Stay High, My Dreams
Semua
orang punya skenario gila atau bahkan liar di dalam pikirannya.
Di hari Minggu yang bosannya nyaris
monoton ini aku mendengarkan lagu dari earphone-ku
sambil menyanyikannya keras-keras. Aku punya dua alasan mengapa aku begini: 1).
Sebagai pelarian karena aku telah mengirim pesan singkat bodoh untuk pacar atau
lebih tepatnya mantan pacarku (karena sejauh ini aku selalu merasa aku masih
satu alias sendiri), 2). Karena tak ada kegiatan lain yang bisa kualakukan di
hari Minggu mendung ini karena listrik padam. Aku merasa seperti makhluk lumpuh
jika listrik mati alias padam alias tidak ada. Oke, kau boleh bilang aku tipe
orang yang tidak bersyukur apa adanya.
Berbagai skenario gila itu mulai bermunculan di pikiranku seiring mengalunnya nada-nada tak asing dari earphone-ku. Bahwa ketika aku sedang tidak waras seperti ini, tiba-tiba Harun sudah bertengger di daun pintu kamarku, geleng-geleng sambil mesem melihat tingkahku yang lebih mirip orang histeris kehilangan rumah karena terbakar.
Berbagai skenario gila itu mulai bermunculan di pikiranku seiring mengalunnya nada-nada tak asing dari earphone-ku. Bahwa ketika aku sedang tidak waras seperti ini, tiba-tiba Harun sudah bertengger di daun pintu kamarku, geleng-geleng sambil mesem melihat tingkahku yang lebih mirip orang histeris kehilangan rumah karena terbakar.
Sepintas, aku heran sendiri mengapa aku malah memikirkan atau bahkan mengharapkan Harun yang sudah punya pacar itu ketimbang Taufik pacarku (oke, mantanku). Memang, sekitar waktu peralihan hidupku gara-gara Taufik ini Harunlah yang paling care denganku, dan aku sudah cukup mati rasa untuk memikirkan atau mengharapkan kedatangan cowok yang sudah berkali-kali putus-sambung denganku itu.
Mengingat bahwa betapa liarnya
pikiranku menjamah pacar orang (tapi masih ada kemungkinan untuk terjadi dari
pada pacar setengah mantanku---maafkan aku soal ini, yang sedikit-sedikit
berubah ucap karena aku sendiri bingung harus
menjuluki Taufik dengan julukan apa), imajinasiku itu kubiarkan
berkelana ke tingkat yang lebih tinggi, yang di mana aku tau, sulit untuk bisa
menjadi nyata. Bukan Harun lagi, tapi Bian. Biar kujabarkan dulu; positifnya,
dia bukan pacar orang. Dia single.
Negatifnya, dia cowok cool, postur
tubuh wow, dan paras wajah double
wow, serta otak yang saking pintarnya mungkin otak yang sedang bersarang di
kepalanya itu milik Einstein. Sebenarnya itu sisi positif Bian, bukan? Namun
itu dampak yang sungguh negatif dalam imajinasiku jika dihubungkan dengan aku
yang sungguh serba biasa. Beda dengan Bian yan punya julukan serba luar biasa
itu. Kami memang saling kenal, tapi kami jarang sekali ngobrol. Kami tak begitu
akrab. Walau begitu, sudah kubayangkan bagaimana pemandangannya jika Bian
berada di posisi Harun tadi.
Wajahnya akan tidak semenyenangkan
Harun saat melihat aku yang sedang norak ini. Sudah mulai terpampang jelas di
pikiranku bahwa ia akan bertampang ngeri, jijik, atau lebih parahnya lagi ia
akan mengambil ekspresi super datar, tak mau tahu, dan tak menganggapku ada.
Yang semakin menguatkan argumenku
bahwa khayalan itu benar-benar khayal adalah sudah menjadi bukti nyata bahwa
Bian takkan datang kepada seseorang jika karena ada keperluan mendesak atau
penting, kecuali kalau ia benar-benar kangen padaku. Wueeekkkk!!!
Oh, ironi, lihatlah, aku meringis
sendiri.
Earphone
di kedua telingaku mulai mendengarkan lagu Paramore yang berjudul “Ignorance”.
Sudah cukup menghayal tentang cowok orang maupun cowok superstar sekolah. Aku
harus menghentikan imajinasiku bermain-main dengan sosok Bian, karena
takut-takut pikiranku benar-benar menggila.
Saat vokal sang vokalis terdengar,
pikiranku melayang pindah ke tempat lain, tempat di mana imajinasiku pernah
singgah. Jadi sedikit nostalgia, saat masih duduk di bangku SMP, saat pertama
kali mengenal grup band Paramore, sang vokalis, Hayley William seolah
menunjukkan kepadaku betapa luar biasanya menjadi musisi. Dia membuatku semakin
cinta lewat suara merdunya, dan membuatku semakin yakin memasukkan kata musisi
dalam daftar cita-citaku. Dia membuatku begitu ingin seperti dia, seenerjik
dia, seberkilau dia, secantik dia, sekeren dia, selincah dia, semerdu suaranya,
dan sesakti dia membius dan menyihir siapa yang melihat akan berbinar-binar
matanya dan menyeruakan namanya ketika ia beraksi di atas panggung maupun di
layar YouTube lewat video klipnya. Oh... sungguh-sungguh aku ingin seperti dia.
Pernah suatu kali kewarasanku
kembali hilang atas pelarian sesuatu yang tidak menyenangkan seperti saat ini.
Dengan dasi sekolah yang mengikat kepala layaknya seorang pejuang, aku
bertingkah seperti Hayley, bernyanyi berjingkrak-jingkrak sana-sini, wara-wiri,
mengibaskan tangan sana-sini, menunjuk-nunjuk orang-orang yang melihatku (yang
kuanggap sebagai penggemarku dalam imajiansiku, meski terlihat di wajah mereka
bahwa mereka setengah sadar setengah percaya bahwa mereka di tempat yang benar,
bukan rumah sakit jiwa) sebagai tanda aku begitu menghayati lagunya,
memberitahu seakan memaksa mereka ikut bagian peran dalam lagu yang
kunyanyikan, lengkap dengan sapu ijuk yang kupergunakan ganda; kadang sebagai microphone, kadang sebagai gitar
elektrik. Tak lupa, selain berlagak menjadi penyanyi seprofesional Hayley, aku
juga berlagak menirukan gitaris handal dan keren Dave Farrel “Phoenix”. Hal itu
aku lakukan tak hanya di rumah, tapi juga di sekolah dan lebih tepatnya di
kelasku.
Aku lompat sana sini, mengibas-ngibaskan
rambutku seperti Hayley mengibaskan rambut merahnya di video klip
“Decode”---walau aksiku lebih mirip hendak menyabet orang dengan ujung rambutku
yang lincip. Suara cemprengku sontak memenuhi segala ruang kamarku atau kelasku
saat melantunkan lirik demi lirik lagu favoritku dari Paramore.
Aku juga pernah bermimpi menjadi
pemain drum handal, sekeren, sefantastis, seenerjik Alm. James Sulivan atau The
Rev dari Avenged Sevenfold. Atau bahkan sebrutal pemain drum Lamb Of God, aku
juga pernah bayangkan. Dengan lihainya memukul-mukul bagian-bagian dari drum
mengiringi sebuah lagu, I think that is
so cool!
Aku juga pernah mempraktikannya.
Entah di rumah---kali ini di dapur---atau di ruang kelasku. Di kelas, tak ada
yang bisa menghentikanku jika hanya satu-dua orang yang protes. Kalau satu
kelas sudah kompak berseru, barulah aku berhenti sambil nyengir. Tapi ketika di
dapur, aku takkan berhenti jikalau ditegur Mama atau ada suara “klontang”
memekikan telinga, dan diikuti suara Mama, “Gina!! Panci mana yang jatuh?” dak,
duk, dak, lalu terdengar suara langkah kaki Mama yang kontras sekali terdengar
tergesa-gesa dan panik dengan ritme cepat menghambur ke dapur. Sambil menatap
lantai dan memegangi kepala dengan kedua tangannya. Sementara aku nyengir kuda,
Mama menjerit histeris, “Ginaaaaa!!! Itu panci belum lunaaaaassss!!!”
Jadi buka aib deh.
Terkadang, saat naik angkutan umum
atau berjalan di trotoar dan bertemu orang atau anak-anak kurang mampu,
kepalaku langsung memutar kata-kata Mamaku, “Sedari kecil, kamu itu harus
belajar prihatin, biar tidak terlalu terlena dengan kehidupan dunia dan
senantiasa bersyukur!”
Mendengarnya kembali, aku jadi
berimajinasi memiliki suami kurang mampu. Betapa susahnya mencari nafkah,
betapa lelahnya berjuang untuk sebutir nasi, dan harus bersabar setiap kali
belum ada makanan saat waktunya makan.
Lalu, aku membayangkan Bian lagi.
Kalau suamiku itu Bian, aku rela deh. Hooeeekk! (lagi).
Tapi, sungguh,
aku juga tidak meminta.
Omong-omong,
dalam praktek imajinasiku menjelma menjadi superstar mengundang berbagai
kontravensi (ciah!), maksudku, reaksi. Mereka mulai menyorakiku, “orang
gilaaaaaa!!” atau “segera cari obat di tasnya, Gina kumat,” dan saat
benar-benar salah seorang mengubek-ubek isi tasku, kemudian ia berkata, “Udah
habis obatnya! Kita perlu beli lagi di RSJ terdekat!”
What a wonderful statement!
Tapi
atas reaksi-reaksi di atas, aku malah menyambutnya dengan tebar pesona, kiss bye sana-sini dan dadah-dadah ala
Miss Univers, seolah mereka bukan sedang mengejekku, tapi mengelu-elukan
namaku. Tentu saja, langsung terdengar gelak suara muntah secara kompak. HOEK!
Tapi,
satu yang kusesali, aku tak bisa sebrutal itu sebutek apapun otakku, sesesak
apapun napasku, saat di dekat Bian. Aku mendadak jadi kaku dan jaim, yang tak
pernah kuketahui alasannya. Aku jadi merasa takut ia ilfil padaku, yang padahal
jelas-jelas cowok macam dia bagai menggapai bulan untukku. Tak mungkinlah! Aku
memang pernah berimajinasi menjadi pacarnya, entah itu dalam wujud kami saling
tatap-senyum mesra layaknya Harry dengan seorang cewek di video
klip “What Makes You Beautiful” milik One Direction. Atau Justin Bieber-Selena
Gomes di “Baby”. Atau Pasha dengan (sapa ya? Aku lupa) di video klip “Tercipta
Untukku” milik Ungu Band. Namun saat melihat reaksi Bian terhadapku yang tak
pernah menampakkan kemajuan, impian itu jatuh begitu saja. Aku juga tak terlalu
yakin atas rasaku terhadap Bian itu suka atau sebatas kagum. Karena sejauh ini,
meski tersakiti, aku masih selalu merasa hatiku masih milik Taufik. Dan jangan
tanya juga berapa kali aku berimajinasi dengan Taufik dan berapa kali aku jatuh
karena tak terwujud.
Karena
kebiasaanku berimajinasi seperti ini, aku jadi menjadi biasa saja saat
imajinasi itu tak menjadi nyata. Sering bukan berarti terbiasa, rasanya masih
sama di setiap waktu. Biasa di sini mungkin artinya aku lebih cepat pulih saat
terjatuh. Tapi aku tak pernah bisa berhenti bermimpi. Aku malah semakin
keranjingan bermimpi, tak peduli jadi nyata atau tidak.
Namun
kalau aku benar-benar menyukainya, aku takkan berpikir dua kali untuk berusaha
mewujudkannya.
Kau tau,
saat kau bermimpi, berimajinasi, skenario-skenario itu terjabar dalam otakmu
tapi terhubung di hatimu. Kau merasa seperti ikut senang juga meski itu khayal.
Kau merasa akan merasakan apa yang kau rasakan sesungguhnya bila suatu saat
akan terjadi. Seperti menjadi penghibur diri sendiri. Itu positifnya.
Negatifnya, kau merasa akan bahagia hanya dalam impian, selalu menyayangkan
kenyataan yang bertolakbelakang. Hidupmu hanya dalam impian.
Namun
ingatlah selalu, bahwa, hidupmu di dunia. Impian hanya sesuatu yang mengecoh
hidupmu. Dapat melukaimu, juga dapat memacumu.
Positif sajalah.
Aku akan
tetap bercerita tentang imajinasiku yang lain, kalau saja Mamaku tak berteriak
menyuruhku berhenti dan lekas mandi. Hehehe
Ya, aku
memang suka bermimpi!
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar