[Matahari Milikku] #12. Menghindar!

Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #11. Beda


Ddddrrrrttt!

Ranjang hanya berderit karena aku berguling ke sisi.

Dddrrrrttt!!!

Aku memeluk guling dan memejamkan mata erat-erat.

Ddddrrrttt...

Zlap! Suara itu mati.


Kembali melanjutkan mimpi.

Dddrrrttt!

Aku mengerjapkan mata berkali-kali.

Ddddrrrt!!!

Aku mengeluh, menggumam nggak jelas. Menutupi wajah, tepatnya telinga dengan guling.

DDDRRRTTTT!!!!

Buset dah! Siapa sih yang telepon subuh-subuh????

Aku beringsut turun dan menyambar ponsel di atas meja dengan kasar. Tanpa membaca caller name aku menekan tombol jawab, siap memuntahkan sumpah serapah.

“HAL...”

“Udah gue duga lo belom bangun. Dasar kebo.”

Aku jadi tidak lagi memedulikan siapa yang ngomong di sebrang gara-gara kalimatnya yang kurang ajar. Aku melotot. “Apa lo bilang? Ini masih subuh tauk! Punya etika telepon orang pada saat yang tepat nggak sih?”

Dicky mendecak. “Subuh?”

Aku mendesis tak sabaran. “Udah, lo jangan ganggu gue!”

Tik! Telepon kuputus dan aku mengambrukkan diri lagi di atas kasur dengan posisi tengkurap. Belum selesai aku kembali mengembara di alam mimpi, telingaku dimasuki suara lagi.

Pok! Duk! Trang! TRING! DUK!

Aku melotot, tepat saat itu rasa kantukku hilang. Dengan kaki dihentakkan aku menghampiri jendela, menyibak tirai dengan kasar, melihat langit pagi yang terang meski matahari belum sepenuhnya nampak terbentang. Pemandangan ini serasa mencolok di mataku, lalu disusul ingatan bahwa aku baru saja mengatakan pada Dicky kalau ini masih subuh. Aku membuka daun jendela dan melihat ke bawah.

Dicky mendongak padaku, tangannya menggemgam batu yang siap dilempar. Perlahan-lahan, ia nyengir lebar. Aku mendelik, tapi dia malah menjatuhkan batu dan merogoh saku celana seragamnya.

Dddrrrttt!!

Aku berbalik mengambil ponsel, kali ini membaca caller name-nya. Dicky. Aku berjalan menghampiri jendela lagi sambil menekan tombol jawab.

“Lo punya etika nggak sih? Kalau bertamu kan ketuk pintu depan, bukannya ngelemparin batu ke jendela!” semburku pada ponsel tapi mataku menatapnya yang ada di bawah.

Dicky ngakak. “Pintu rumah lo ketutup, jadi gue pikir keluarga lo masih pada tidur.”

Kepalaku berputar dan menatap jam beker di atas meja. “Kalau jam segini mama gue udah bangun lah.”

“Iya. Nggak kayak elo.”

“Lo tuh ganggu aja ya. Ngapain sih pagi-pagi ke sini?”

“Gue nggak ganggu. Seharusnya lo bersyukur gue selametin, nggak jadi telat hari ini.”

Aku melayangkan tatapan ganas. “Tanpa elo, gue juga nggak bakal telat.”

“Oya? Jam berapa lo pasang beker?”

“Jam setengah lima!”

“Sekarang jam berapa?” Nada Dicky seolah sebentar lagi ia sudah sampai di gerbang kemenangan.

“Eeeenggg,” Aku menggigit-gigit bibir bawah. “Jam lima lebih lima belas.”

“Dan elo belom bangun kan?”

“Tapi gue udah pasang...” Kalimatku direm begitu saja. Aku mendongak menatap beker yang kuletakkan di atas lemari. Beker itu tertelungkup. Kuedarkan pandangan ke sisi, beker di atas meja belajar dalam posisi yang sama dengan beker di atas lemari. Satunya lagi di atas meja sebelah kasur, masih berdetak adem ayem dengan jarum kecil putih mengarah ke jam setengah lima. Aku memalingkan wajah lagi, dan kutemukan kursi dekat lemari.

Aku bahkan tak ingat sudah menggetok ketiganya biar mati.

Aku menatap Dicky datar, membiarkannya tersenyum penuh kemenangan.

“Lo ngapain ke sini?” tanyaku malas-malasan.

“Jemput elo.”

“HAEH?”

“Iya. Jemput lo.”

“Kok...?”

“Buruan mandi sana!”

“Kok lo jemput gue? Kan itu artinya lo putar balik jauh banget. Rumah lo kan deket sekolah. Dan...” Aku melirik ke belakang tubuhnya. “Sepeda kayuh??”

Dicky mengendikkan bahu. “Gue cuman punya ini. Kalo mobil Alphard atau mobil-mobil Formula One, gue nggak punya.”

Aku memutar bola mata. “Lo ngapain repot-repot jemput gue sih?”

“Suka-suka gue dong. Makanya gue sampe di sini jam segini. Biar kita nggak telat. Eh, lo malah masih ngorok.”

Aku mencibir, Dicky tertawa kecil. “Udah buruan mandi sana. Piama lo lusuh banget ya dari sini? Rambut lo juga, kayak abis kesetrum!”

Aku melotot, gugup setengah mati. Ya ampun, aku lupa penampilan. Aku bahkan belum menengok diri sendiri pada cermin tapi sudah ngobrol dengan orang lain. Dan kenapa orangnya harus Dicky??

Hancur sudah imej kalau sudah begini. Lagian, kenapa dia mendadak jadi komentator acara fashion show sih?

“Dan...” Dicky memutus kalimat karena ia menahan tawa. “Jangan lupa cuci muka. Gue silau ama bekas iler lo tuh.”

Kali ini aku benar-benar kaget dan melotot selebar-lebarnya hingga rasanya bola mata mau melonjak keluar. Tubuhku terdorong ke belakang, spontan bersembunyi. Aku membekap mulutku erat-erat.

Aku melempar ponsel begitu saja dan ngibrit menuju kamar mandi. Sesampainya di sana, aku melotot melihat pantulan diriku sendiri di cermin. Buru-buru aku membasuh muka, terutama di sisi bibirku, kuusap dengan kasar.

Rasanya aku ingin pergi ke hutan segera untuk menjerit sekeras-kerasnya, supaya tidak mengganggu orang lain. Kalau teriak di hutan, paling diganyang gorila yang lagi tidur.

***

Aku menuruni tangga menuju dapur, lalu mencomot setangkup roti. Mama masih sibuk berkutat dengan celemek dan cucian piring.

“Papa udah berangkat, Ma?”

“Ya udah dari tadi.”

Aku manggut-manggut, beranjak duduk dan mulai khusyuk menikmati roti.

“Eh, temen kamu diajak sarapan gih. Tadi Mama ajak nggak mau.”

Aku berhenti mengunyah. Ya ampun, kenapa aku tiba-tiba lupa sama si kunyuk satu itu?

“Diiiiccckk!! Sini deh! Sarapan bareng!”

“Eeeh, nggak sopan teriak-teriak gitu. Samperin sana!” tegur Mama.

Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju ruang tamu. Saat sampai di sana Dicky menatapku, menahan tawa. Lalu ia menunjuk sudut bibirnya sendiri. Aku mendelik. Aku yakin bekas iler udah bersih-sih-sih-sih karena aku menggosoknya sejumlah tahun Belanda menjajah Indonesia. Tapi Dicky malah tersenyum tipis, dengan nada mengingatkan masih menunjuk sudut bibirnya.

Aku terdiam. Lalu pelan-pelan menyentuh sudut bibirku. Ehm. Remah-remah roti.

Dengan ekspresi pura-pura nggak tahu aku mengusapnya. “Sarapan bareng yuk!” ajakku, nadanya kedengeran banget nggak ikhlas.

Dicky tertawa pelan. “Nggak usah, makasih. Gue udah sarapan kok.”

“Nggak mungkin. Pasti lo tadi berangkat pagi banget, nggak mungkin sempet sarapan.”

“Sempet lah. Gue kan nggak kayak lo bangunnya.”

Aku mendesah pelan. Ia ngikik lagi. “Udah lo sarapan aja. Gue tunggu.”

Aku melengos kembali menuju dapur. Mama bertanya lewat mata, kujawab kalau Dicky sudah sarapan. Sejurus kemudian kami bertiga sudah di teras rumahku. Mama sempat bertanya kenapa Dicky harus repot-repot menjemputku, padahal jam segini dia masih bisa berleha-leha nonton tipi karena rumahnya deket banget ama sekolah. Jawaban Dicky cuman, “Sekalian saya olahraga, Tante. Biar sehat.”

Setelah kami berdua pamit dan mama menghambur ke dalam rumah, Dicky menatapku sejenak sambil duduk di atas sadel sepedanya.

