I'm Stuck!
Seketika
segala harapan yang ada, sesuatu yang diimpikan untuk terjadi hancur layaknya
batu yang dilemparkan ke cermin. Hancur. Tak berbentuk. Layaknya bekas kertas
berlumuran bensin yang disambar api. Hangus. Lenyap. Tak dapat dikembalikkan
lagi. Menjadi abu yang lemah tak berdaya dan terabaikan.
Harapan
untuk memiliki masa depan yang bahagia bersama dengan satu-satunya orang yang
kucintai selama ini. Segala imajinasi yang terbayang-bayang selama dia masih
bersamaku. Segala rengkuhan, sorakan kegembiraan, bahkan kesedihan yang
seketika menjadi anugerah saat bersamanya, membuatku terbuai dan terlena. Saat
semua yang kuimpikan itu dia masih menjadi milikku. Milikku. Hanya milikku.
Namun sekarang, imajinasi itu hanyalah imajinasi, harapan itu hanyalah harapan, dan mimpi itu hanyalah mimpi. Hanya sebuah kata padat yang sampai kapanpun takkan pernah menjadi sebuah fakta. Sebuah kebenaran. Sebuah kenyataan. Sehingga nyatanya yang membuatku bahagia adalah bermimpi bersamanya.
Namun sekarang, imajinasi itu hanyalah imajinasi, harapan itu hanyalah harapan, dan mimpi itu hanyalah mimpi. Hanya sebuah kata padat yang sampai kapanpun takkan pernah menjadi sebuah fakta. Sebuah kebenaran. Sebuah kenyataan. Sehingga nyatanya yang membuatku bahagia adalah bermimpi bersamanya.
Ketika seorang makhluk Tuhan menciptakan sesuatu yang ajaib pada diri ini tanpa tau kapan datangnya, dimana dan mengapa. Dan tak bisa dihindari. Dari caranya berbicara, melangkah, bergerak, dan senyumannya, tanpa disadari ia telah layaknya mencampur dua cairan kimia yang menimbulkan suatu reaksi. Tubuh serasa beku, siklus pengeluaran sisa metabolism yang salah satunya disebut keringat produksinya mendadak pesat, hati dan otak hanya memutar segala tentangnya. Dia rasa-rasanya memiliki suatu magnet dalam tubuhnya, sehingga mata tak hentinya berhenti mencari atau melihat sosoknya. Seolah-olah dia satu-satunya kebahagiaan dalam duniaku.
Sebagaimana
pula ia seperti memiliki remote control
yang mengendalikan otot-otot tubuhku; ikut tersenyum saat ia tersenyum, sedih
saat ia sedih, menghampirinya saat ia diam. Seakan-akan kami jadi satu. Jadi
satu yang utuh. Benar-benar utuh.
Dan
sebagaimana pula ia seperti memiliki alat setrum jantung dokter yang
transparan. Keindahannya membuat jantung ini memacu geraknya lebih cepat, cepat
hingga rasanya tak sanggup lagi. Dan akibat dari itu semua, perwujudan konyol
untuk hanya memberitahukan bahwa aku masih bernapas dan masih normal---diam
terpaku, ternganga; salah tingkah. Sikap kikuk yang terkadang membuatku
khawatir.
Tuhan
sepertinya mendengar doaku. Penderitaan-penderitaan di atas tidak hanya kualami
sendiri. Dia juga mengalaminya! Terhadapku, ya terhadapku!
Tau
bagaimana rasanya? Hatiku seakan hafal dengan tarian sekelompok semut saat
menemukan berlimpah butiran gula pasir jatuh ke tanah. Otot wajahku serasa
pegal tersenyum sepanjang hari.
Namun...
Tuhan punya kata-kata lagi. Entah apa itu, yang jelas dia dan Tuhan membuat
suatu guncangan dalam hidupku. Yah, mimpi itu nyatanya hanya sesaat. Layaknya
serial sinetron yang berhenti di tengah episode. Episode-episode yang telah
direncanakan tak dapat dilanjutkan. Dan episode-episode itu mimpiku. Mimpiku
dengannya. Kini pangeran-lah yang meninggalkan Cinderella. Dan pangeran takkan
pernah mencari Cinderella kembali...
Saat
aku berfikir bahwa aku adalah manusia paling terpuruk di dunia, suatu sudut
hatiku yang lain menyerukan bahwa aku manusia paling bodoh karena merasa
seperti itu. Andai kau mengerti apa yang ku rasakan ini, apa yang akan kau
lakukan? Bisakah kau ceritakan itu padaku? Aku butuh itu. Aku tersesat. Aku
terjebak dalam seperti labirin kata-kata manisnya.
Dalam
senggang waktu yang lama setelahnya, ia dapat menarik ulur perasaanku layaknya
layangan, mengombang-ambingkanku dalam suatu ketidakpastian namun selalu ku
tunggu. Sebagaimana ia menorehkan, melukis suatu gambaran pedih namun nikmat di
sela air mataku yang mengiringinya, sekaligus senyum tak jelas makna yang
kuulaskan selagi ia melakukannya. Dia begitu sakti, hingga dalam diamnya seni
itu berulang-ulang ia usik; membuatnya basah, lalu kering, lalu basah kembali.
Hingga akibatnya aku begitu tertatih, bahkan langkahku terlalu rapuh untuk
disebut sebagai langkah.
Dan
sebagaimana ia mampu membuatku menjerit dalam diam, menangis dalam senyuman,
dan tawa dalam tangisan. Seketika ia membalikkan, menjungkirbalikkan duniaku
semudah ia bernapas. Sungguh sentuhan ringan namun cukup kena dengan akhir yang
tak bisa kupastikan.
Karena
telah akrab dengan air mata, aku membiarkan keturunannya keluar dari kelopak
mataku, menyelusuri kulit pipiku hingga lenyap di bibirku atau mengering di
leherku. Aku curiga sekaligus penasaran berapa jumlah keturunan air mata dalam
diriku. Atau kesaktian orang itu tanpa sadar mencetak lebih banyak keturunan
air mata? Aku tak begitu tau pasti. Yang aku tau, mereka keluar dan jauh saat
aku meratapi sosoknya. Terkadang mereka keluar bermain-main saat bibirku
komat-kamit mengucapkan janji-janjinya. Aku tak tau kapan mereka akan berhenti
beraksi saat aku meratap. Tapi, di salah satu sudut hatiku berteriak agar hal
itu tak terjadi. Karena sejatinya, mereka satu-satunya teman saat luka itu
menjerit. Ya, teman. Akrab. Kami memang akrab.
Senyumnya,
tingkah lakunya, segala aksinya. Hal yang paling aku dambakan dalam mengisi
hari-hari yang sebelumnya monoton, meski aku bukan salah satu bagian lagi di
hidupnya. Menangkap bayangannya dalam sorotan mataku saja, mampu membuatku
tersenyum sepanjang hari di atas luka setiap mengingatnya.
Mataku
belingsatan mencari sosoknya yang selalu ku tunggu di awal hariku. Hatiku
gelisah mencari senyumnya yang selama ini kuklaim sebagai kebahagiaan.
Pikiranku tak pernah berhenti berputar mencari cara sebelum hal itu terhenti.
Aku merindukannya.
Namun,
satu hal yang mampu membuatku bertahan dalam setiap karya yang dibuatnya, suatu
kalimat sederhana, dituliskan dan diungkapkan dalam waktu singkat,
penjelasannya membutuhkan waktu, dan pembuktiannya seumur hidup. Aku
mencintainya.
Entah
sampai kapan aku mengeluarkan energi yang sia-sia untuknya. Mengorbankan
perasaan yang tulus untuk orang yang bahkan tak peduli. Mengorbankan air mata
dan waktu selama detik-detik dalam hidupku kian berjalan. Sampai kapan mata dan
hati ini kelabu. Sampai kapan hari yang sebelumnya cerah menjadi suram. Sampai
kapan aku berhenti dalam langkahku mengarungi hidup dan lebih memilih menoleh
ke belakang daripada melanjutkan langkah dan menghadap tegak ke depan. Aku
buta. Bagiku, jalan ke depan terlihat lebih gelap daripada jalan di belakangku.
Padahal sebenarnya, yang menghitamkan jalan ke depan adalah bayang-bayang dari
belakang.
Entah
sampai kapan aku berhenti hidup dalam angan. Hidup dalam mimpi bahwa serpihan
masa lalu itu akan mengalami reinkarnasi. Atau minimal déjà vu. Entahlah. Yang jelas, aku merindukannya. Merindukan segala
tentangnya, termasuk tentang “aku dan dia” menjadi “kita” di masa lalu---masa
yang takkan pernah kembali.
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar