[Matahari Milikku] #9. Aneh Binti Konyol



Dengan angkuh Mela membalikkan badannya, melangkah pergi dengan menyeret serta Dicky. Yang diseret bertanya lewat mata yang kujawab dengan tatapan tanpa makna.

Oke, sebelumnya, aku ceritakan dulu apa yang sudah terjadi hari ini.

Molor dari jadwal, jam 9 Mela baru sampai rumahku. Meski aku orang terakhir yang dijemputnya. Liburan aneh ini memakai mobil sedan hitam Mela dan kijang merah marun milik Naomi. Sedan hitam diisi Mela sebagai pemilik dan supir, (ehm, tolong persepsinya lebih ke arah supir aja!) tepat di sebelahnya, tentu saja, Dicky. Kata Melody, Mela sendiri yang minta, walau sempat menolak, akhirnya Dicky mengiyakan. Di bangku belakang ada Acha dan Ayen.

Di kijang ada Naomi sebagai pemilik dan supir, lalu di sampingnya ada Dimas. Kagak ngerti ini siapa yang minta. Di kursi belakang sendiri ada Willy, sendirian memeluk lutut seperti orang kesepian. Didukung dengan kepala menunduk karena kayaknya dia lagi khusyuk dengerin lagu dari earphone. Di kursi tengah ada Melody dan kursi di sampingnya tersedia untukku.


Perjalanan dari rumahku sampai ke pantai memakan waktu kurang lebih 45 menit. Kami sampai di pantai antah berantah dan anehnya dengan pengunjung yang bisa dihitung jari pada jam sepuluh kurang. Sebelumnya aku curiga kalau pantai ini bukan di Jakarta. Tapi kalau dipikir-pikir lagi kalau dari rumahku keluar Jakarta harusnya lebih dari 45 menit. Dan Naomi menyetir dengan kecepatan standar.

Sampai-sampai, kami langsung dituntun Mela menuju vila ayahnya. Kami hanya meletakkan tas dan barang bawaan saja. Ide akan menghabiskan waktu dengan apa keluar dari mulut Mela. Ia mengajak main voli di atas pasir pantai yang langsung disetujui semua orang, kecuali aku dan Melody.

Begitu ditanya Dicky, kami saling memandang. Aku hendak menyetujui dan gabung main voli tapi keburu diserobot Mela.

“Kalau mereka nggak mau ikut ya nggak papa. Kita pake pemain seadanya aja. Nom, lo jadi wasit aja, biar satu tim pas tiga orang,” katanya pada Naomi yang dibalas anggukan. Kemudian tangan Mela menggandeng tangan Dicky. “Yuk!”

Dicky bertanya padaku lagi lewat mata sementara tubuhnya menjauh karena diseret Mela. Aku hanya diam, menatapnya tanpa makna. Aku sudah malas menyuarakan bahwa sebenarnya aku ingin ikut. Kalimat Mela tadi seolah mengindikasikan... kalau ia hendak mengusirku dengan Melody.

“Kita diasingkan,” kataku tepat saat vila sudah kosong.

“Ya,” jawab Melody.

“Ini bukan liburan.”

“Ini bukan liburan.” Melody membeo.

Lalu kami saling tukar pandang.

“Kayaknya asumsi lo udah kecium baunya kalo bakal terwujud nih,” kataku miris.

Melody meringis. “Trus kita ngapain?”

“Gue juga nggak tahu. Mana nih pantai sepi bener. Kan ini tanggal merah, kok malah sepi pengunjung?”

“Jangan-jangan...” Melody menggantungkan kalimat dengan dramatis.

“Jangan horor,” kataku dengan nada mengingatkan.

Melody nyengir. “Trus kita ngapain?” Ia mengulang pertanyaannya.

Stay di sini?”

“Buang-buang waktu aja. Mumpung di pantai.”

“Gue takut apa yang bakal gue lihat di luar.”

Melody spontan memegangi lenganku. “Mereka main voli kok, bukan pacaran!”

Aku tertawa, suaranya sumbang. “Ya udah, kita keluar. Buat istana pasir?”

Melody menimbang sebentar. “Okelah.”

“Atau mengubur diri sendiri,” usulku dengan suara diberatkan.

“Udah ah buruan!” katanya lalu menarik tanganku.

Kami sengaja mengambil tempat yang rada jauh dari lokasi teman-teman bermain voli. Sesekali jika ada jeda, Willy, Dimas, maupun Dicky melihat ke arah kami berdua. Tapi kami sok sibuk, enggan menatap balik.

