Empat Setengah Jam

"Apa kamu gak bisa hidup selamanya?"

Ia cuma diam.

"Saya gak bisa bayangin jika saat seperti ini, saat saya tidak bisa tidur karena khawatir bangun nanti ada yang menatap mata saya langsung dalam jarak dekat, gak ada lagi yang nemanin saya.

"Gak ada lagi yang menoleh dalam kantuknya waktu saya panggil dan tidur mlungker seperti kamu saat ini di sebelah saya."

Ia lagi-lagi diam.

Mataku menggenang. Ia mulai memejamkan mata dan telingaku berdenging. "Sudah, yang penting sekarang kamu tidur."

***

Ternyata begitu bangun bukan sepasang mata nyalang memandangi, tapi seberkas cahaya matahari yang menelusup lewat ventilasi vertikal di depan pintu yang terbuka. Dan ia sudah tidak ada di sebelah.

Adik membuka pemutar musik dan lagu sendu ia putar sambil berbaring di kursi panjang. Aku meraih sapu dan debu berterbangan. Di lantai bawah orang-orang riuh pada pagi biasa.

Kakek sarapan bubur di meja makan dan nenek yang puasa tanpa sahur merajut di kamar. Ayah menolak mematikan kipas angin, kupinggirkan debu ke sudut. Ibu menata ulang jemuran yang sedari kemarin tidak diangkat.

Di kamar mandi aku menari balet kontemporer dan mosaik video abu terlampir wajahnya muncul di kepala.

"Siapa nama teman kamu, Kak? Yang kemarin mengantar?"

Aku diam sambil mencampur sabun colek dan air. Begitu cepat hari berlalu.

Aku mendengar ibu bicara agak keras, "Tolong belikan gelas kaca ya, nanti uangnya diganti."

Aku mengangguk diam memasukkan bekal ke dalam tas. Begitu cepat perasaan berubah.

***

Tempo hari saat pagi aku bertengkar dengan ibu, sore aku sengaja menulis pada spasi buku puisi Joko Pinurbo yang hendak dipinjam teman.

Alunan lagu yang begitu akrab terdengar. Suara samar kawan-kawan dari lantai atas bagai datang dari masa lalu.

Berdua saja. Dan berdua dari mereka pernah kasih lagu ini.

***

Jujur saja, aku bingung bagaimana menghadapimu empat setengah jam dari sekarang.

Komentar