You Must Go Move On
Mataku
terbuka dengan sendirinya---dengan sadar, bukan diingatkan---menatap
langit-langit kamarku yang usang. Setelah mengerjap-ngerjap beberapa kali, aku
menghela napas dan beringsut ke samping tempat tidurku, menggapai handphone-ku yang terlihat samar-samar
oleh lampu remang di atas meja. Lalu, kutekan tombol pengunci, mataku yang
masih sipit menatap angka yang tertera besar-besar di layarnya yang sengaja
kuseting rada gelap. Jam setengah lima pagi.
Aku mengambrukkan badanku lagi di kasur sambil menghela napas lagi. Dari lebar mataku yang belum sempurna, aku menatap kembali langit-langit kamarku. Pikiranku melayang kembali ke skenario-skenario gila yang terjabar dengan cepat di kepalaku tadi malam sebagai dongeng pengantar tidur.
Aku mengambrukkan badanku lagi di kasur sambil menghela napas lagi. Dari lebar mataku yang belum sempurna, aku menatap kembali langit-langit kamarku. Pikiranku melayang kembali ke skenario-skenario gila yang terjabar dengan cepat di kepalaku tadi malam sebagai dongeng pengantar tidur.
Lalu, aku tertegun sendiri. Kemarin
adalah hari yang panjang dan aku mampu bangun sepagi ini? Tumben sekali.
“Kana, bangun! Salat subuh!”
Kalau saja Mama tidak
berteriak-teriak nyaring dari dapur, sudah dapat kupastikan aku akan tertidur
pulas lagi.
***
Pagi
yang serabutan, seperti biasanya. Akibat hari kemarin juga, bangun sepagi
apapun aku tetap berpotensi terlambat sekolah. Aku jadi lelet mandi, makan,
berpakaian, dan lupa membereskan buku untuk besok. Derap langkah kakiku
terdengar menggema memijak kasar lantai rumahku, berlari kesana kemari, entah
mencari sepatu atau seragam. Negatifnya tergesa-gesa adalah, kau tak bisa fokus
bahkan untuk hal yang sepele.
Aku menatap kecewa seragam dan
sepatuku yang ternyata lembab karena kemarin, meskipun tadi sudah kulihat
Mamaku menyetrika kembali seragamku dengan setrika yang panas. Spontan, aku
mengendus keduanya. Ya Tuhan, bau apek!!
Mataku jelalatan mencari sebuah
botol kecil di meja rias milik Mama. Setelah kudapatkan, kupencet kepalanya
sehingga isinya tersemprot, menghiasi rok dan kemejaku. Setelah selesai, aku
mengendusnya lagi. Ugh, sepertinya aku salah mengambil parfum. Baunya menyengat
dan berlebihan sekali. Tapi, lumayanlah dari pada bau apek. Aku mengangkat bahu
dan langsung memakainya.
Aku berlari serampangan keluar.
Kusentuh lagi sepatuku, yang hasilnya nyatanya sama saja. Aku berlari kembali
mengobrak-abrik rak sepatu dan menemukan sepatu milik adikku yang sekiranya pas
untukku. Secepat kilat aku kembali lagi keluar. Aku sudah siap duduk dan
memakai sepatu, namun beruntung aku teringat aku belum meraih kaus kaki. Kutolehkan
kepalaku ke arah jemuran yang tak jauh dari tempatku duduk. Aku tak berminat
untuk memakai sepasang kaus kakiku yang tergantung di sana, karena akan sama
saja, kering tidaknya kaus kaki itu pasti baunya apek. Akhirnya aku berlarian
lagi ke dalam, mengaduk-aduk tas khusus kaus kaki bersih yang tergantung tak
jauh dari rak sepatu, menemukan dan memakainya, pamit, dan langsung memacu
sepeda motorku dengan berhasil membawa kabur handphone-ku beserta charge-nya.
***
Pagi
yang cerah namun tak secerah wajah dan hatiku. Hatiku sudah penuh dengan
serpihan atas cabikan dari hari kemarin.
Aku terus berusaha konsentrasi
menatap jalan dengan sekujur tubuh yang lunglai. Aku merasa malas menutup kaca
helm, sehingga entah mengapa cowok-cowok atau bahkan bapak-bapak bersiul ketika
berpapasan denganku. Apakah mereka tak menyadari sebagaimana hancurnya wajahku?
Aku benar-benar heran bisa-bisanya mereka menatap wajah dengan mata berkantung
sebesar kantung kangguru ini dengan senyum menggoda.
Hhhh... aku mengantuk sekali.
Satu-satunya yang ingin kulakukan jika aku lupa akan kewajibanku adalah tidur
pulas di rumah diiringi skenario gila di kepalaku.
