[Matahari Milikku] #10. Yang Tertempel di Dinding, di Ujung Ranjang


Setelah semua siap, Dicky menolak keras pulang dengan mobil Mela. Meski Mela sudah ngotot bakal membelikan baju ganti baru ataupun dapat resiko jok kursinya basah, dari tatapannya–semua orang mungkin berpendapat, bahkan Dicky tidak mau melihat cewek itu lagi.

Akhirnya Dicky ikut mobil Naomi bersama aku, Melody, Willy, dan Dimas. Dicky duduk di kursi depan, sementara Dimas ngungsi di belakang bersama Willy. Selama perjalanan kuperhatikan dari kaca spion mobil Naomi, mobil Mela berjalan terlalu lamban hingga berkali-kali ketinggalan. Mungkin Mela benar-benar merasa bersalah. Yang lebih mengejutkan lagi mungkin baginya, baru kali ini dia dibentak Dicky.

Di mobil Naomi, urutan yang turun pertama adalah Dimas. Dilanjut Melody, lalu Willy. Kemudian aku. Dicky terakhir karena rumahnya searah dengan Naomi, kudu melewati sekolah dulu.

Sebelum turun dari mobil aku menyatakan keberatanku soal baju Dicky yang kupakai. Padahal sudah kuucapkan itu ratusan kali, sampai-sampai Naomi menatapku tak suka lewat kaca spion. Berkali-kali juga Dicky menjawab pertanyaanku dengan kalimat yang sama, tapi berbeda ketika aku berdiri di depan pagar rumahku.

“Ini udah nyampe di rumah lo kali. Masih aja ngomong begitu,” katanya.

“Apa lo gue pinjemin baju gue?”

“Baju cewek dong!” protesnya.

“Gue punya kaus oblong kok.”

“Nanggung, Nal. Sudah terlanjur basah, tenggelam sekalian!”

“Tapi rumah lo jauh dari sini. Nanti lo bisa...”

Dicky mengibaskan tangannya cepat. “Lo cuci dulu ye sebelum dikembaliin,” katanya sambil nyengir. “Jalan, Nom!”

Kijang merah marun itu berlalu saat sebelumnya Dicky mengangkat alisnya untuk pamit. Tepat di belakangnya, bergerak sedan hitam kepunyaan Mela. Begitu lamban, seperti siput yang berjalan menunduk. Semua kaca ditutup. Gelap, tidak tertembus.

***

Hari Senin saat perjalanan menuju kelas, aku masih memutar kejadian itu dalam kepalaku. Berulang-ulang. Aku masih merasa bersalah karena Dicky harus pulang dengan keadaan seperti kucing kecebur got begitu. Lembab. Padahal aku tak perlu begitu karena jelas semua itu terjadi di luar kuasaku. Terbukti Mela yang melakukannya, atau paling tidak yang merencanakannya. Hanya saja kenapa Dicky harus melakukan tindakan patriotik begitu, padahal usul Willy untuk beli baju baru bisa dilakukan.

Sebelum belok ke koridor, aku menghembus napas. Pasrah.

“KINAL!”

Aku tersentak. Suara itu jelas sekali bukan panggilan, tapi bentakan. Volumenya kelewat kencang, ditilik yang masuk dari telingaku pelakunya masih ada di sekitarku. Jadi ngapain harus sekeras itu membentak?

Aku menoleh dan menemukan batang hidung Mela dan antek-anteknya. Aku tersenyum lemah, mengingat sepertinya hidupku mulai ricuh gara-gara bertemu dengannya. Ooooh, andai saja aku tidak menertawakannya karena menabrak pohon waktu itu.

“Gue kudu buat perhitungan ama lo,” desis Mela, menyilangkan tangan di dada.

“Apa? Soal kemaren?” tanyaku.

Acha menjawab dengan tenang. “Gara-gara lo, Dicky hari ini nggak masuk.”

Ekspresiku langsung berubah. “Hah? Nggak masuk?”

“Iya!” tandas Naomi. “Menurut sekretaris kelas lo, si Sonya itu, Dicky nggak masuk karena sakit.”

“Hah?”

Ayen berkacak pinggang. “Yap! Semuanya karena lo! Gara-gara lo, Dicky masuk angin!!”

Aku melongo dan ketiga teman Ayen itu kompak menatapnya aneh. Ayen mengernyitkan dahi dan ber-hahehahe, memandang teman-temannya satu persatu.

Sebelum bicara, Mela menyikut lengan Ayen. “Jangan bilang masuk angin kenapa? Kesannya nggak etis tauk! Flu kek, influenza kek, ISPA kek.”

“Jangan terlalu jujur dong!” bisik Naomi.

“Ehem!” deham Mela. “Intinya, gara-gara lo, Dicky jadi sakit.”

“Kok gue sih? Yang menyalakan api duluan siapa? Makan aja tuh panasnya!”

“Eh lo kok nyolot ya? Udah salah, masih bisa nyolot!”

“Gue yang seharusnya bilang begitu! Gue begini karena gue nggak ngerasa bersalah!”

“Elu...” Tangan Mela terjulur untuk menjitak kepalaku.

“Hei! Apa-apaan ini!!” Melody merangsek maju dan muncul di tengah-tengah, antara aku dengan Mela cs. Kurang dari sedetik, tatapan tajamnya menghunus Mela. “Apa lo? Lo mau nyalahin Kinal karena Dicky nggak masuk??”

Buset dah nih anak. Baru nyampe udah tahu apa yang diperkarakan. Melody nggak membawa tas, jadi mungkin dia udah ke kelas duluan hingga tahu berita Dicky nggak masuk dari Sonya. Kemudian ia nemuin teman sebangkunya yang malang ini bakal dicakar dedemit di koridor sekolah.

“Lo nggak usah ikutan, Mel! Urusan kita ama Kinal!” kata Naomi pada Melody.

“Lo cemen banget satu lawan banyak! Sini kalo berani!” kata Melody dan konyolnya, ia mulai pasang kuda-kuda.

“Yuk deh capcus!” ujar Acha kocak. Kayaknya cuman dia yang santai di sini.

Yang menyentuh Melody duluan ternyata Ayen. Ia menjambak rambut Melody. Melody berusaha melepaskan diri dengan mencubit-cubit anggota tubuh Ayen dengan sembarangan. Tapi Ayen ternyata tangguh, dia cuman meringis kesakitan dan malah menarik rambut Melody lebih kuat.

Lalu kurasakan tatapan Mela mengarah padaku. Aku menyipitkan mata mengisyaratkan padanya, “Siapa takut?”.

“Eeeeehhhhh apa-apaan ini??” Dimas datang dan langsung melerai Melody dan Ayen. Ia baru datang bersama Willy. Untuk menghindari adanya pertengkaran susulan (macam gempa aja) Willy memegangi Ayen sementara Dimas memegangi Melody. Tapi dua cewek itu masih terus saja berantem, lewat tatapan mata.

Paralel dengan itu, kehadiran mereka berdua otomatis menggagalkan acara gontok-gontokkan antara aku dan Mela.

“Ini juga ngapain pada liat? Bukan acara tipi pagi! Buruan bubar!” perintah Dimas pada beberapa siswa yang mulai menyemut karena kehebohan ini. Siswa-siswa itu langsung membubarkan diri, meski masih ada yang nakal ngetem atau sembunyi di balik pilar koridor.

“Kalian ngapain berantem? Kayak anak kecil aja! Di lingkungan sekolah lagi! Mau kena BP??” semprot Willy.

“Jangan bilang kalian bertengkar perkara Dicky!” ancam Dimas.

Mela mendecak. Lalu ia menatap tajam ke arah Willy. “Lepasin dia! Kita balik, Yen!”

“Dasaaaarrr!!! Hhhmmmpppfff!!!” teriak Melody dan mulutnya langsung dibungkam Dimas sebelum meluncur kata-kata sumpah serapah yang pastinya bakal mengundang amarah Mela cs dan kami benaran masuk BP, lebih-lebih menarik penonton lagi.

Dimas melepas Melody begitu Mela cs lenyap dari pandangan. Masih dengan raut wajah marah Melody merapikan diri, termasuk rambutnya yang kusut mirip Mak Lampir kesetrum. Sementara itu, kurasakan atmosfer aneh di sekitarku. Benar saja, Dimas dan Willy menatap kami berdua dengan tatapan tajam.

“Apa? Jangan tanya! Mereka duluan!” kataku sebelum mereka bersuara.

Kami berjalan dalam hening menuju kelas. Entah apa yang mereka pikirkan, kalau Melody sih, dilihat dari wajahnya kayaknya dia menyesal tersulut emosi. Takutnya setelah ini bakal ada guru BP datang ke kelas dan memanggil namanya. Rasa bersalahku makin numpuk aja.

Kalau yang kupikirkan, jelas hanya satu. Entah kenapa perkataan Mela membuatku goyah. Aku seperti pecundang, tidak bisa membuktikan kalimatku sendiri. Kalimat, “kok gue sih? Yang menyalakan api duluan siapa?”.

Tapi perasaan itu terus menghantui. Sudah kutekankan pada diri sendiri, ini bukan salahku. Namun muncul satu gagasan lain, ini bukan salahku, tapi Dicky melakukannya karena aku.

Di tengah pelajaran, kadang aku mengedarkan pandangan menuju bangku sebelah Daniel. Bangku itu kosong. Nggak ada senyum tolol seperti biasa dari sana. Nggak ada raut wajah serius saat mendengarkan pelajaran. Nggak ada suara kocak yang biasa memanggil namaku atau teman-teman lain. Benar-benar kosong, tanpa ada wujud visual yang entah mengapa membuat hatiku makin sengsara saja.

Tak satupun materi pelajaran yang masuk ke kepalaku. Ini bodoh. Sangat amat bodoh. Di pelajaran jam ketiga-empat guru tidak datang tapi kami diberi catatan. Catatan ditulis Sonya di dua papan tulis, penuh sesak. Bel istirahat berbunyi, catatan satu papan pun aku belum selesai.

Aku menghembus napas lagi.

***

Sekilas orang itu terlihat biasa saja. Bersikap biasa. Tanpa banyak yang tahu dibalik sikap biasanya, sesungguhnya kedua matanya itu bergulir ke sisi. Mengamati.

Entah untuk ke berapa kalinya, cewek itu menghembus napas. Lalu ia menunduk dengan ekspresi sedih. Catatanya belum selesai dan jam istirahat pertama kini digunakannya untuk melanjutkan menulis. Tapi bolpoin yang dipegangnya mengawang, sama sekali tidak menjejak kertas. Dipilin, diputar, diamati... meski bukan pada bolpoin pikiran cewek itu mengembara.

Orang itu tersenyum simpul. Diambilnya dua buku tulis dari ranselnya. Lalu berjalan menuju bangku cewek itu.

***

“Lo tahu di mana rumah Dicky?”

Aku mendongak dan mendapati wajah datar Daniel yang menatapku lurus-lurus. “Nggak.”

“Gue pernah tahu kalian pulang bareng.”

“Bukan berarti gue tahu di mana rumahnya.”

Daniel nggak langsung menjawab. Lalu tiba-tiba ia melempar dua buku tulis big boss di atas mejaku. “Buku bahasa Indonesia-nya kecantol di tas gue. Pas gue periksa, catatan nih anak kurang lengkap. Gue nggak tahu dia masuk kapan tapi lebih baik dikasih tahu sekarang karena lusa ada pelajarannya, takut-takut ada pemeriksaan dadakan. Satunya itu buku gue, biar dia nyontek catatan gue. Kalau lusa dia belom masuk juga, terpaksa gue ambil buku gue di rumahnya.”

Aku mengangkat alis tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku.

“Tolong anterin ke rumahnya,” pintanya, dengan sedikit bumbu perintah.

“Gue kan udah bilang gue nggak tahu rumahnya di mana. Gue cuman tahu nama jalannya.”

“Yang penting tahu,” katanya lalu berancang-ancang untuk kabur.

“Tapi kan jalan Kesatria itu lebar! Rumahnya juga banyak!” kataku setengah berteriak.

“Lo kan bisa SMS atau telpon, nanyain nomor blok rumahnya.”

Bibirku manyun lima senti. “Kenapa nggak lo aja sih?”

“Gue nggak tahu rumahnya.”

Si Daniel ini ternyata nyebelin. Pake banget! (mendadak alay). Aku mengulang kalimatnya, “Lo kan bisa SMS atau telpon, nanyain nomor blok...”

Daniel dengan cepat memotong. “Udahlah! Yang penting lo bisa ketemu dia, kan??”

Pernyataan itu membuatku membeku. Daniel tersenyum simpul, terkesan misterius. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, berlalu keluar kelas. Meski kurang dari 3 menit bel istirahat bakal menjerit-jerit.

Aku memandang dua buku tulis di atas mejaku. Saat itu juga aku teringat, ini kesempatan juga untuk mengembalikan baju Dicky. Sekaligus menengoknya dan... minta maaf.

Daniel benar. Aku butuh ketemu Dicky. Atau malah, harus.

Kenapa Daniel bisa tahu?

***

Aku memberitahu pada Dicky bahwa aku akan datang sekaligus bertanya nomor blok rumahnya lewat SMS saat perjalanan pulang sekolah. Aku harus pulang dulu, karena begitu kuperiksa, bajunya ketinggalan di rumah. Terpaksa harus bolak-balik.

Aku pergi ke rumahnya membawa bukunya dan buku Daniel, bajunya, dan boks makanan. Mama yang membuatkannya saat kubilang mau menjenguk. Tapi tidak kuberitahu penyebab Dicky sakit. Itu artinya mama harus tahu kalau anaknya ini korban bully sebuah geng kacangan di sekolah. Bisa berabe.

Rumah Dicky lumayan besar, terdiri dari dua lantai. Desainnya minimalis dengan dominasi warna cokelat kopi. Mengingatkanku pada kopi yang dijual di Kafe Fortune Cookie. Begitu menekan bel, yang membukakan pintu seorang wanita paruh baya. Yang ternyata pembantu rumah keluarga ini.

“Mbak Kinal?” tanya wanita itu bahkan sebelum aku mengutarakan maksudku. Aku mengangguk. “Sudah ditunggu Mas Dicky di kamarnya. Silahkan masuk,” katanya ramah dengan senyum keibuan.

Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk.

“Kamar Mas Dicky di lantai dua, ruangan paling ujung.”

Aku tersenyum sambil mengangguk sopan. “Terima kasih, Bu. Saya permisi ya...”

Monggo, monggo,” jawab ibu itu.

Begitu sampai di depan pintu kamarnya, aku celingak-celinguk sebentar. Di sebelah pintu kamar Dicky ada jendela. Aku melongok sebentar. Jendela itu memperlihatkan pemandangan sebelah rumah. Aku tersenyum sekilas, baru mengetuk pintu.

“Masuk,” jawab orang dalam. Suaranya parau. Dengan hati-hati aku memutar gagang pintu, dan menemukan seseorang berselimut di ranjang.

Entah apa artinya, ketika aku masuk Dicky hanya memandangku sekilas. Ekspresinya tidak bisa dibaca dibalik wajah pucatnya itu. Ia memalingkan muka, menatap balkon kamarnya yang pintunya terbuka lebar.

Aku berjalan lambat-lambat sambil terus memandang sekeliling. Hingga langkahku terhenti di ujung ranjangnya, dan pandanganku mendarat pada sisi kiriku. Tiba-tiba kurasakan tubuh Dicky kaku di balik selimut, pandangannya mengeras.

Pada benda yang tertempel di dinding di ujung ranjang Dicky.

Aku berbalik badan membelakangi Dicky, memandang bingkai foto itu dengan minat. Foto Dicky sewaktu masih kecil, dengan celana jins panjang yang kayaknya kedodoran. Ekspresinya pada kamera masih polos dan lucu. Pipinya gembul. Satu tangan Dicky terangkat ke atas, digemgam seorang wanita yang membungkuk di samping Dicky kecil. Sementara di sisi lain ada pria berkumis berjongkok, dengan tangan terulur merangkul bahu Dicky kecil. Kedua orang itu tersenyum lebar dengan kebahagiaan terpancar jelas di wajah.

Samar-samar, kudengar ada yang menghela napas lega.

“Ini kecilan lo dulu? Ini orangtua lo?”

“He-eh,” jawab Dicky.

“Lucu. Kecilan lo imut-imut,” komentarku sambil membalik badan menghadap Dicky. “Gedenya amit-amit.”

Dicky tertawa pelan. Aku berjalan di sisi ranjangnya, menarik kursi yang kukira kursi belajarnya. Setelah duduk, aku memangku barang yang kubawa. Kukeluarkan isinya.

“Ini, gue bawa makanan. Dimakan, ya. Lo udah makan?”

Dicky mengerutkan kening. “Entahlah. Gue lupa.”

Aku meringis lebar. “Belum apa-apa lo dapet penyakit pikun dini.”

Dicky diam, tidak menanggapi. Aku meletakkan boks makanan di meja sampingku, dan kembali mengeluarkan barang dari bungkusan.

“Ini buku lo. Gue anterin soalnya kata Daniel catatan lo belom lengkap. Lusa kan ada pelajarannya, takutnya ada pemeriksaan catatan dadakan. Ini, lo bisa nyontek catatan Daniel.”

Dicky memejamkan matanya, lalu tersenyum. “Terima kasih.”

“Makasihnya ke Daniel aja. Gue cuman kurir antar aja.”

“Gue terima kasih ke elo juga karena kudu repot-repot kemari.”

“Ah enggak kok. Gue sekalian kembaliin baju lo.”

“Udah dicuci?”

Aku meringis. “Udah. Pake pewangi tujuh botol!”

Di balik selimut, bahu itu bergerak-gerak lemah. Aku langsung terdiam. Melihatnya dengan keadaan menyedihkan ini, hal yang menyedot perhatianku di sekolah tadi sebelum Daniel datang kembali menyerang.

“Ehm, Dick. Sori ya.”

“Untuk?”

“Karena gue, lo jadi begini.”

“Emang lo habis ngapain?”

“Ya kalo baju gue nggak basah, lo nggak perlu minjemin baju lo. Lo jadi sakit begini, kan?”

Dicky terbahak. “Gue cuman masuk angin kali. Lagian, itu bukan salah lo, Nal.”

“Tapi...”

“Ssstt!!”

Aku diam sebentar. Lalu memandang bingkai foto yang tertempel di dinding, di ujung ranjangnya. “Bokap nyokap lo mana?”

“Kerja semua.”

“Lo anak tunggal?”

“Yang lo liat?”

“Eeeeng, sepertinya... iya.”

“Nah tuh tahu.”

H e n i n g.

“Mereka pulang jam berapa? Orangtua lo?”

“Sehabis maghrib.”

“Mereka kerja apa?”

Dicky mendecak tidak suka. “Lo ke sini mau wawancara gue apa jenguk gue sih??” katanya, tiba-tiba nadanya kasar.

Bahuku tersentak. Merasa tersinggung. Saat itu juga aku beranjak berdiri. “Sori kalau gue udah ganggu. Gue pulang ya. Lo cepet sembuh. Permisi.”

Aku berjalan cepat keluar kamarnya, menyembunyikan perasaan kecewa. Tapi belum sampai tangga, kudengar langkah kaki terdengar mendekat. Disusul tepukan di bahu kananku yang spontan menghentikan langkahku.

“Sori, Nal. Gue nggak... bermaksud,” katanya lirih.

Melihat ekspresinya, terlebih wajahnya yang pucat itu, rasa tersinggung dan kecewaku luruh seketika. Begitu cepat hingga tak kusadari. “Gue ngerti kok.”

“Ngerti? Lo nggak ngerti apa-apa...” bisiknya.

“Hah?” tanyaku, merasa tidak menangkap kalimatnya.

“Enggak. Bukan apa-apa. Lo pulang sekarang?”

“Iya.”

“Kenapa buru-buru? Kan gue udah minta maaf.”

“Bukan gitu. Urusan gue udah selesai di sini. Lagipula lo harus istirahat total. Kita udah kelas 3, sayang banget kalo nggak masuk lama-lama.”

“Ya. Lo pulang naik apa?”

“Taksi. Udah ya, lo istirahat. Jangan lupa makanan dari gue dimakan. Cepet sembuh, Dick. Dan... gue minta maaf dan... terima kasih...”

Dicky tersenyum, lembut. “Sama-sama. Hati-hati ya.”

***

Punggung cewek itu menjauh, menuruni tangga. Tidak ada usul dari benaknya buat mengantar cewek itu sampai pintu depan. Yang ada malah, usul untuk kembali ke kamar.

Dicky berlari kecil menuju kamar. Berlari dengan ujung celana piyama diinjak karena memang kepanjangan. Langkah Dicky terhenti tepat di mana tempat yang dihampiri cewek itu pertama kali ketika memasuki kamarnya.

Perlahan-lahan, senyum terbentuk di wajahnya. Dengan mata yang memancar, Dicky berbisik dalam hati pada bingkai foto itu. Terima kasih...

Sejurus kemudian Dicky kembali berlari kecil keluar dari kamarnya. Berniat menghampiri cewek itu jika ia masih di tempat. Namun langkah Dicky terhenti di ujung tangga, begitu dilihatnya mobil taksi biru berhenti tepat di depan rumahnya. Dan cewek itu menghilang di dalamnya dengan tangan menggemgam ponsel. Taksi itu ditelepon kemari.

Tidak ada niat bagi Dicky untuk kembali berbaring di tempat tidur meski fisiknya masih lemah. Ia malah duduk di ujung tangga, memandang keluar rumah. Taksi sudah berlalu 10 menit yang lalu. Dicky masih bergeming.

Mendadak, Dicky merasa kesepian...

Ddddrrrtttt... dddrrrrttt... ponsel di saku baju piyamanya bergetar. Dicky mengangkat telepon tanpa membaca nama pemanggilnya, karena matanya terus menerawang jauh ke depan.

“Halo.”

“Dia udah ke rumah lo?” tanya Daniel.

“Ya. Barusan juga pulang.”

“Jam berapa dia ke rumah lo?”

“Kurang lebih jam empat tadi.”

“Sekarang setengah lima kurang. Cepet banget?”

“Katanya biar gue istirahat total.”

“Hati-hati Dick.”

“Hm?”

“Lo nggak tahu ada apa dengan dia seharian di sekolah tadi.”

Dicky mengangkat alis. “Ada apa? Dia diganggu??”

“Iya tadi pagi. Ama rivalnya lah, siapa lagi.”

“Tapi dia nggak papa kan?”

“Kalau perkara ama Mela sih dia nggak kenapa-napa. Ama elo.”

“Gue?”

“Gue kasih tahu ya. Tuh cewek diem terus tadi. Kebanyakan ngelamun.”

“Dia ngerasa bersalah, Niel. Gara-gara gue pinjemin baju gue ke dia, gue jadi sakit.”

“Bukan cuman itu.”

“Terus?”

“Berkali-kali dia ngeliatin bangku lo.”

Dicky terdiam.

“Lo harus hati-hati. Karena tuh cewek nggak hanya merasa bersalah, tapi juga khawatir tentang keadaan lo.”

“Tapi terlebih karena keadaan gue ada sangkut pautnya dengan dia kan?”


“Gue rasa beda,” Daniel diam sebentar. “Gue rasa dia ngerasa sedih lo nggak sekolah hari ini, terlepas apa yang terjadi ama kalian kemarin...”


@anggianab #CerbungKinalProject

Cerita Selanjutnya: [Matahari Milikku] #11. Beda

Komentar