Angel's Heart



Di sini keadaan terlalu gelap. Di mana-mana gelap. Di mana-mana hitam. Aku merasa buta. Apa aku di ruangan kosong tanpa cahaya? Lalu mengapa aku bisa di sini?

Belum-belum aku menemukan jawaban, keadaan berganti terlalu cepat. Mataku masih tetap terbuka lebar, menatap langit bebas cerah biru benderang meski tanpa awan. Indah. Berkelebat terlalu cepat hingga aku merasa pusing. Dari gelap menuju terang. Cepatnya seperti kamu menggeser layar gelap ke terang dalam ponsel layar sentuhmu.

Aku terbangun. Badanku pegal, tapi segar. Aku masih tak mengerti. Aku terduduk di hamparan rumput hijau melambai-lambai. Seolah-olah mereka menyambutku. Menantikan kehadiranku. Seolah-olah mereka hidup. Begitu juga dengan kupu-kupu dan makhluk terbang lainnya yang berhamburan di sana. Mulut mereka yang kecil seakan tersenyum. Aku celingukan menatap sekeliling. Tentu, senyum itu hanya mengarah padaku.

Tempat seindah ini nyaris tak ada di daerahku. Lalu, mengapa aku di sini? Dan apa yang kulakukan di sini?


“Hai!” sapa seseorang membuatku kaget. Aku menengadah. Cewek. Cantik. Rambutnya coklat, senada dengan warna matanya. Lurus digerai. Wajahnya putih bersih, nyaris sulit juga ditemukan di daerahku. Apalagi sekarang ia terlihat tersenyum padaku.

Mau tak mau aku ikut tersenyum. “Hai.”

“Kubantu bangun?” tanyanya, mengulurkan tangan. Aku menyambutnya tanpa kata.

“Kita di mana?”

Dia tersenyum, tidak memandangku. “Tempat indah yang pernah kaubayangkan sebelumnya.”

Aku mengernyit. “Hah?”

“Iya kan? Pernahkah kamu menghayal tentang tempat ini?”

Aku menelan ludah, tapi mencoba mengingat. Sejujurnya pernah, tapi aku tidak begitu mendalaminya. Karena aku yakin, tempat seindah ini hanya ada di surga.

Oh, surga...

Dia malah cekikikan menatapku. Aku baru tersadar, aku bahkan tak mengerti bagaimana ekspresiku saat menerawang sedangkan ia memperhatikan. Tawa yang manis. Membuatku lupa dunia.
Lalu tanpa diduga ia mengulurkan tangan lagi. Gerakannya yang lambat membuatku lamat-lamat memperhatikannya. Gaun selutut yang tampak sangat cantik itu bergerak-gerak ditiup angin sepoi-sepoi. Aku menggigil. Entah karena udara, atau karena...
 
“Namamu?” tanyanya.

Aku terlihat salah tingkah sebelum mengulurkan tangan. “Ennnggg... Handi.”

Tapi ia tak menjawab bahkan setelah tangan kami berpisah. Ia hanya tersenyum. Mau tak mau aku bertanya karena penasaran.

“Siapa namamu?”

“Angel. Tapi panggil aja Anne ya.”

Selanjutnya, yang kami lakukan adalah bersenang-senang. Berdua. Tempat ini kelewat sepi padahal indah sekali. Angel menunjukkan beberapa tempat lain, dan ia mendeskripsikannya dengan fasih. Seolah ia sudah ada di sini bertahun-tahun.

Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik. Angel, cewek, sendirian, di tempat sesepi ini?

Ketika kami menonton matahari terbenam, Angel meletakkan kepalanya di bahuku. Membuatku tak tenang menonton hal yang tak pernah kulihat selama ini. Tapi aku malah tak bisa menolak. Napasnya yang teratur meniup-niup bahuku, begitu lembat, tak terdengar padahal keadaan sepi sekali, seolah ia tak bernapas.

“Aku benci hidupku,” katanya lagi-lagi secara tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Ayah terlalu sibuk dengan urusan kerajaan. Aku curiga ia lupa kalau punya anak.”

Aku terkekeh pelan. “Mana mungkin begitu.”

“Sungguh, Han!” Ia menegakkan tubuhnya, menarik kepalanya, menatapku lekat-lekat. Tawa lepas dan senyuman lebar yang sedari tadi kulihat terlihat lenyap begitu saja. Jauh di dalam matanya seperti ada yang tergores-gores, dibiarkan begitu tersembunyi dalam tawa. Tapi aku tak mau menganggap tawanya sedari tadi adalah palsu belaka.

Sekarang matanya tampak berkaca-kaca. “Punya waktu untuk bicara denganku pun ia tak ada!”

Aku melongo sekarang.

“Maka ia nggak berhak memarahi aku gara-gara aku tak pernah bilang tentang penyakitku!” Ia memaki dengan suara bergetar. Air matanya sudah tumpah.

“Kamu sakit?” Aku nyaris memekik.

Ia tersenyum kecut. “Kanker tulang belakang stadium akhir.”

Aku tercekat, napasku langsung berhenti keluar. Aku menatapnya tak percaya. Tapi Angel langsung merengkuh tanganku, membenamkan wajahnya di bahuku lagi. Kedamaian langsung menyergapku.
Aku tau aku telah jatuh cinta.

“Aku nggak mau pisah ama kamu, Han,” katanya lembut.

“Aku juga.”

“Aku nggak mau kembali pada Ayah. Ia tak pernah mau mendengarkan aku.”

“Kalau begitu jangan kembali,” kataku, menatapnya lurus-lurus.

Ia tersenyum. Tapi senyumnya memudar tatkala kulihat sinar oranye matahari merambat menuruni wajahnya. Ketegangan dan keputusasaan mengambil alih penuh dalam wajahnya. Ia menyentak tangannya sendiri untuk lepas dariku.

Kupandangi matahari dengan heran. Memangnya kenapa? Apa ia takut gelap?

“Tapi waktuku nggak banyak!” sahutnya beranjak berdiri.

“Maksud kamu apa, Anne?”

“Aku harus pergi, Han,” Ia terlihat begitu menyesal. Ia menangis lagi.

Aku beranjak berdiri dengan panik, memegangi kedua bahunya. Aku belum bisa menerima kehilangan atas dirinya. “Pergi ke mana? Jangan bilang kamu mau kembali?!”

Reaksinya berlawanan. Matanya malah membulat, seolah ada sesuatu yang mengguncangnya. Ia menorehkan senyum lagi, melenyapkan kepanikanku. “Kamu jangan khawatir. Aku bukan kembali pada Ayah.”

“Lalu?”

“Aku akan pergi ke tempat indah lainnya.” Ia melepas tanganku dari bahunya, menatap sekeliling dengan tatapan rindu. “Tempat yang lebih indah dari ini.”

Aku mengerutkan dahi, ia masih terus berbicara. “Ya! Ya! Aku memang percaya! Dia memang menyayangiku!”

“Dia? Dia siapa?”

“Handi...” Angel memegang kedua tanganku, aku tau, kehangatan menjalar cepat menyembuhkan ketakutanku. “Apapun yang terjadi di hidupmu, itu yang terbaik.”

Aku sudah seperti orang kelewat bodoh karena tak memahami setiap inci kata-katanya. “Maksud kamu?”

“Selalu percaya, Dia sayang kamu! Seperti Dia sayang aku! Hidupku mungkin berakhir karena kanker ini, tapi Dia menawarkan hal yang lebih manis karena aku mempercayaiNya. Aku pantas mendapatkan ini. Dia memang adil!”

Aku jadi frustasi. Angel terlihat seperti melantur. “Maksud kamu apa sih??”

Tapi lagi-lagi ia hanya tersenyum. “Semoga kamu bahagia ya.”

“Ha?”

Tapi ia menghilang. Wujudnya berangsur-angsur samar seperti cahaya berkerlip. Samar lalu lenyap, tapi senyumnya masih terus melekat dalam benakku. Cahayanya benar-benar menghilang diterpa sinar oranye matahari. Hingga matahari sepenuhnya ikut menghilang, aku begitu dicekam kegelapan. Hatiku patah, berdarah-darah, parah dan akan sembuh dalam waktu lama, padahal hanya ditenggelamkan bahagia sekejap saja.

Belum lagi lututku lemas dan siap untuk ambruk, tiba-tiba kegelapan mengambil alih lagi. Aku menengadah, tak kutemukan bulan maupun bintang. Ini seperti kegelapan yang... familier.

Tapi ada yang berbeda. Di ujung jalan tempatku berdiri, ada setitik cahaya. Kakiku bergerak ke sana sekarang. Aku memacu lariku. Aku tak ingin lagi terjebak dalam kegelapan memusingkan ini. Aku harus pergi. Aku benci gelap. Jika aku sampai pada cahaya itu lalu kutemukan lagi pemandangan hamparan rumput yang luas, maka ada kemungkinan aku bisa bertemu Angel lagi. Sejak bertemu dia aku percaya, dengannya aku bahagia. Karena memang itu yang aku rasakan.

Aku terengah-engah, berulang-ulang tersandung, berlari tersaruk-saruk. Kegelapan ini sudah mirip lorong waktu. Tapi aku takkan menyerah. Akan kudapatkan lagi kebahagiaan yang nyaris jadi milikku...
Zlap!

Ternyata bukan hamparan rumput, tapi ruangan putih pucat. Bukan biru langit benderang, tapi langit-langit kusam. Badanku sakit semua, bukan pegal dan segar. Rasanya berat, dan ada sesuatu di hidungku. Alat bantuan pernapasan.

“Oh, Handi! Handi! Kamu sudah sadar??” Seseorang memekik dan merengkuh wajahku. Dari aromanya aku tau, ini ibuku.

Ibuku menatapku sumringah meski air mata berceceran di wajahnya. “Kamu koma sudah seminggu, Handi. Kamu membuat Mama khawatir!”

“Ini di mana?”
 
“Rumah sakit, Sayang. Kamu kecelakaan saat pergi dengan Hesti untuk ukur baju pernikahan kalian.”

Mataku membulat. “Sekarang, mana Hesti??”

Ibuku tak langsung menjawab keadaan calon istriku itu. Ia malah menunduk, menatapku saja enggan.

“Ma??”

“Hesti sudah dimakamkan 2 hari lalu, Sayang. Terima dia ya. Maafkan Mama,” ibuku merengkuh wajahku lagi dan menangis tanpa suara.

Aku begitu tegang. Aku sulit mencerna ini semua. Keheningan berlangsung lama karena ibuku masih terisak tanpa suara ketika televisi yang disetel di kamar ini akhirnya menggugah pikiranku. Sebelumnya, ibuku menyetel acara infotainment.

“Putri Edward Napoleon Fransiskus, raja negara Inggris, Angel Catrina Fransiskus meninggal dunia di usia dini akibat kanker tulang belakang stadium akhir. Sang raja baru mengetahui penyakit ini dari pihak rumah sakit beberapa hari lalu............”


@anggiiaaa

Komentar