Harus Jadi Pacarku!
“Dia
menjengkelkan!” desisku di telingamu. Wajahku pasang topeng ekspresi jijik.
Kamu
menjauh segera supaya bisa menatapku. Kamu menatapku tak percaya. “Ampun, Mels.
Sekarang aku sudah berpikir kata itu lebih tepat untukku, dan memang diajukan
untukku.”
Aku
terkekeh pelan. “Persamaanmu dengannya hanya sebatas itu kok. Jelas kamu
berbeda dengannya. Soal yang tak perlu menjadi persoalan.”
Kamu
memutar bola mata. “Persamaan itu kan melekat sungguh kuat, jadi aku nggak bisa
membohongi diri sendiri untuk tidak merasa. Kamu mengejeknya, aku merasa diejek
juga.”
Aku
meringis. “Oh, ayolah–“
“Oke,
oke,” potongmu cepat.
***
Aku
menemukanmu duduk tenang di pinggir sungai, di bangku putih pucat tampak kaku
dank eras itu. Tapi kamu begitu tenang–setenang air sungai di depanmu–tapi aku
menghampirimu dengan membawa huru-hara. Dengan melihatmu duduk diam, aku sampai
harus menghentak-entakkan kaki dengan kesal, bibirku mengerucut, mataku
menyipit namun memperhatikan setiap detail, seolah jika ada sesuatu yang salah
akan kuterjang dan kuterkam hingga binasa.
Kamu
mendongak, menatapku penuh tanda tanya.
“Ilham
lagi?” tebakmu sambil nyengir.
“Dia
tidak datang di les hari ini!” pekikku tertahan, meletakkan tas gitarku di
salah satu kaki kursi. Dan duduk di sebelahmu, masih kesal.
Kamu
tertawa mengejek. “Kamu marah hanya karena itu? Kamu mengatakannya seolah kamu
sudah jadi istrinya saja.”
Aku
mendelik. Karena kamu masih menahan tawa, aku memalingkan muka sambil membuang
napas keras-keras. Lalu aku menoleh lagi. Kutatap kamu dengan datar, tapi
mataku mengilat-ngilat tajam. “Karena dia memang harus jadi pacarku, tahu? Aku
juga dengan senang hati jika ia langsung melamarku,” jawabku enteng dan
mengatakannya secara lambat-lambat. Seolah menyuruhmu untuk memahami setiap
detail kalimat itu, padahal kalimat itu sudah kumuntahkan berkali-kali di
depanmu.
Alismu
bertaut tidak setuju, namun pasrah. Tapi kemudian kamu tersenyum. “Oke, oke.
Kali ini, apa yang terjadi?”
Mendengarnya,
aku kesal lagi. “Dia sudah mengirim SMS kalau akan bertemu seusai les, tapi jam
les pun ia tak datang!”
“Mungkin
ada urusan mendadak? Positif dulu, lah,” katamu sambil menepuk bahuku pelan.
Aku
memutar bola mata. “Tentu, tentu,” dustaku. Aku bahkan sudah menyumpahi Ilham
dalam hati.
Tapi
dasar kamu, tetap saja tahu siapa aku dan kebiasaanku saat berbohong. Kamu
angkat bahu setelah lama menatapku lekat. Perasaan bersalah menjalar lebih
cepat dari yang kukira, tapi aku terlalu malu mengakui.
“Maaf.
Kamu merasa lagi?” tanyaku ragu.
“Tidak.”
Kamu terlihat acuh. “Hanya saja, caramu berbicara lebih mengindikasikan bahwa
jenis kami, lelaki, isinya salah melulu.”
Aku
tertegun sampai bahuku terguncang. Aku tak menyangka, sampai sejauh itu kamu
berpikir. “Tidak! Tidak! Tentu saja tidak!” sergahku cepat. Suaraku terdengar
seperti tercekik. Aku melukaimu. “Ilham...” aku merengek, tapi napasku sesak,
aku menggeleng pelan. Menelan kembali jeritku bulat-bulat.
Kamu
terlihat sedikit lega. “Tidak apa-apa, Mels.”
Tiba-tiba
ponselku bergetar. Kutatap layarnya dan membuka amplop kuning yang terpampang.
Lalu aku mengerang. Kamu menoleh cepat.
“Mels?”
“Ilham
bilang ia ada acara keluarga mendadak.” Suaraku masih berwujud mengerang.
Kamu
meraih ponselku dan membaca sederet kalimat di sana. Kamu tersenyum simpul.
“Tuh kan, apa kubilang.”
“Terlalu
tiba-tiba.”
“Well, setidaknya dia memberitahumu,
daripada kamu terus uring-uringan.”
Kata-katamu
yang ringan itu menerbitkan harapan baru dalam benakku. Kamu memang sellau
begitu, terlalu mengerti apa yang kubutuhkan. Kamu selalu punya penawarnya, apapun
yang aku rasakan. Kamu akan selalu jadi kamu.
Lalu
kamu sibuk dengan buku di tanganmu. Oh, betapa egoisnya aku sampai aku baru
sadar kamu membawa buku.
“Besok
adalah waktunya, ya?” kataku tak suka. Kalimatku sarat kepedihan dan andai
beasiswa itu bukanlah impianmu, aku akan dengan senang hati menarikmu
mati-matian untuk tidak pergi.
Wajahmu
muram begitu menangkap reaksiku. Oh, aku menghancurkan perasaanmu, lagi.
Buru-buru kamu berkata, “Mels...”
“Ya,
ya, aku tahu,” potongku cepat, berusaha menyembunyikan luka yang menganga entah
mengapa, tapi aku tahu pasti, apa jadinya aku yang mendapatimu pergi. “Kita
sudah bicarakan ini berkali-kali.”
Tampangmu
diselimuti rasa bersalah yang amat pekat. “Mels, semua akan baik-baik saja.”
“Ya,
ya.”
“Kamu
akan tetap jadi sahabatku,” katamu, dengan sorot mata meneduhkan.
“Tentu,
tentu.” Kali ini aku tulus. Aku tahu aku sudah hancur, karena setelah ini akan
kehilangan sosokmu. Aku tahu, aku bakal apa-apa
nanti.
Kamu
tersenyum. Senyum yang akan, sangat akan kurindukan beberapa tahun ke depan.
***
“Harus
jadi pacarku,” desisku.
Kamu
mengangguk takzim. “Tentu, tentu. Maka temui ia sekarang.”
Aku
menelan ludah, menelan keberanian yang menyulapku jadi ciut. “Kenapa harus
sekarang? Beberapa jam lagi kan kamu akan berangkat!”
Kamu
tertawa geli. Aku menatap punggung Ilham yang menatapku dengan gugup.
“Memangnya
kenapa?”
Aku
menatapmu tak percaya. “Kita tidak bisa merayakannya bersama.”
Kamu
tertawa lagi, lalu menerawang. “Rasanya pendekatan ini mulus ya, seperti jalan
tol.”
Aku
mendelik. “Jadi kamu...”
“Tentu
tidak, Mels. Santai saja, mana mungkin aku begitu.” Kamu menggigit bibir
sebentar. “Jika ia mengadakan janji padamu seperti ini, tidak lain tidak bukan,
pasti karena ia ingin menyatakan perasaannya padamu, kan?”
Aku
memandangmu penuh makna. Senang sekaligus takjub. Diam-diam aku menyetujui
kalimatmu. Mulus seperti jalan tol.
“Oke,
oke.”
“Good luck!”
Aku
menghampiri Ilham dengan waspada. Aku berdeham, membuat Ilham berbalik dan
tersenyum sumringah.
“Hai,
Mel!” sapanya girang. Matanya berbinar-binar.
“Hai.
Ada apa?” tanyaku gugup.
“Maaf
kalau harus membuatmu datang, tapi aku tidak bisa menyampaikan ini lewat
telepon.”
Jantungku
melompat-lompat.
“Kamu
pasti tidak percaya mendengar ini!” sahutnya. Saking girangnya, ia sampai berkelit
dengan diri sendiri hingga tak bisa diam. “Rosa, akhirnya. Akhirnya kudapatkan
dia!” Napasnya terlihat sesak, mengimbangi kegembiraan yang meletup-letup dalam
dadanya.
Selanjutnya,
Ilham nyerocos panjang lebar, tentang caranya mendapatkan Rosa, cewek super
cantik namun super cuek. Aku sudah tidak tahan. Alarm sebentar lagi berbunyi,
dan aku akan meledak hingga hancur berkeping-keping.
“Ilham!”
Aku memekik, membuat Ilham menginjak pedal rem acara nyerocos pamernya. ‘Kamu
tahu nggak sih, kalau aku naksir kamu?” bentakku secara terang-terangan. Aku
tak peduli.
Ilham
melongo. “Mela? Hai, yang benar saja. Kupikir hanya gosip.”
Aku
menahan amarah yang bertumpuk-tumpuk, mendorong-dorong keluar dari kulitku,
meledak-ledak bagai petasan. “Kamu...,” desisku tajam. Gigiku sampai
gemeletukan. “Bodoh!” bentakku.
Lalu
aku berbalik, pergi.
“Mela!”
panggil Ilham.
Mendengarnya,
kamu jadi keluar dari pepohonan dekat aku dengan Ilham, jarak aman untuk
mendengarkan percakapan kami. Kamu menatapku tak mengerti. Gigiku merapat,
rahangku mengeras, mataku berkilat-kilat seperti ingin membunuh orang. Kalau
tidak ada hukum, mungkin sekarang juga aku akan berbalik dan membunuh Ilham.
Tapi
tentu bukan Ilham kamu. Aku tersadar, aku menyayangimu. Jadi mana tega aku
membunuhmu?
“Ilham,
ayo pulang! Aku ikut kamu ke Hardvar!” jeritku dan menyambar lenganmu.
Kamu
memang jelas berbeda dengannya.
Sedetik
aku menyesal dan selamanya aku bersyukur, dan yakin, aku tidak mencintai Ilham
yang salah, sekarang. Dan kamu, ya kamu, Ilham, harus jadi pacarku.
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar