Tulisan BANGSAT
Sedari tadi tidak bisa mengumpat BANGSAT dalam hati. Semula tidak percaya diri harus berkendara sejauh 5 kilometer lebih dari rumah tanpa helm butut satu itu. Tidak biasa membiarkan kepala jadi sebebas itu--alih-alih justru khawatir wajah yang bebas disapu debu polusi padahal sebelumnya diolesi skincare murahan. BANGSAT.
Pergi ke empat apotek dan menerima jawaban yang sama setelah menyebutkan nama obat. Sempat bersuudzon kalau Allah tidak berniat memberi sembuh tapi kok kupingku jadi berdenging, "Pendapatmu bahwa ada beberapa penyakit yang tidak perlu sembuh dengan obat itu benar". Eh. BANGSAT memang.
Lalu merasa terharu memandangi bapak berwajah cemas membeli ByeByeFever dan yang lain terlihat tergesa menenteng sekantong popok di stang sepedanya. BANGSAT, aku bahkan pesimis apa betul kelak aku bisa punya anak karena menganggap diri telah mengidap toksoplasma.
Dan lagi--apasih ini mas depan noleh ke belakang mulu, BANGSAT. Eh, setelah ditilik sedikit ternyata sepedanya memang tidak punya spion.
Aku memang tidak merasa badanku benar-benar sehat--kalau bukan masuk angin, haid, migrain, atau apalah itu juga sakit pikiran. Jangan memaksaku memberi perimeter mana yang bisa disebut sakit pikiran, BANGSAT.
Ada yang bilang bahwa aku punya bakat menulis tapi menyiakannya. BANGSAT. Memang. Barusan aku berpikir bahwa menjadi kasir Indomaret mungkin salah satu tujuanku nanti setelah lulus.
Jangan kira aku meniru mengumpat BANGSAT terus menerus karena Claufield yang sukses bikin Chapman menembak mati Lennon itu. Semua ini berawal dari perasaan insecure setengah mati setengah kekanakan mengenai malam Minggu.
BANGSAT.
NB: Tulisan ini dibuat di malam Minggu tepatnya tanggal 2 Maret 2019. Setelah lima tahun memutuskan kembali mengisi blog dengan bangsat bangsat bangsat yang agaknya jomplang dengan kepribadian terakhir yang terekam di blog ini.
Tapi... ah BANGSAT lah.
Komentar
Posting Komentar