“Apa?” tanyaku galak.

Dicky malah ngakak. “Gue malah lupa ucapin lo, selamat pagi.”

“Kayaknya nggak perlu deh.”

Dicky tersenyum simpul dan menepuk-nepuk kepalaku lembut. Cemberutku amblas. Pelan-pelan, aku menelan ludah.

“Naik!” katanya sambil menunjuk sadel belakang dengan dagu.

Aku naik di belakangnya. Dia menungguku berbenah sampai siap. Aku berkata siap, nadanya kontras terdengar ceria. Hingga beberapa detik hening, aku menemukan diriku masih di depan rumahku, dan roda sepeda belum lagi berputar.

Aku melihat Dicky dari belakang, kepalanya tidak bergerak sedikit pun. Atau lebih tepatnya, tubuhnya tiba-tiba kaku. Aku mencondongkan tubuh ke samping, biar bisa menatap wajahnya. Tatapan Dicky datar, dan aku baru sadar kepalanya mendongak. Ia diam, begitu terus.

“Kenapa nggak jalan, Dick? Lo liatin apa sih?”

Tidak dijawab. Maka dengan heran aku mengikuti arah pandangnya, ikutan mendongak. Mataku langsung menyipit. Silau.

Matahari...?

***

Dari kami lepas landas sampai tiba di sekolah, Dicky tidak bicara apapun. Bahasa tubuhnya pun lebih kaku dari biasanya. Seolah ia baru saja menggonceng orang asing. Kami berjalan bersisian menuju kelas, masih tanpa kata. Begitu kubilang terima kasih dengan pertimbangan-pertimbangan sengit dalam hati, ia hanya mengangguk satu kali.

Ada niat untuk bertanya mengapa. Tapi kalau dilihat sikonnya yang seperti itu, rasa-rasanya aku bakal disembur dan dicap mau tahu aja urusan orang. Aku menghembus napas berkali-kali sepanjang pelajaran sampai bel istirahat. Setelah dilirik berkali-kali, wajah Dicky masih keras.

Bel istirahat berdering dan Dicky menjadi orang pertama yang keluar kelas, bahkan sebelum guru keluar. Aku menanggapi dengan heran. Ini seperti bukan Dicky yang biasanya.

Pulang-pulang, ia membawa pipi merah. Ia mengusapnya sambil meringis beberapa kali.

Rasa penasaran yang sudah menumpuk ditambah lagi dengan rasa khawatir dan heran, hingga tingginya nyaris memadahi gedung pencakar langit. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Di sela waktu aku terus melihatnya dengan mata penuh tanda tanya, gerakannya makin kaku. Ia sadar sedang kupandangi, tapi seolah ada tembok yang membatasi.

Ia sengaja tidak menatapku balik.

***

Belakangan, aku merasa Dicky marah. Padaku. Yap. Entah apa salahku, yang jelas aku merasa perlu bertanya apakah benar cowok itu yang mengantarku tadi pagi. Maka begitu bel pulang berdering, aku bergegas berjalan keluar gerbang, menuju halte.

Tapi tanganku ditahan, tepat aku melintas di lapangan basket.

“Mau ke mana?” Nadanya sedatar tatapannya.

“Pulang,” jawabku enteng meski grogi juga.

Dicky melepas tangannya dariku. “Naik apa?”

“Bis.”

“Kenapa?”

Aku berbalik badan dan penuh menghadapnya. “Memang tiap hari begitu kan?”

Dicky mendesah pelan. “Gue yang jemput lo, jadi gue harus tanggung jawab anterin lo pulang juga.”

Aku tersenyum tipis. “Nggak perlu kok, Dick. Kasian lo-nya juga.”

“Justru gue yang minta, kan?”

Aku diam sebentar dan Dicky mendecak tak sabaran. Ia mengamit lenganku, diseretnya aku pergi. “Yuk!”

Kami berjalan menuju pelataran parkir. Bisa dibilang, langkah kami tergesa-gesa. Aku hanya mengikuti langkah Dicky, karena lenganku masih dipegangnya. Awalnya ia memegang lenganku, hingga entah mengapa tangannya turun, lalu menggemgam telapak tanganku. Pertama biasa saja, tapi perlahan-lahan ia meremas tanganku, lalu berubah menjadi mencengkram. Aku meringis kesakitan di belakangnya, tidak berani melayangkan protes.

Sebelum roda sepeda Dicky membawaku pulang, aku sempat menangkap tatapan seorang. Tatapannya menghunus. Tepat satu bidikan, padaku.

Mela cs.

***

Brak! Dicky serabutan masuk ke dalam kamar. Lalu ia melempar tasnya serampangan, entah jatuhnya di mana.

Dicky mondar-mandir di dalam kamar, makin lama, langkahnya makin cepat. Puncaknya ia meremas rambutnya sendiri, mengambrukkan diri di ujung ranjang.

Dengan wajah nggak enak dilihat, Dicky tercenung. Kemudian tangannya yang bergetar terangkat, menyentuh pipi kirinya. Dicky langsung meringis.

Lalu ingatan membawanya kembali pada hal yang membuat pipinya lebam begitu.

***

Jam istirahat.

Setelah dari kantin, Dicky bergegas menuju kamar mandi. Setelah menyampaikan panggilan alam, Dicky membuka pintu kamar mandi. Tapi ia tak hati-hati.

Bruk! Dicky terpeleset karena lantai kamar mandi yang licin. Sambil meringis, Dicky beranjak berdiri, lalu kembali masuk ke dalam bilik kamar mandi untuk membersihkan celananya.

Dicky kembali ke kelas dengan memilih melintas taman sekolah. Dicky berjalan sambil menunduk. Akibatnya ia tak tahu seseorang berjalan mundur karena sedang bercanda dengan temannya, dan, karena seseorang itu seperti mempraktekan sesuatu dengan temannya, tangannya melayang begitu saja.

Buak! Sikunya tepat mengenai pipi Dicky.

Orang itu sadar dan minta maaf berkali-kali. Dicky sebenarnya marah, tapi untuk apa? Toh ini juga salahnya, jalan nggak lihat-lihat. Dicky mengangguk pelan, menerima maaf orang itu. Setelah orang itu pergi, Dicky masih mengusap-usap pipinya yang panas.

Lalu, entah mengapa Dicky tergerak untuk mendongak. Menatap langit, tepatnya. Dan entah kenapa, bagai sengatan listrik, sebuah asumsi menyusup masuk dalam benaknya.

Sinar matahari kala itu terasa begitu menyengat dari biasanya.

***

Dicky menatap tajam sebuah benda yang tertempel di dinding, di ujung ranjang. Kemudian, rentetan teriakan keluar dari mulutnya.

Dicky tahu bahwa insiden terpeleset di kamar mandi dan pukulan telak di pipinya itu terjadi bukan karena apa-apa. Pasti ada apa-apa. Bukan kejadian tidak disengaja. Kejadian yang berlandaskan alasan, yang selama ini selalu Dicky abaikan.

Karena Dicky mangkir bolak-balik seperti itu, dua kejadian itu merupakan peringatan!

Dicky mendongak memejamkan mata, lalu mengusap rambutnya dengan frustasi. Ia menatap benda itu lagi. “Kenapa??” tanyanya, membentak.

Suatu suara tiba-tiba menyusup. “Karena lo macem-macem.”

“Trus gue kudu gimana?” bentak Dicky lagi.

“Menghindar!”

Dicky menggeram. “Mana bisa! Dia sekelas ama gue!!!”

“Cari perhatian lain...”

Dicky terdiam. Ia menutup wajahnya, lalu mengusapnya pelan. Ia tidak berniat untuk melanjutkan adu argumentasi lagi. Tidak. Dicky sudah letih karena ujung-ujungnya selalu sama. Tidak ada jawaban pasti.

Dicky merasa menyesal dan butuh bantuan Doraemon supaya bisa memutar kembali waktu. Andai ia tidak gegabah dulu, ia takkan terdampar dalam posisi sesulit ini. Dicky bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang, tanpa mengindahkan secarik kertas yang harusnya ada di tangan pemiliknya.

Secarik kertas...?

Tangan Dicky tergerak untuk menghampiri meja belajar. Ia menarik laci, dan menemukan kertas kumal yang bentuknya tidak karuan. Ia menatap benda itu sebentar, lalu menggeleng pelan. Kemudian ia lihat kembali benda yang tertempel di dinding, di ujung ranjang. Bingkai foto yang pernah diturunkannya dan digantikan oleh foto keluarganya sebagai tameng sewaktu Kinal datang kemari.

Dicky menunduk, dalam-dalam. Tangannya erat memegang ujung laci sampai kulitnya memutih, seolah dengan melepas pegangan ia akan terjatuh.


“Cari perhatian lain...,” bisiknya, mengulang kalimat yang tadi didengarnya.


@anggianab #CerbungKinalProject

Komentar