***
Terlintas
di pikiranku, waktu begitu cepat berjalan, matahari kian cepat menyelesaikan
tugasnya, bulan begitu muram ditutupi awan mendung awal musim hujan ini. Begitu
cepat hari berganti, begitu cepat kita kembali bertemu wajah-wajah yang kita
kenal. Seminggu seperti satu hari. Di sela beratnya beban di punggungku,
diam-diam aku sungguh berharap satu hari lebih dari 24 jam.
***
Hari
ini hari Kamis. Aku selalu punya julukan untuk hari ini: Kamis kelabu.
Benar saja, saat masuk ke dalam
kelas, sosokku langsung dihadang wajah si killer Markus. Dengan malas, dan
terlihat menyeret langkah, aku berjalan menuju bangkuku di baris kedua dari
depan. Pantas saja kulihat dari jauh tadi, teman-temanku begitu anteng duduk di
bangku masing-masing dengan raut wajah yang sama di setiap Kamis, layaknya anak
TK yang gugup karena pertama kali masuk sekolah. Rupanya si killer sudah
datang.
Kamis kelabu, karena Kamis bukan
hari Rabu, Rabu hari menyenangkan sedangkan Kamis begitu membosankan. Rabu
diisi guru-guru yang kreatif dan mata pelajaran yang ringan (bahasa Indonesia,
Agama, Seni Budaya, dan Biologi). Kamis diisi guru-guru kolot yang notabene
sudah lama tinggal di tanah keramat sekolahku dan mata pelajaran yang sungguh
ingin membuatku membenturkan kepala di tembok (Fisika, Kimia, Matematika, IPS).
Mata pelajaran yang puyeng dengan mood-ku yang tak sesuai.
Pak Markus---dengan gayanya yang
khas---mulai membacakan soal nomor satu. Ups, aku tertinggal karena melamun.
Setelah tanya sana sini, rupanya beliau mengadakan ulangan dadakan. What a wonderful step!
“Baik, Nona Kana. Sudah selesai
kasak kusuknya setelah sekian lama melamun?”
Hatiku mencelos. Seandainya aku bisa
melempar keluar kacamata lebar bulat itu, pasti beliau takkan memperhatikanku.
Tak hanya itu yang membuatku
menderita. Setelah kupastikan aku masih memiliki rambut di kepalaku setelah
kupikir kepalaku gundul diserbu 15 soal Fisika ala Pak Markus, penderitaan
berikutnya datang. Bu Hafizah. Guru yang wajahnya 5 tahun lebih tua dari
umurnya ini melangkah masuk setelah sebelumnya mengucapkan salam. Beliau
langsung duduk di kursinya, membeberkan alat “perang”-nya di meja, mengacungkan
“sebilah” spidol, menulis atau lebih tepatnya mencoret-coret papan tulis dengan
angka.
Saat beliau mulai menjelaskan apa
yang ia kreasikan di papan, kudengar kelas sunyi senyap. Tak ada sahutan ketika
beliau bertanya. Aku jadi heran sendiri. Meski pertanyaan yang diajukan beliau
terbilang dasar, yang menjawab biasanya pasti hanya satu orang. Dan aku tak
mendengarnya hari ini.
Lalu, kutepuk dahiku sendiri dan
nyengir. Pemilik suara yang duduknya tepat di depanku ini tak hadir. Seisi
kelas tahu, bahwa Kelly adalah “anak” Bu Hafizah. Ia satu-satunya yang betah di
kelas beliau, menjawab pertanyaan-pertanyaan beliau, dan sukses membuat wajah
kaku itu tersenyum. Bahkan Bu Hafizah menatap Kelly dengan mata penuh
pendar-pendar cinta! Namun, Kelly sedang absen hari ini.
Aku hampir mati bosan. Ada dorongan
dalam diriku untuk bertahan mendengarkannya demi nilaiku, tapi aku
sungguh-sungguh jenuh.
Aku geregetan melihat beliau masih
bertahan di mejanya. Andai ia bisa baca pikiranku bahwa aku nyaris mati bosan
dan tak ada satupun dari kami di kelas ini---kecuali Kelly tapi ia sedang
absen---menaruh perhatian untuknya. Kami sungguh jelas terlihat tidak tertarik,
namun beliau tak juga peka.
Terpaksa kutenggelamkan diriku ke
dalam kata-katanya dengan setengah perhatian yang tersisa.
Saat aku nyaris terlelap, seisi
kelas kompak menghembuskan napas lega karena Bu Hafizah jenuh menjadi kacang
gara-gara Kelly absen, keluar kelas sebelum bel dibunyikan.
***
Aku
nyaris tak dapat menghela napas. Jaketku kurapatkan serapat-rapatnya di
tubuhku. Sekujur tubuhku serasa beku, tak hanya tubuhku, napas dan air mataku
juga terasa beku hingga tak dapat keluar lagi.
Sementara Aris terus mengeluarkan
kata-kata menyayat itu dari mulutnya, kini perlahan telingaku yang membeku. Aku
telah tak sanggup mendengar kata-katanya lagi. Sampai langitpun berpihak
padaku; hujan serasa maskin deras jatuh, petir menyambar-nyambar serempak
dengan kata-kata ajaibnya seperti putus, hilang, lenyap, dan sebagainya. Tapi
ia seolah maju tak gentar.
Berdasarkan pertemuan curhat kami di
terminal tempo hari, yang terputus karena angkutan umum yang mengantarnya telah
datang, ia terus mengejarku untuk mendengar lanjutan ceritaku. Ia begitu ajaib
sehingga dapat memancingku bercerita tentang hal yang paling privasi yang telah
kutekadkan takkan mengatakannya pada siapapun. Namun, mual yang selama ini
kutahan akhirnya keluar juga. Puyer pahit yang mati-matian kutahan akhirnya
tumpah juga.
Seiring waktu yang kupakai untuk
memendam my real story yang cukup
lama itu membuat gumpalan beku menyesakkan itu keluar dengan total, hingga
sungguh menguras energiku. Aku mengatakannya kepada Aris dengan suara tertekan,
tenggorokanku tercekat, dan aku menahan air mataku mati-matian. Aris, dia
pendengar yang baik, menungguku mengungkapkan semuanya sampai habis dengan
tanpa menyela kata-kataku yang sebenarnya terlalu banyak jeda karena aku
tergagap.
Aku agak tersanjung, sampai
segitunya Aris ingin tahu hidupku. Kupikir ia memang ingin tahu, tapi caranya
mengejarku itu berarti ia bukan hanya ingin tahu, tapi ingin mengerti. Ia ingin
ikut tenggelam bersamaku, menunjukkan padaku bahwa aku tak sendirian setelah
sekian lama kenyataan itu bermain-main dengan diriku sendiri. Aku sungguh
terharu. Aris benar-benar datang padaku saat kubutuh tanpa kuminta. Ia begitu
penasaran apa yang begitu mengganggu hidupku hingga aku selalu ingin sendirian.
Di sore itu, dia sebenarnya
memberiku saran yang membangun, tapi kata-katanya begitu mengena. Mungkin, itu
sebenarnya yang aku butuhkan; teguran, karena kenyataan itu kutelan sendiri,
maka takkan ada yang menegurku.
Sebenarnya, aku punya beberapa
sahabat. Tapi Aris tak seperti Ramli yang humoris dan menghibur, tapi ia jauh
tinggal di sana, pindah saat kami lulus SMP. Aris tak seperti Galih yang cerdas
dan dewasa, tapi sepertinya ia sibuk akan hidupnya sendiri. Aris tak seperti
Miko yang dewasa, motivator, inspirator, tapi ia tak seinisiatif Aris.
Satu kalimat yang kucerna dari Aris,
“katakan pada Riko pacarmu: bahwa kamu bukan Kana yang dulu lagi. Riko pernah
memprotesmu untuk bersikap dewasa, bukan? Maka, sewaktu Kana masih labil itu
dengan mudah dibodohi, diperdaya Riko. Sekarang, Kana sudah dewasa dan mulai
sadar bahwa ia ditipu, dibohongi, dikerjai. Jadi, Kana hanya ingin, tolong
Riko, lepaskan Kana...,”
***
Mulutku
terkunci. Kemelut kisah dan berbagai kalimat bijak di kepalaku berlalu lalang
tanpa henti. Hanya berlalu lalang. Artinya yang bagus itu seakan-akan tak ada
artinya. Hatiku sudah beku.
Hidup, duniaku, seakan-akan berlalu
tanpa ada sesuatu yang baru. Itu-itu saja. Riko-Riko saja. Terlalu monoton.
Menghadapi hari Kamis dengan hati yang bernanah berulang-ulang. Aku selalu
sayang, waktu terbuang sia-sia.
Riko-Riko-Riko. Duniaku hanya
berputar-putar di satu sosok itu saja. Ia tak memberiku kunci untuk keluar dari
penjaranya. Ia seakan tak membiarkanku bebas. Aku sudah lupa akan kesempatanku
atau kelebihanku untuk bisa menulis hidup dengan orang lain sejak saat bertemu
dengannya. Aku bosan, suntuk, lelah, letih, lunglai, dan mungkin segala jenis
gejala penyakit anemia lainnya dapat mendeskripsikan perawakanku sekarang.
CAPEK!
Aku benci hidupku yang monoton. Aku
ingin berkembang. Aku ingin melangkah maju, bukan terus menoleh ke belakang
sambil gigit jari. Aku ingin menjadi pemain, bukan penonton. Aku ingin berdiri
dan bergerak aktif, bukan duduk manis tanpa hasil. Aku ingin ada perubahan.
Titik!
Riko, Kana hanya ingin, lepaskan
Kana...
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar