[Matahari Milikku] #10. Yang Tertempel di Dinding, di Ujung Ranjang
Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #9. Aneh Binti Konyol
Setelah semua siap, Dicky menolak keras pulang
dengan mobil Mela. Meski Mela sudah ngotot bakal membelikan baju ganti baru
ataupun dapat resiko jok kursinya basah, dari tatapannya–semua orang mungkin
berpendapat, bahkan Dicky tidak mau melihat cewek itu lagi.
Akhirnya Dicky ikut mobil Naomi bersama aku, Melody,
Willy, dan Dimas. Dicky duduk di kursi depan, sementara Dimas ngungsi di
belakang bersama Willy. Selama perjalanan kuperhatikan dari kaca spion mobil
Naomi, mobil Mela berjalan terlalu lamban hingga berkali-kali ketinggalan.
Mungkin Mela benar-benar merasa bersalah. Yang lebih mengejutkan lagi mungkin
baginya, baru kali ini dia dibentak Dicky.
Di mobil Naomi, urutan yang turun pertama adalah
Dimas. Dilanjut Melody, lalu Willy. Kemudian aku. Dicky terakhir karena
rumahnya searah dengan Naomi, kudu melewati sekolah dulu.
Sebelum turun dari mobil aku menyatakan keberatanku
soal baju Dicky yang kupakai. Padahal sudah kuucapkan itu ratusan kali,
sampai-sampai Naomi menatapku tak suka lewat kaca spion. Berkali-kali juga
Dicky menjawab pertanyaanku dengan kalimat yang sama, tapi berbeda ketika aku
berdiri di depan pagar rumahku.
“Ini udah nyampe di rumah lo kali. Masih aja ngomong
begitu,” katanya.
“Apa lo gue pinjemin baju gue?”
“Baju cewek dong!” protesnya.
“Gue punya kaus oblong kok.”
“Nanggung, Nal. Sudah terlanjur basah, tenggelam
sekalian!”
“Tapi rumah lo jauh dari sini. Nanti lo bisa...”
Dicky mengibaskan tangannya cepat. “Lo cuci dulu ye
sebelum dikembaliin,” katanya sambil nyengir. “Jalan, Nom!”
Kijang merah marun itu berlalu saat sebelumnya Dicky
mengangkat alisnya untuk pamit. Tepat di belakangnya, bergerak sedan hitam
kepunyaan Mela. Begitu lamban, seperti siput yang berjalan menunduk. Semua kaca
ditutup. Gelap, tidak tertembus.
***
Hari Senin saat perjalanan menuju kelas, aku masih
memutar kejadian itu dalam kepalaku. Berulang-ulang. Aku masih merasa bersalah
karena Dicky harus pulang dengan keadaan seperti kucing kecebur got begitu.
Lembab. Padahal aku tak perlu begitu karena jelas semua itu terjadi di luar
kuasaku. Terbukti Mela yang melakukannya, atau paling tidak yang
merencanakannya. Hanya saja kenapa Dicky harus melakukan tindakan patriotik
begitu, padahal usul Willy untuk beli baju baru bisa dilakukan.
Sebelum belok ke koridor, aku menghembus napas.
Pasrah.
“KINAL!”
Aku tersentak. Suara itu jelas sekali bukan
panggilan, tapi bentakan. Volumenya kelewat kencang, ditilik yang masuk dari
telingaku pelakunya masih ada di sekitarku. Jadi ngapain harus sekeras itu
membentak?
Aku menoleh dan menemukan batang hidung Mela dan
antek-anteknya. Aku tersenyum lemah, mengingat sepertinya hidupku mulai ricuh gara-gara
bertemu dengannya. Ooooh, andai saja aku tidak menertawakannya karena menabrak
pohon waktu itu.
“Gue kudu buat perhitungan ama lo,” desis Mela,
menyilangkan tangan di dada.
“Apa? Soal kemaren?” tanyaku.
Acha menjawab dengan tenang. “Gara-gara lo, Dicky
hari ini nggak masuk.”
Ekspresiku langsung berubah. “Hah? Nggak masuk?”
“Iya!” tandas Naomi. “Menurut sekretaris kelas lo,
si Sonya itu, Dicky nggak masuk karena sakit.”
“Hah?”
Ayen berkacak pinggang. “Yap! Semuanya karena lo!
Gara-gara lo, Dicky masuk angin!!”
Aku melongo dan ketiga teman Ayen itu kompak
menatapnya aneh. Ayen mengernyitkan dahi dan ber-hahehahe, memandang
teman-temannya satu persatu.
Sebelum bicara, Mela menyikut lengan Ayen. “Jangan
bilang masuk angin kenapa? Kesannya nggak etis tauk! Flu kek, influenza kek,
ISPA kek.”
“Jangan terlalu jujur dong!” bisik Naomi.
“Ehem!” deham Mela. “Intinya, gara-gara lo, Dicky
jadi sakit.”
“Kok gue sih? Yang menyalakan api duluan siapa?
Makan aja tuh panasnya!”
“Eh lo kok nyolot ya? Udah salah, masih bisa
nyolot!”
“Gue yang seharusnya bilang begitu! Gue begini
karena gue nggak ngerasa bersalah!”
“Elu...” Tangan Mela terjulur untuk menjitak
kepalaku.
“Hei! Apa-apaan ini!!” Melody merangsek maju dan
muncul di tengah-tengah, antara aku dengan Mela cs. Kurang dari sedetik,
tatapan tajamnya menghunus Mela. “Apa lo? Lo mau nyalahin Kinal karena Dicky nggak
masuk??”
Buset dah nih anak. Baru nyampe udah tahu apa yang
diperkarakan. Melody nggak membawa tas, jadi mungkin dia udah ke kelas duluan hingga
tahu berita Dicky nggak masuk dari Sonya. Kemudian ia nemuin teman sebangkunya
yang malang ini bakal dicakar dedemit di koridor sekolah.
“Lo nggak usah ikutan, Mel! Urusan kita ama Kinal!”
kata Naomi pada Melody.
“Lo cemen banget satu lawan banyak! Sini kalo
berani!” kata Melody dan konyolnya, ia mulai pasang kuda-kuda.
“Yuk deh capcus!” ujar Acha kocak. Kayaknya cuman
dia yang santai di sini.
Yang menyentuh Melody duluan ternyata Ayen. Ia
menjambak rambut Melody. Melody berusaha melepaskan diri dengan mencubit-cubit
anggota tubuh Ayen dengan sembarangan. Tapi Ayen ternyata tangguh, dia cuman
meringis kesakitan dan malah menarik rambut Melody lebih kuat.
Lalu kurasakan tatapan Mela mengarah padaku. Aku
menyipitkan mata mengisyaratkan padanya, “Siapa takut?”.
“Eeeeehhhhh apa-apaan ini??” Dimas datang dan
langsung melerai Melody dan Ayen. Ia baru datang bersama Willy. Untuk
menghindari adanya pertengkaran susulan (macam gempa aja) Willy memegangi Ayen
sementara Dimas memegangi Melody. Tapi dua cewek itu masih terus saja berantem,
lewat tatapan mata.
Paralel dengan itu, kehadiran mereka berdua otomatis
menggagalkan acara gontok-gontokkan antara aku dan Mela.
“Ini juga ngapain pada liat? Bukan acara tipi pagi!
Buruan bubar!” perintah Dimas pada beberapa siswa yang mulai menyemut karena
kehebohan ini. Siswa-siswa itu langsung membubarkan diri, meski masih ada yang
nakal ngetem atau sembunyi di balik pilar koridor.
“Kalian ngapain berantem? Kayak anak kecil aja! Di
lingkungan sekolah lagi! Mau kena BP??” semprot Willy.
“Jangan bilang kalian bertengkar perkara Dicky!”
ancam Dimas.
Mela mendecak. Lalu ia menatap tajam ke arah Willy.
“Lepasin dia! Kita balik, Yen!”
“Dasaaaarrr!!! Hhhmmmpppfff!!!” teriak Melody dan
mulutnya langsung dibungkam Dimas sebelum meluncur kata-kata sumpah serapah
yang pastinya bakal mengundang amarah Mela cs dan kami benaran masuk BP,
lebih-lebih menarik penonton lagi.
Dimas melepas Melody begitu Mela cs lenyap dari
pandangan. Masih dengan raut wajah marah Melody merapikan diri, termasuk
rambutnya yang kusut mirip Mak Lampir kesetrum. Sementara itu, kurasakan
atmosfer aneh di sekitarku. Benar saja, Dimas dan Willy menatap kami berdua
dengan tatapan tajam.
“Apa? Jangan tanya! Mereka duluan!” kataku sebelum
mereka bersuara.
Kami berjalan dalam hening menuju kelas. Entah apa
yang mereka pikirkan, kalau Melody sih, dilihat dari wajahnya kayaknya dia
menyesal tersulut emosi. Takutnya setelah ini bakal ada guru BP datang ke kelas
dan memanggil namanya. Rasa bersalahku makin numpuk aja.
Kalau yang kupikirkan, jelas hanya satu. Entah
kenapa perkataan Mela membuatku goyah. Aku seperti pecundang, tidak bisa
membuktikan kalimatku sendiri. Kalimat, “kok gue sih? Yang menyalakan api
duluan siapa?”.
Tapi perasaan itu terus menghantui. Sudah kutekankan
pada diri sendiri, ini bukan salahku. Namun muncul satu gagasan lain, ini bukan
salahku, tapi Dicky melakukannya karena aku.
Di tengah pelajaran, kadang aku mengedarkan
pandangan menuju bangku sebelah Daniel. Bangku itu kosong. Nggak ada senyum
tolol seperti biasa dari sana. Nggak ada raut wajah serius saat mendengarkan
pelajaran. Nggak ada suara kocak yang biasa memanggil namaku atau teman-teman
lain. Benar-benar kosong, tanpa ada wujud visual yang entah mengapa membuat
hatiku makin sengsara saja.
Tak satupun materi pelajaran yang masuk ke kepalaku.
Ini bodoh. Sangat amat bodoh. Di pelajaran jam ketiga-empat guru tidak datang
tapi kami diberi catatan. Catatan ditulis Sonya di dua papan tulis, penuh
sesak. Bel istirahat berbunyi, catatan satu papan pun aku belum selesai.
Aku menghembus napas lagi.
***
Sekilas orang itu terlihat biasa saja. Bersikap
biasa. Tanpa banyak yang tahu dibalik sikap biasanya, sesungguhnya kedua
matanya itu bergulir ke sisi. Mengamati.
Entah untuk ke berapa kalinya, cewek itu menghembus
napas. Lalu ia menunduk dengan ekspresi sedih. Catatanya belum selesai dan jam
istirahat pertama kini digunakannya untuk melanjutkan menulis. Tapi bolpoin
yang dipegangnya mengawang, sama sekali tidak menjejak kertas. Dipilin,
diputar, diamati... meski bukan pada bolpoin pikiran cewek itu mengembara.
Orang itu tersenyum simpul. Diambilnya dua buku
tulis dari ranselnya. Lalu berjalan menuju bangku cewek itu.
***
“Lo tahu di mana rumah Dicky?”
Aku mendongak dan mendapati wajah datar Daniel yang
menatapku lurus-lurus. “Nggak.”
“Gue pernah tahu kalian pulang bareng.”
“Bukan berarti gue tahu di mana rumahnya.”
Daniel nggak langsung menjawab. Lalu tiba-tiba ia
melempar dua buku tulis big boss di atas mejaku. “Buku bahasa Indonesia-nya
kecantol di tas gue. Pas gue periksa, catatan nih anak kurang lengkap. Gue
nggak tahu dia masuk kapan tapi lebih baik dikasih tahu sekarang karena lusa
ada pelajarannya, takut-takut ada pemeriksaan dadakan. Satunya itu buku gue,
biar dia nyontek catatan gue. Kalau lusa dia belom masuk juga, terpaksa gue
ambil buku gue di rumahnya.”
Aku mengangkat alis tapi tak ada suara yang keluar
dari mulutku.
“Tolong anterin ke rumahnya,” pintanya, dengan
sedikit bumbu perintah.
“Gue kan udah bilang gue nggak tahu rumahnya di
mana. Gue cuman tahu nama jalannya.”
“Yang penting tahu,” katanya lalu berancang-ancang
untuk kabur.
“Tapi kan jalan Kesatria itu lebar! Rumahnya juga
banyak!” kataku setengah berteriak.
“Lo kan bisa SMS atau telpon, nanyain nomor blok
rumahnya.”
Bibirku manyun lima senti. “Kenapa nggak lo aja
sih?”
“Gue nggak tahu rumahnya.”
Si Daniel ini ternyata nyebelin. Pake banget!
(mendadak alay). Aku mengulang kalimatnya, “Lo kan bisa SMS atau telpon,
nanyain nomor blok...”
Daniel dengan cepat memotong. “Udahlah! Yang penting
lo bisa ketemu dia, kan??”
Pernyataan itu membuatku membeku. Daniel tersenyum
simpul, terkesan misterius. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana,
berlalu keluar kelas. Meski kurang dari 3 menit bel istirahat bakal menjerit-jerit.
Aku memandang dua buku tulis di atas mejaku. Saat
itu juga aku teringat, ini kesempatan juga untuk mengembalikan baju Dicky.
Sekaligus menengoknya dan... minta maaf.
Daniel benar. Aku butuh ketemu Dicky. Atau malah,
harus.
Kenapa Daniel bisa tahu?
***
Aku memberitahu pada Dicky bahwa aku akan datang
sekaligus bertanya nomor blok rumahnya lewat SMS saat perjalanan pulang sekolah.
Aku harus pulang dulu, karena begitu kuperiksa, bajunya ketinggalan di rumah.
Terpaksa harus bolak-balik.
Aku pergi ke rumahnya membawa bukunya dan buku
Daniel, bajunya, dan boks makanan. Mama yang membuatkannya saat kubilang mau
menjenguk. Tapi tidak kuberitahu penyebab Dicky sakit. Itu artinya mama harus
tahu kalau anaknya ini korban bully
sebuah geng kacangan di sekolah. Bisa berabe.
Rumah Dicky lumayan besar, terdiri dari dua lantai.
Desainnya minimalis dengan dominasi warna cokelat kopi. Mengingatkanku pada
kopi yang dijual di Kafe Fortune Cookie. Begitu menekan bel, yang membukakan
pintu seorang wanita paruh baya. Yang ternyata pembantu rumah keluarga ini.
“Mbak Kinal?” tanya wanita itu bahkan sebelum aku
mengutarakan maksudku. Aku mengangguk. “Sudah ditunggu Mas Dicky di kamarnya.
Silahkan masuk,” katanya ramah dengan senyum keibuan.
Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Kamar Mas Dicky di lantai dua, ruangan paling
ujung.”
Aku tersenyum sambil mengangguk sopan. “Terima
kasih, Bu. Saya permisi ya...”
“Monggo,
monggo,” jawab ibu itu.
Begitu sampai di depan pintu kamarnya, aku
celingak-celinguk sebentar. Di sebelah pintu kamar Dicky ada jendela. Aku
melongok sebentar. Jendela itu memperlihatkan pemandangan sebelah rumah. Aku
tersenyum sekilas, baru mengetuk pintu.
“Masuk,” jawab orang dalam. Suaranya parau. Dengan
hati-hati aku memutar gagang pintu, dan menemukan seseorang berselimut di
ranjang.
Entah apa artinya, ketika aku masuk Dicky hanya
memandangku sekilas. Ekspresinya tidak bisa dibaca dibalik wajah pucatnya itu.
Ia memalingkan muka, menatap balkon kamarnya yang pintunya terbuka lebar.
Aku berjalan lambat-lambat sambil terus memandang
sekeliling. Hingga langkahku terhenti di ujung ranjangnya, dan pandanganku
mendarat pada sisi kiriku. Tiba-tiba kurasakan tubuh Dicky kaku di balik
selimut, pandangannya mengeras.
Pada benda yang tertempel di dinding di ujung
ranjang Dicky.
Aku berbalik badan membelakangi Dicky, memandang bingkai
foto itu dengan minat. Foto Dicky sewaktu masih kecil, dengan celana jins
panjang yang kayaknya kedodoran. Ekspresinya pada kamera masih polos dan lucu.
Pipinya gembul. Satu tangan Dicky terangkat ke atas, digemgam seorang wanita
yang membungkuk di samping Dicky kecil. Sementara di sisi lain ada pria
berkumis berjongkok, dengan tangan terulur merangkul bahu Dicky kecil. Kedua
orang itu tersenyum lebar dengan kebahagiaan terpancar jelas di wajah.
Samar-samar, kudengar ada yang menghela napas lega.
“Ini kecilan lo dulu? Ini orangtua lo?”
“He-eh,” jawab Dicky.
“Lucu. Kecilan lo imut-imut,” komentarku sambil
membalik badan menghadap Dicky. “Gedenya amit-amit.”
Dicky tertawa pelan. Aku berjalan di sisi
ranjangnya, menarik kursi yang kukira kursi belajarnya. Setelah duduk, aku
memangku barang yang kubawa. Kukeluarkan isinya.
“Ini, gue bawa makanan. Dimakan, ya. Lo udah makan?”
Dicky mengerutkan kening. “Entahlah. Gue lupa.”
Aku meringis lebar. “Belum apa-apa lo dapet penyakit
pikun dini.”
Dicky diam, tidak menanggapi. Aku meletakkan boks
makanan di meja sampingku, dan kembali mengeluarkan barang dari bungkusan.
“Ini buku lo. Gue anterin soalnya kata Daniel
catatan lo belom lengkap. Lusa kan ada pelajarannya, takutnya ada pemeriksaan
catatan dadakan. Ini, lo bisa nyontek catatan Daniel.”
Dicky memejamkan matanya, lalu tersenyum. “Terima
kasih.”
“Makasihnya ke Daniel aja. Gue cuman kurir antar
aja.”
“Gue terima kasih ke elo juga karena kudu
repot-repot kemari.”
“Ah enggak kok. Gue sekalian kembaliin baju lo.”
“Udah dicuci?”
Aku meringis. “Udah. Pake pewangi tujuh botol!”
Di balik selimut, bahu itu bergerak-gerak lemah. Aku
langsung terdiam. Melihatnya dengan keadaan menyedihkan ini, hal yang menyedot
perhatianku di sekolah tadi sebelum Daniel datang kembali menyerang.
“Ehm, Dick. Sori ya.”
“Untuk?”
“Karena gue, lo jadi begini.”
“Emang lo habis ngapain?”
“Ya kalo baju gue nggak basah, lo nggak perlu minjemin
baju lo. Lo jadi sakit begini, kan?”
Dicky terbahak. “Gue cuman masuk angin kali. Lagian,
itu bukan salah lo, Nal.”
“Tapi...”
“Ssstt!!”
Aku diam sebentar. Lalu memandang bingkai foto yang
tertempel di dinding, di ujung ranjangnya. “Bokap nyokap lo mana?”
“Kerja semua.”
“Lo anak tunggal?”
“Yang lo liat?”
“Eeeeng, sepertinya... iya.”
“Nah tuh tahu.”
H e n i n g.
“Mereka pulang jam berapa? Orangtua lo?”
“Sehabis maghrib.”
“Mereka kerja apa?”
Dicky mendecak tidak suka. “Lo ke sini mau wawancara
gue apa jenguk gue sih??” katanya, tiba-tiba nadanya kasar.
Bahuku tersentak. Merasa tersinggung. Saat itu juga
aku beranjak berdiri. “Sori kalau gue udah ganggu. Gue pulang ya. Lo cepet
sembuh. Permisi.”
Aku berjalan cepat keluar kamarnya, menyembunyikan
perasaan kecewa. Tapi belum sampai tangga, kudengar langkah kaki terdengar
mendekat. Disusul tepukan di bahu kananku yang spontan menghentikan langkahku.
“Sori, Nal. Gue nggak... bermaksud,” katanya lirih.
Melihat ekspresinya, terlebih wajahnya yang pucat
itu, rasa tersinggung dan kecewaku luruh seketika. Begitu cepat hingga tak
kusadari. “Gue ngerti kok.”
“Ngerti? Lo nggak ngerti apa-apa...” bisiknya.
“Hah?” tanyaku, merasa tidak menangkap kalimatnya.
“Enggak. Bukan apa-apa. Lo pulang sekarang?”
“Iya.”
“Kenapa buru-buru? Kan gue udah minta maaf.”
“Bukan gitu. Urusan gue udah selesai di sini.
Lagipula lo harus istirahat total. Kita udah kelas 3, sayang banget kalo nggak
masuk lama-lama.”
“Ya. Lo pulang naik apa?”
“Taksi. Udah ya, lo istirahat. Jangan lupa makanan
dari gue dimakan. Cepet sembuh, Dick. Dan... gue minta maaf dan... terima
kasih...”
Dicky tersenyum, lembut. “Sama-sama. Hati-hati ya.”
***
Punggung cewek itu menjauh, menuruni tangga. Tidak
ada usul dari benaknya buat mengantar cewek itu sampai pintu depan. Yang ada
malah, usul untuk kembali ke kamar.
Dicky berlari kecil menuju kamar. Berlari dengan
ujung celana piyama diinjak karena memang kepanjangan. Langkah Dicky terhenti
tepat di mana tempat yang dihampiri cewek itu pertama kali ketika memasuki
kamarnya.
Perlahan-lahan, senyum terbentuk di wajahnya. Dengan
mata yang memancar, Dicky berbisik dalam hati pada bingkai foto itu. Terima
kasih...
Sejurus kemudian Dicky kembali berlari kecil keluar
dari kamarnya. Berniat menghampiri cewek itu jika ia masih di tempat. Namun
langkah Dicky terhenti di ujung tangga, begitu dilihatnya mobil taksi biru
berhenti tepat di depan rumahnya. Dan cewek itu menghilang di dalamnya dengan
tangan menggemgam ponsel. Taksi itu ditelepon kemari.
Tidak ada niat bagi Dicky untuk kembali berbaring di
tempat tidur meski fisiknya masih lemah. Ia malah duduk di ujung tangga,
memandang keluar rumah. Taksi sudah berlalu 10 menit yang lalu. Dicky masih
bergeming.
Mendadak, Dicky merasa kesepian...
Ddddrrrtttt... dddrrrrttt... ponsel di saku baju
piyamanya bergetar. Dicky mengangkat telepon tanpa membaca nama pemanggilnya,
karena matanya terus menerawang jauh ke depan.
“Halo.”
“Dia udah ke rumah lo?” tanya Daniel.
“Ya. Barusan juga pulang.”
“Jam berapa dia ke rumah lo?”
“Kurang lebih jam empat tadi.”
“Sekarang setengah lima kurang. Cepet banget?”
“Katanya biar gue istirahat total.”
“Hati-hati Dick.”
“Hm?”
“Lo nggak tahu ada apa dengan dia seharian di
sekolah tadi.”
Dicky mengangkat alis. “Ada apa? Dia diganggu??”
“Iya tadi pagi. Ama rivalnya lah, siapa lagi.”
“Tapi dia nggak papa kan?”
“Kalau perkara ama Mela sih dia nggak kenapa-napa.
Ama elo.”
“Gue?”
“Gue kasih tahu ya. Tuh cewek diem terus tadi.
Kebanyakan ngelamun.”
“Dia ngerasa bersalah, Niel. Gara-gara gue pinjemin
baju gue ke dia, gue jadi sakit.”
“Bukan cuman itu.”
“Terus?”
“Berkali-kali dia ngeliatin bangku lo.”
Dicky terdiam.
“Lo harus hati-hati. Karena tuh cewek nggak hanya merasa
bersalah, tapi juga khawatir tentang keadaan lo.”
“Tapi terlebih karena keadaan gue ada sangkut
pautnya dengan dia kan?”
“Gue rasa beda,” Daniel diam sebentar. “Gue rasa dia
ngerasa sedih lo nggak sekolah hari ini, terlepas apa yang terjadi ama kalian
kemarin...”
Komentar
Posting Komentar