“Itu bola voli juga dapet dari mana?”

“Gue lihat tadi Ayen bawa dari mobil,” jawab Melody sambil menguleni tanah. Dia mau bikin istana pasir apa kue sih?

“Berarti udah ada rencana,” tebakku.

Tangan Melody berhenti bergerak dan kedua matanya menatapku. “Mungkin.”

Aku melempar segemgam pasir dengan sembarangan. “Lo emang pantes jadi psikolog, Mel. Kalo psikolog bisa baca sesuatu dari raut wajah orang, lo tanpa melihat wajahnya aja udah tahu kalo Mela cuman modus. Berarti lo psikolog merepet ke arah dukun supranatural, bahasa gaulnya, psikolog avatar.”

Melody ngakak. “Gue juga nggak tahu. Gue cuman mengira-ngira. Semua itu begitu aja ada di pikiran gue.”

“Kalo gitu lo ada bakat jadi sutradara. Ngerancang gitu aja sebuah cerita, per adegan gitu.”

Melody tersenyum geli sambil geleng-geleng.

Aku menoleh ke belakang. Keenam orang itu masih asyik main sambil ketawa-ketawa. Naomi yang jadi wasit pun ketawa-ketawa. Aku jadi iri.

“Kita diasingkan,” kataku.

Melody menatap ke belakang punggungku sebentar. “Ibaratnya kalo di kelas kita itu kutu buku kuper yang disudutin.”

Aku tertawa. “Setuju.”

Bosan bermain pasir yang sama sekali tidak berbentuk istana seperti di cerita-cerita dongeng, kami hanya duduk bersila di bawah pohon bakau, berdua sambil mendengarkan musik. Kami nyanyi-nyanyi sendiri, lalu ketawa-ketawa sendiri. Aku berpikir tawaku dengan Melody lebih mirip orang gila yang kesepian ketimbang tawa dari teman-teman di sana. Tapi aku dan Melody berusaha menikmati.

Putaran lagu entah ke berapa aku dan Melody melihat teman-teman menepi untuk istirahat. Mela memberi minuman isotonik pada mereka satu persatu. Aku dan Melody semakin merasa nelangsa.

“Lo haus Mel?” tanyaku pada Melody. “Tuh, di depan banyak air!” kataku sambil menunjuk bibir pantai.

“Lama-lama gue ngerasa tersinggung, Nal. Kita dianggap nggak ada!”

“Dimas, Willy, ama Dicky juga kok ikutan cuek begitu.” Aku merengut.

Kami curi-curi pandang lagi pada grup voli di ujung sana itu. Mereka duduk istirahat sambil minum, ngobrol, ketawa-ketawa. Dan eeeeh... si Mela pake acara ngusap keringet Dicky pake handuk lagi! Aku memalingkan muka, memperlihatkan wajah cemberutku pada Melody. Tapi kemudian Melody mencolek lenganku, dengan isyarat mata menyuruhku menoleh lagi. Yang kulihat handuk itu sudah berpindah ke bahu Dicky.

“Kenapa?” tanyaku.

“Dicky tadi nolak buat diusapin ama Mela. Dia mau ngusap sendiri.”

“Huahahaha! Rasain!”

“Eh, eh, mereka bertiga kemari!” kata Melody sambil menepuk-nepuk lenganku.

Benar. Dicky, Dimas, dan Willy berjalan ke arah kami. Masing-masing di tangan mereka ada botol minuman isotonik. Di belakang mereka, Mela dan antek-anteknya menatap tak percaya.

“Pura-pura asyik, Mel!” kataku sambil menepuk lututnya. “Biar nggak kelihatan menyedihkan banget! Emang mereka aja yang seneng?”

“Ya!” seru Melody. “Maafkan summer, menyilaukan! Saat tatap wajahmu, dari sampiiiiiiingg!!!” Melody bernyanyi dengan suara yang sengaja dikeraskan.

Kulengkapi sandiwara ini sambil menggoyangkan badan sekali-sekali. “Dalam hati kuingin, menyentuhmu lembut. Keisenganku saja!”

“Maafkan summer, cinta ini. Meskipun hanya teman, terasa sediiiih!!”

“Hanya angin laut yang sejak dari dulu, bertiup menujumu.”

Kami spontan kompak menatap ketiga teman kami yang makin dekat itu. Rambut dan pakaian mereka bertiga bergoyang-goyang ditiup angin pantai yang kencang. Apalagi Dimas yang memakai kaus dirangkap kemeja tidak dikancing itu, otomatis ujungnya tersibak ke belakang. Udah mirip Superman yang nyasar.

“MAAFKAN SUMMER!! HUAHAHAHA!!!” Teriakku dan Melody barengan, benar-benar mirip orang gila, lalu kami saling tos.

“Terusin, Meeel. Terusiiiin,” bisikku karena ketiga teman kami itu makin dekat.

“Burung, layang-layang putih. Mengelilingi langit. Seperti memanasi ayo, cepat katakan!”

“Cepat katakan apa? Katakan di mana kausembunyikan sandera?” tanyaku, benar-benar stress.

Melody ngakak, suaranya yang keras kelihatan banget dibuat-buat.

Plok!

“Keknya asik sendiri nih kalian. Mau minum?” kata Dicky saat sebelumnya menepuk bahuku. Ia menyodorkan botolnya.

Aku memalingkan muka dan sekilas mengerling pada Melody. “Nggaaak. Kita bisa minum air pantai kok nanti.”

Dimas tertawa. “Kayaknya kalian marah nih.”

Melody mengangkat bahu. “Marah untuk apa? Kita nggak marah kan, Nal?”

“Enggaaak koook tenang aja. Kalian kenapa berhenti main volinya?” sindirku.

Dicky, Dimas, dan Willy saling tukar pandang.

“Beneran marah,” ucap Willy.

“Oke deh, oke,” kata Dicky lalu membenahi posisi jongkoknya. “Maaf kita udah kacangin kalian.”

“Kita kan nggak jualan kacang ya, Mel, ya?”

“Ya ampun, Nal!” seru Dicky lalu menarik pundakku. Aku bertanya lewat mata. Ia menghembus napas pelan. “Oke, enaknya, sekarang kita ngapain?”

“Renang?” usul Willy.

“Panas-panas gini? Nggak deh, makasih,” bantah Dimas.

“Centil lo Dim!” seru Dicky.

“Ya renangnya ntar sorean aja,” Willy bersuara lagi.

Dicky merogoh saku dan mengeluarkan jam tangannya. Dilepas karena jam tangan mengganggu dalam servis bola voli. “Sekarang jam 12 teng. Eh, gue baru sadar nih. Gue laper. Mana belom sarapan gegara si Mela datengin gue jam 7 lebih.”

“Karena keasyikan main voli jadi lupa kalo belom makan,” sindirku lagi.

“Jangan ngambek gitu dong, Nal.”

“Yuk!” Willy merentangkan tangannya pada Melody. “Kita makan siang.”

Dimas menepuk-nepuk perutnya. “Keknya perlu keluar pantai nih. Lagian ini pantai apa kuburan? Sepi banget.”

“Ini pantai pribadi?” tanya Willy pada Dicky setelah Willy menarik Melody hingga berdiri.

“Kayaknya sih,” jawab Dicky sekenanya. Lalu ia melakukan hal yang sama dengan Willy padaku.

Kami berjalan menuju Mela dan dedengkotnya. Dicky yang berjalan bersisian denganku menyikut lenganku.
“Jangan ngambek lagi,” katanya dengan nada menggoda.

Aku diam saja.

“Yaelah, Nal. Ternyata lo gampang ngambek.”

“Nggak kok,” jawabku kalem.

“Ya udah deh. Biar mood lo nggak buruk lagi, gue tantangin elo.”

Aku menoleh padanya. “Apa?”

“Syaratnya kalo gue menang, lo nggak boleh ngambek lagi.”

“Emang apa?” tanyaku tak sabaran.

“Lo bawa baju bersih?”

“Ya.”

Sudut-sudut bibir Dicky menggeletar tertarik ke atas. “Kita lomba renang.”

***

Kami kembali ke vila jam 4 sore. Selain makan kami jalan-jalan, beli suvernir ini itu, foto-foto. Meskipun selama itu Mela lengket terus dengan Dicky, layaknya amplop dengan perangko. Pake acara gandengan segala!

“Apa gue kudu balik ke pantai bawa ember terus guyur lo biar lo nggak kebakaran?” kata Melody ketika kami di toko suvernir yang ke sekian.

Mengesampingkan kelakuan Mela yang sepertinya sengaja, aku menetapkan, ini baru liburan!

Sampai di vila, Dicky menyuruhku cepat-cepat mengambil baju bersih. Lalu ia mendesakku cepat ganti. Hal yang sama juga dilakukan Dimas, Willy, dan Melody. Sementara Mela dan antek-anteknya pada kebingungan.

