu, Nal,” ujarnya lembut lalu menekuri
kolom-kolom itu lagi. “Hm,” katanya lagi. Kayaknya setiap ia memandangi
kolom-kolom rubrik film ia selalu menggumam seperti itu. “Gue punya dua
kandidat nih. Satunya action satunya
drama roman. Menurut lo?” katanya menyodorkan halaman itu padaku.
Aku membaca judul yang ia sodorkan. Film action dibintangi aktris Angelina Jolie
dan Tom Cruise. Cukup menjanjikan bakal bagus. Sementara drama roman dari
negeri sendiri dibintangi Sule, Andre Taulani, Parto Patrio, Aziz Gagap, dan
Nunung. Loooh?
“Dick, lo yakin ini film drama roman?” bisikku.
Dicky memandangi kolom yang kutunjuk lalu matanya
mengerjap beberapa kali. “Eh bukan. Maksud gue sebelahnya.”
Film drama roman yang dibintangi Adipati Dolken,
Herjunot Ali, Nadine Candrawinata, dan Stella Cornelia. Menjanjikan juga. Kedua
judulnya juga sama-sama menarik. Maka kukatakan pada Dicky, “Gue juga bingung.”
Dicky diam sebentar. “Kita liat trailernya aja di
YouTube buat bandingin? Komputernya sebelah mana?” katanya sambil celingukan.
“Lo mau akses YouTube di sana? Ini kan masih jam
aktif perpus.”
“Emangnya nggak boleh?”
“Gue rasa enggak. Kalo boleh, pasti udah penuh dong
perpus dibuat akses situs web kayak jejaring sosial dan sejenisnya.”
“Ah,” desahnya malas. “Nggak asik nih...”
“Boleh sih, tapi jangan di jam aktif.”
“Okelah, yuk keluar aja. Kita liat di hape gue aja,”
katanya lalu tanpa sadar menarik lenganku sampai keluar perpus. Dan tanpa sadar
juga aku membiarkannya begitu.
***
Kami antri berdua di loket tiket bioskop. Kami
memutuskan liat punya Angelina Jolie aja. Bukannya nggak cinta produk negeri
sendiri, pasalnya selain nonton trailernya, kami juga membaca komen-komen di
bawahnya. Banyak yang bilang film ini bagus. Ratingnya juga tinggi.
Seolah bisa membaca pikiranku, di belakang Dicky
bicara tepat di dekat telingaku. “Stella Cornelia-nya besok aja.”
“Besok?” kataku setengah menoleh.
“Ya nggak besok. Seminggu lagi, mungkin. Akhir
pekan.”
“Maksud gue,” Aku menggeser kepalaku hingga bisa
memandangnya. “Lo mau nonton itu ama gue juga?”
Dicky tersenyum, hangat. “Kalo lo nggak keberatan.”
Aku melongo dan ia masih terus memandangiku begitu.
Namun kemudian ia menepuk bahuku. “Jalan tuh!”
Aku maju selangkah. Tinggal 3 orang lagi di depanku.
Kami menunggu dalam hening. Sejenak aku nonton
trailer film yang tayang hari ini di layar tipi belakang penjaga konter tiket.
Ada juga trailer film Angelina Jolie yang kutonton di YouTube tadi siang.
Selanjutnya, entah mengapa seluruh buluku meremang. Aku menyentuh tengkukku dan
spontan memandang pendingin ruangan. Apa hawanya terlalu dingin? Perasaan nggak
jauh beda di luar bioskop yang berada dalam mal ini. Aku mengedarkan pandangan
ke sisi, memandang kios makanan ringan. Saat itu juga aku melihat sebuah benda
teracung padaku. Karena aku memandang kios makanan aku jadi tidak tahu benda
apa itu, hanya terlihat bentuk dan warnanya saja. Maka aku menoleh.
Respon cepat, Dicky memasukkan cepat-cepat benda itu
ke dalam saku. Lalu ia nyengir padaku.
“Apa barusan?”
“Apanya yang apa?”
“Itu tadi!”
“Bukan apa-apa kok.”
“Bohong. Apa kok?”
“Apa sih? Nggak ada!”
Aku hendak menggeledah sakunya tapi antrian jalan
lagi. Aku cemberut sementara ia malah cengengesan. Setelah beli tiket kami beli
makanan ringan dan minum di konter. Beberapa menit setelahnya muncul pengumuman
film yang kami tonton akan tayang. Kami memasuki studio.
Kami berdua, kadang nonton, kadang ngobrol sendiri.
Ngomongin salah satu pengunjung lah, pakaian pemain di filmnya lah. Kadang kami
tertawa sampai ditegur orang belakang.
Di sinilah puncak percikan itu terjadi. Percikan
yang diciptakan suatu gesekan berarti. Entah mengapa dalam benakku seseorang
atau sesuatu telah memutarnya. Piringan hitam.
Ketika aku memandang wajah Dicky dari samping, piringan
hitam itu mulai mengalun. Inilah saat di mana suara piano masuk sebagai intro.
Perlahan tapi pasti, suara gitar masuk. Disusul biola-biola yang menambah
suasana drama. Tak lama, suara seseorang yang pernah kudengar bernyanyi mengisi
alunan musik.
Dan semua musik aneh itu lebih hidup, ketika aku
menyadari ada Dicky di sini. Ini aneh. Freak!
Tapi ini...
Kami berdua keluar dari studio sekitar 2 jam
kemudian, sambil tertawa-tawa. Semuanya berjalan berbeda. Nyanyian itu masih
menggema. Entah mengapa dengan keadaan seperti ini aku tidak lagi mengenal
diriku sebagai teman Dicky. Dan Dicky tidak kukenali sebagai orang aneh, super
jail, super cuek, atau Dicky yang selama ini kukenal.
Saat sampai dengan selamat di depan pintu rumahku
pun, semuanya terus mengalir. Berbeda. Ada yang berbeda. Dicky nyengir di atas
sadel sepedanya, lengkungan bibirnya itu menembus gelap langit malam hari. Seperti
senyum asing. Berbeda. Entah mengapa.
Sebelum mengayuh sepeda untuk pulang, sejenak Dicky
mengusap kepalaku dan mengucap selamat malam. Masih berbeda. Entah mengapa.
Simfoni putaran lagu benakku berhenti ketika aku
mulai memejamkan mata. Tapi adegan demi adegan masih berputar aktif di kepala.
Memutar kejadian hari ini. Dari pagi, sampai saat ini.
Berbeda. Entah mengapa.
@anggianab #CerbungKinalProject
Komentar
Posting Komentar