Superhero Emejing

“Eh, Do! Arah jarum jam 2 posisi gue!”

Awalnya aku mengernyit tak mengerti mendengar bisikan dari Farhan barusan. Kami sedang ada di pom bensin, antrian di bagian premium padat sekali. Sudah panjang, mepet-mepet pula. Berhubung kami masih jauh di belakang, dengan nakalnya aku memainkan ponselku. Padahal sudah ada peringatan bahwa tempat ini salah satu tempat yang dilarang ada aktivitas ponsel, selain ruang kelas.

Tapi kuturuti kemauannya. Arah jarum jam 2 posisi Farhan, jadi aku harus berbalik badan, karena sekarang aku berdiri di sampingnya, menghadapnya.

Satu-satunya yang menarik untuk dilihat arah jarum jam 2 ini ternyata cuman seorang cewek yang berposisi sama denganku. Bedanya ia bersama ayahnya, di sisi dan menghadapnya. Ayahnya tinggal selangkah lagi untuk mendapat giliran mengisi tangki bensin. Cewek itu berkerudung, lumayan tinggi, dan masih mengenakan seragam putih abu-abu. Senyumnya lembut bak kapas, terlihat mencolok di antara hidungnya yang runcing dan pipinya yang putih pucat. Sepertinya ia sedang tersenyum saat berbicara dengan ayahnya.
Aku menoleh pada Farhan, lalu nyengir. Dasar ganjen. Bisa-bisanya ia curi-curi pandang di tempat seperti ini.


Farhan balas nyengir. Kumasukkan ponselku karena antrian mulai bergerak meski kami masih jauh dari giliran. Kubenamkan kedua tanganku ke dalam saku, ikut memperhatikan cewek itu. Ketika ayahnya melangkah maju dan membuka jok sepeda, ia mengikuti. Langkahnya lambat, ujung kerudungnya melambai-lambai ditiup angin sepoi-sepoi malam ini, begitu pula dengan ujung roknya. Jika sudah seperti itu gerakannya bak bidadari. Ia memegang kedua tali backpack-nya, terdiam menunggu. Dalam balutan seragam, ia begitu polos. Pasti ia tipe anak pendiam dan penurut. Atau mungkin, cenderung pasif?

“Kenapa? Lo mo coba minta nomernya?” tantangku pada Farhan.

Farhan mendengus pelan, tapi tak mengatakan apapun. Maka aku tertawa.

“Berani ama bokapnya tuh? Keliatannya, bokapnya garang gitu.”

Aku dan Farhan secara kompak kini mulai memperhatikan pria paruh baya yang sedang memperhatikan angka yang berkelebat cepat di mesin pengisi. Wajahnya kelihatan masih muda, kulitnya pun terlihat masih kencang, tetapi beberapa bagian rambutnya sudah memutih. Alisnya tegas dan bahunya tegap. Dalam balutan kemeja bergaris hijau muda serta matanya yang awas memperhatikan nominal bergerak dan bibirnya terbentang datar, ia terlihat sedikit garang.

Aku dan Farhan kompak meringis.

Ayah cewek itu sudah selesai mengisi, ditutupnya tangki bensin dan jok, dan ayah anak itu berjalan beriringan, siap kembali menjalani perjalanan menuju tujuan. Kulirik Farhan. Matanya terbesit sorot tanda perpisahan. Aku menahan tawa
.
Saat kami berdua melangkah maju, terdengar lengkingan jeritan. Bahuku tersentak, dan kepalaku celingukan mencari asal suara. Begitu juga Farhan. Jeritan yang cukup keras dan terdengar sumbang dan tabu, sehingga semua kepala yang ada di SPBU ini mengarah pada satu titik. Barulah aku tersadar, jeritan itu berasal dari mulut seorang ibu-ibu.

“Jambreeeeetttt!!!!!”

Ibu-ibu itu ada di pinggir jalan keluar dari SPBU, tangannya mengibas-ngibas, lehernya pasti tercekat erat sampai otot-otot hijaunya menonjol karena menjerit segitu kerasnya. Kakinya mengentak-entak, salah satu tangannya menuding satu arah.

Seseorang tak dikenal berlari ke arahku. Matanya menatap ke depan kelewat serius, seolah apapun yang akan menghalanginya bisa mati kutu saat menerima tatapannya. Kedua tangannya memeluk erat tas merah marun khas ibu-ibu. Ia berlari cepat menembus lengangnya jalan menuju pintu masuk SPBU. Wajahnya bersungut-sungut, jelas-jelas sangat berusaha keras.

Kupikir orang satu ini baru pertama kali mencopet. Mencopet di tempat seramai SPBU sekarang ini, dengan antrian panjang di bagian premium yang sedang dilewatinya saat ini, dan mengambil jalan masuk SPBU sebagai pelarian, bukanlah gagasan cemerlang.

Saat copet itu sudah ada di depanku, tanganku yang sudah mengepal ini tinggal dikomando saja untuk bergerak. Tetapi sesuatu yang keras menyentak tubuh sang pencopet, sehingga ia terjengkang ke belakang. Ternyata seseorang menjambak rambutnya dengan sadis dari belakang. Siapa orangnya itu, adalah alasan mengapa udara dingin malam ini tak hanya terasa di permukaan kulitku, tetapi juga di rongga mulutku. Ya, mulutku serta merta terbuka lebar.

Entah bagaimana caranya cewek berkerudung berseragam SMA itu sudah ada di depanku, menghajar copet habis-habisan. Padahal posisinya tadi berdekatan dengan sang ibu sebagai korban, di ujung SPBU yang lainnya. Matanya yang lembut kini berubah garang. Senyumnya hilang, terganti seringaian lebar melihatkan gigi-giginya yang berjajar saling merapat. Ujung kerudungnya ke mana-mana, roknya agak tersingkap naik karena ia membentangkan kakinya lebar-lebar sehingga aku bisa melihat ia memakai kaus kaki panjang. Dengan profesional cewek itu meninju pipi sang pencopet. Pencopet berusaha melawan dengan bangkit berdiri dan melayangkan satu tinju yang kelewat keras tapi tak terarah. Si cewek menghindar dengan luwes, kerudungnya berantakan sehingga ebebrapa helai rambutnya terjulur keluar.

“Heh, lo! Balikin nggak tasnya??!!!” sentak cewek itu garang, membuatku spontan bergidik.

Si pencopet mengarahkan tinju lagi, tapi rupanya, bak peramal, cewek itu sudah tahu sebelumnya. Ia menangkap tangan itu, membelokkannya ke arah lain, membuat kaku saraf si pencopet sehingga ia meringis kesakitan. Dengan satu gerakan cepat tapi lugas tangan cewek satunya lagi memukul tengkuk si pencopet. Si pencopet kehilangan daya. Ia ambruk tepat di depan moncong sepatuku.

Satu lagi hal dari pencopet awam ini selain salah memilih tempat; ia salah memperhitungkan teknik beladirinya. Dan mungkin... salah mengira siapa yang akan dilawannya.

Cewek itu cepat-cepat memasukkan lagi rambutnya di balik kerudung dengan jarinya. Ia menyentak tas merah dari pelukan si pencopet yang kepalanya penuh bintang kalau dikartunkan itu, menyeringai puas. Lalu dengan gerakan yang sama, dengan luwes ia berjalan. Gerakannya lembut, ujung kerudung dan ujung roknya melambai-lambai ditiup angin sepoi-sepoi. Langkahnya tanpa beban dan kalem, aku tahu di balik punggungnya, mata dan senyumnya merekah lembut, pada si ibu pemilik tas yang sekarang sudah ada di tengah-tengah SPBU.


Sejenak aku dan Farhan saling memandang, tapi lalu mengerjap-ngerjapkan mata. Penampilan benar-benar membunuh mata.


Komentar