Acha yang sempat bertanya pada Willy sebelum Willy melenggang ke kamar mandi. Jawaban Willy membuat keempatnya tercengang.

“Apaaaaaaa?” jerit Mela.

Aku keluar kamar dengan celana pendek komprang selutut dan kaus oblong. Begitu sampai di ruang utama, sudah ada Dicky bersama Mela dll.

“Kalian ikut?” tanya Dicky.

Sebelum salah satu dari mereka menjawab, dengan tidak sopan aku memotong. “Udaaaah, kalo mereka nggak ikut juga nggak papa! Yuk!” kataku sambil menarik tangan Dicky keluar. Sebelum menghilang, aku sempat menjulurkan lidah pada mereka. Mela sukses ternganga. Hahaha, rasakan pembalasan saya!!!

“Oke, apa peraturannya?” tanyaku begitu kami sudah ada di dekat dermaga.

Dicky terlihat berpikir sebentar. “Kita start dari sini, lari, trus... loncat setinggi-tingginya dari ujung dermaga. Gimana?”

“Kok kayaknya gue pernah liat itu di iklan minuman ya?”

Dicky tergelak. “Emang gue nyontek dari situ. Abis gitu baru renang sampai batas yang ditentukan. Setuju?”

“Oke! Siapa takut?”

“Kalo lo kalah, lo dapet hukuman!”

“Kalo gue menang, selain nggak ngambek lagi, lo juga dapet hukuman!”

“Oke! Siapa takut?”

Detik berikutnya Melody, Dimas, dan Willy datang. Setelah diberitahu, mereka ikut berpartisipasi. Dimas sebagai wasit, Melody sebagai penyemangat, dan Willy stand by beberapa meter dari dermaga, sebagai garis finis perlombaan konyol ini.

Sebelum lomba dimulai, aku sempat melihat Mela cs keluar, ikutan nonton. Mela menyilangkan tangan di dada, menatapku tak suka. Aku malah sengaja melempar senyum penuh kemenangan.

“Siap?” Dimas beraba-aba. Aku dan Dicky kompak mengangguk. “Go!”

Aku lepas landas dan berlari menuju dermaga. Awalnya kami seimbang, tapi Dicky langsung memimpin. Begitu sampai di dermaga, kaki-kaki kami menghentak-hentak kayunya. Duk! Duk! Duk!

“Siap-siap lompaaaat!!” teriak Melody.

Aku menatap ujung dermaga dengan nafsu. Lalu sambil berlari aku mengambil ancang-ancang bakal lompat, dan...

Ternyata papan kayu yang menyusun dermaga itu ada bagian yang tidak rata, mencuat begitu saja sehingga menjegal langkahku.

Gedubrak! Bukk! Jebuuurrr!!!

“HUAHAHAHAHA!!!” Suara tawa yang cempreng terdengar, yang pastinya bukan milik Melody.

Dicky tersentak, lalu, karena ia terlanjur melompat setinggi-tingginya, begitu nyebur air ia langsung berenang ke arahku. “Nal, lo nggak papa?”

“Aduuuuhh!!” kataku sambil memegangi lutut.

Begini kronologisnya, saudara-saudara. Ceritanya aku tersandung papan kayu yang tidak rata, hingga jatuh. Lututku terantuk kayunya, karena jaraknya hanya sejengkal dengan ujung dermaga, aku jumpalitan hingga nyebur ke air.

Suara tawa yang cempreng itu masih terdengar.

“Lo nggak papa, Nal?” tanya Melody tiba-tiba sudah di dekatku.

Aku mengusap-usap lututku, mengangguk, lalu beranjak berdiri. “Lo nggak keberatan kalo diulang lagi kan, Dick?”

“Ha? Udah dibatalin aja. Lutut lo merah begitu,” celetuk Dimas.

Dicky mengangguk. “Ya. Mending kita obatin lutut lo.”

“Gue nggak papa kok, suwer!”

“Nggak bisa.”

“Ayo dong Dick. Pliiisss.”

“Jangan.”

“Ya udah!” kataku kasar lalu melangkah dengan kaki terendam air.

“Ya, ngambeknya nambah! Okelah, oke!” seru Dicky.

“Lo yakin, Dick?” tanya Dimas.

“Yakin!” Malah aku yang menjawab sambil berteriak.

Kami ambil start lagi. Mendengar aba-aba dari Dimas, lalu berlari. Meski langkahku agak terseok-seok karena rupanya lututku beneran nyeri. Tapi kayaknya kegiatan ini asyik juga.

Saat berlari di dermaga, aku yang memimpin. Aku curiga Dicky sengaja memelankan langkahnya. Hampir sampai di ujung dermaga, mataku awas menatap kayu-kayunya. Nggak ingin jatuh di kesalahan yang sama, dan yang paling penting, nggak mau diketawain Mela cs lagi.

Aku melompat duluan daripada Dicky, tapi kalau dilihat-lihat ia melompat lebih tinggi daan lebih lebar, sehingga begitu nyebur, ia ada di depanku. Jadi percuma saja aku memimpin lari sebelum melompat tadi.

Aku berenang dan sebentar-sebentar memandang Willy yang masih jauh di depan. Melody dan Dimas berjalan di air, mengikuti pergerakan kami. Hingga akhirnya aku sampai pada Willy, sedetik lebih cepat daripada Dicky.

Lho? Bukannya dia yang duluan tadi?

“Selamat! Selamat!” katanya dengan senyum sumringah.

Alisku tertaut dan menatapnya tidak setuju.

“Oke, lo minta gue ngapain?”

“Lo sengaja ya?”

“Sengaja untuk apa?”

“Sengaja ngalah.”

“Ngapain gue begitu?”

“Dari lompat dermaga tadi kan lo yang mimpin!”

“Tapi kenyataannya lo renangnya lebih cepat dari gue.”

Aku menggeleng keras. “Nggak kayaknya. Ada yang ganjil.”

“Udahlah Nal...”

“Gue minta diulang.”

Mata Dicky melebar. “Apa? Enggak!”

“Kenapa?”

“Nggak nggak nggak!” tandasnya tegas. “Udah jelas, ngapain diulang? Udah yuk, renang lagi. Samperin mereka bertiga, tuh!” Dicky menunjuk Melody, Willy, dan Dimas dengan dagu. “Kayaknya mereka lagi asyik.”

Aku mengangkat bahu. Benar-benar lomba konyol. Saking seriusnya tidak ingin diulang, Dicky melupakan perjanjian tentang hukuman dan hadiah. Ah sudah, lupakan.

***

Kami selesai jam lima lebih. Sejak kami renang biasa setelah lomba aneh binti konyol itu Mela cs udah nggak kelihatan.

Aku dan Melody kembali ke vila sambil ngobrol dengan handuk masing-masing di bahu. Begitu sampai kamar, kutemukan tas ranselku terbuka. Aku menatap Melody, meminta tanggapan.

“Emangnya lo risleting?” tanyanya.

“Udah! Gue inget kok!”

“Periksa!”

Aku memeriksa isi tasku. Semuanya masih lengkap. Kecuali satu yang membuat tas ini lebih berisi.

Aku dan Melody saling berpandangan. Lalu kami kompak mencari-cari ke segala penjuru kamar. Sejurus kemudian aku berteriak memanggil Melody begitu aku melihat barang yang tak asing teronggok di dekat pintu.

***

Aku keluar kamar dengan gegabah, mataku mencari-cari. Entah kebetulan atau nggak, Mela sedang berjalan melintasi kamarku. Aku mencekal tangannya, menatapnya berapi-api. Sementara ia meringis kesakitan, lalu sempat-sempatnya tersenyum sinis.

Mulutku sudah terbuka mengucap sumpah serapah tapi dari arah pintu depan datang Dicky, Willy, dan Dimas. Aku batal berucap.

Dicky memandang kami bergantian, lalu berhenti pada tanganku yang mencekal tangan Mela. Aku buru-buru melepas. Mela tersenyum penuh kemenangan.

“Nal? Lo nggak ganti?” tanyanya.

Mulutku seperti diresleting. Aku menggeleng cepat.

Sebenarnya bisa saja aku bilang bahwa baju gantiku basah. Basah kuyup. Seperti disengaja, dan mana mungkin aku yang melakukannya. Itu baju yang kupakai ke mari, dan aku hanya bawa satu stel. Melody pun begitu, dan aku yakin yang lainnya juga. Karena ini kan cuman sehari, nggak perlu bawa banyak baju.

Tapi kayaknya aku hanya ingin bicara hal ini dengan Mela 4 mata saja. Dicky nggak usah ikutan. Kenapa menuduh Mela? Cuman dia atau antek-anteknya yang patut dicurigai.

“Gimana Nal?” tanya Melody keluar kamar. Lalu ia bungkam begitu melihat bukan hanya aku yang ada di depan kamar.

“Gimana apanya?” tanya Dicky.

Melody membuka mulutnya tapi tangannya kuremas. Jadi mulutnya terkatup lagi. Mata Dicky makin memincing curiga.

“Lo nggak ganti, Mel?” tanya Dicky pada Melody.

Melody menggeleng.

Mela mendecak tidak suka. “Kalian cepet ganti dong! Udah jam segini! Lama banget!” katanya lalu melengos pergi.

Tanpa bisa kucegah tanganku kembali mencekal tangannya, lebih kuat. “Eh, lo sialan banget sih? Seenaknya pergi tanpa tanggung jawab!” desisku.

“Aduuuh! Kinal, sakit!”

“Nal!” tegur Dicky lalu melepas tanganku dari Mela. “Tanggung jawab? Ada apa sih?”

Aku menatap Mela penuh kebencian. Sementara Melody di belakangku, kelihatan tak sabaran. “Baju ganti Kinal basah,” katanya.

Aku, Dicky, Dimas, dan Willy tersentak. Lalu ketiga cowok itu spontan memandang Mela.

“Apaan sih kok malah pada ngeliatin gue?”

“Nggak mungkin kan baju itu basah dengan sendirinya? Tas Kinal yang awalnya ketutup juga kebuka gitu aja. Dan Kinal sehabis ganti nggak mungkin naruh tuh baju di sudut kamar, bukannya di dalam tas. Lo penjahat amatir banget ya, bego nggak bisa menghilangkan jejak!” kata Melody pedas. Aku jadi curiga sebenarnya dirugikan di sini aku atau dia.

Mela kelihatan gelagapan. Lalu ia diam-diam mengumpat. “Bukan gue!”

“Bukan lo, tapi anggota geng lo!”

“Nggak lah!”

“Oya? Coba kita tanya langsung ke salah satu anggota lo yang paling polos dan kayaknya juga ceroboh. Dia pasti bakal ngaku tanpa perlu dipaksa!” kata Melody, diplomatis. “Ayen mana?”

“Yang ngelakuin Ayen, bukan gue!” jawab Mela penuh penekanan, lebih-lebih matanya yang menghadap Dicky.

“Tapi atas dasar perintah lo!” kata Melody nggak kalah yakin.

“Udah, Mel!” bisikku sambil memegang tangan Melody.

“Trus lo pulang pake baju apa?”

“Eeeng, beli lagi, mungkin? Di toko tadi kayaknya banyak.”

“Kan jaraknya jauh dari sini. Kita kudu pake mobil. Dan apa orang kayak mereka mau bantuin kita?”

Pertanyaan Melody berlangsung tanpa jawaban karena tahu-tahu Dicky yang diam dari tadi melenggang masuk ke dalam kamarnya sendiri. Kami semua saling berpandangan. Tapi kemudian ia keluar sambil melempar baju gantinya padaku.

Aku menatapnya terbengong-bengong.

“Pake. Mungkin rada bau karena gue pake maen voli tadi. Tapi gue jemur kok tadi pas kita renang.”

“Nah elo??”

“Ya gue gini aja,” katanya sambil menunjuk dirinya. Kaus oblong dan celana pendek yang basah dan bau asin.

“Loh??” sentak Mela.

“Gini deh gini,” Willy mencoba menengahi. “Kita beli baju baru aja. Mel, lo kudu tanggung jawab atas perbuatan lo.”

“Nggak, nggak perlu,” tolak Dicky. Lalu matanya menuju mata Mela. “Ini kan yang lo inginkan? Dengan salah satu temen yang lo ajak liburan, pulang dengan basah kuyup? Nggak peduli siapa orangnya, tapi yang jelas, kalo ada apa-apa, lo orang yang paling wajib untuk bertanggungjawab.”

“Dick, lo bisa sakit entar,” bisikku.

“Udah lo pake aja. Buruan!”

Setelah mengatakan itu, dengan santai Dicky melangkah keluar. Setelah beberapa detik tidak terjadi apapun, Willy dan Dimas berjalan melewatiku. Willy menepuk pundakku saat aku sedang asyik melongo.

“Pake aja,” katanya sambil tersenyum.

Sepeninggal mereka berdua, Mela menyilangkan tangannya di dada, lalu beringsut mendekatkan wajahnya padaku. Dengan maksud, agar aku bisa melihat mata tajamnya itu dengan lebih jelas.

Tapi dia tidak berkata apapun.


Ini benar-benar aneh binti konyol.


Komentar