Aku Senang Aku Kembali



        “Huaaah!” erangku pasrah sambil merentangkan kedua tangan ke atas dan nyaris saja menguap. Aku menemui jalan buntu, gang buntu, segala sesuatu yang buntu membuat otakku buntu. Kepalaku pusing memikirkannya. Aku menatap kertas-kertas yang dikliping rapi itu dengan tatapan nelangsa.
     Kembali ditolak. Memang baru pertama kali ini aku berhadapan langsung membicarakan ini dengan beliau---atasanku---soal acara yang teman-teman dan aku buat. Meski telah kesekian kalinya tulisan nyaris monoton itu tercetak; dibicarakan, ditolak. Tapi kali ini, aku agak bisa bernapas lega. Ya, setidaknya kali ini ada perkembangan. Tapi kami harus mengubahnya lagi, sementara kami dikejar deadline dan sekarang sedang berpusing-pusing ria memikirkan jalan keluar.
Kualihkan pandanganku ke sepenjuru ruangan yang kupijak kini. Penghuninya terpisah dan beraneka macam; kelompok di depan ruangan riuh renyah dengan candaan, kelompok sisi kiri berwajah tegang menguras otak, kelompok sisi kanan sedang mengadakan rapat kecil, sedangkan kelompok yang berada di dekat pintu lebih banyak diam menonton salah satu dari mereka yang mengoperasikan sesuatu di laptop. Aku makin nelangsa sekaligus ngeri bahwa aku tergolong kelompok sisi kiri. Untuk saat ini.
Lalu, terdengar sorakan yang isinya gelombang suara kekehan. Aku merasakan setiap kepala di ruangan ini---termasuk kepalaku---tergerak kompak mengarahkan pandangan ke kelompok sisi depan yang rupanya menciptakan kehebohan barusan. Tak satupun dari kami mengerti apa yang sedang mereka hebohkan. Karena ketidakmengertian itulah, sebagian kepala kembali membenamkan diri dalam aktivitas awal dan sebagiannya lagi mencurahkan berbagai pandangan; sinis---karena merasa tengganggu, melongo, penasaran, dan ikut tersenyum. Setelah pandangan itu dicurahkan selama sekian detik, mereka bergabung kembali ke kelompok, entah atas kesadaran sendiri atau pegal, entah karena ditegur oleh yang lain. Semua kecuali aku. Aku masih memandang kelompok itu dengan melongo untung lebarnya tak maksimal.
Aku memandang Anna. Cewek berbadan mungil itu memandang teman-teman lainnya yang sedang melontarkan lelucon dengan masih mempertahankan senyum semanis madu di wajahnya yang oval dan berdagu lancip. Semakin membuat wajahnya imut selaras dengan perawakannya yang mungil dan lincah.
Anna. Sewaktu masa-masa uji lalu, ia terkesan pribadi yang diam. Tapi diamnya itu emas, sehingga mengantarkannya menjadi orang penting di perkumpulan ini. Saat perkumpulan ini terbentuk, ia bermetamorfosis menjadi cewek periang, bahkan lama-kelamaan tingkahnya jadi berlebihan. Alias lebay. Maka, ia menjadi sasaran kejahilan teman-teman lain dan berakhir dengan tampang cemberut Anna yang justru lucu dan kekehan yang berhasil mencetaknya di wajah Anna.
Mengapa sebegitu cepatnya ia berubah? Masa uji belum ada satu bulan berlalu. Apa ia punya alat perubahan cepat kilat seperti yang dimiliki Power Rangers, Ultraman, atau superhero lainnya?
Tanpa sadar aku nyengir.
Terdengar sorakan gembira lagi dari kelompok Anna, namun aku malah memalingkan wajahku ke kelompnk lain. Kali ini tepatnya kelompok sisi kanan. Sebagia besar yang ada di kelompok itu tak kukenal dan aku tak tau mengapa malah memandangi Effendi yang menatap lurus-lurus salah seorang dari kelompok itu yang sedang menjelaskan sesuatu. Dari ekspresinya, ia fokus, serius, konsentarsi penuh, dan aku nyengir karena ia nyaris tak berkedip memandang temannya itu. Yang kebetulan cewek. Kalau aku jadi cewek itu, entah konsentrasiku masih terjaga atau lenyap karena aneh rasanya dipandangi seperti itu saat berbicara. Pandangan Effendi itu menurutku kelewat serius.
Effendi punya segudang kelebihan menyempurnakan wajahnya yang di atas rata-rata dan postur tubuh yang ideal. Ia ramah, penyabar, baik, rendah hati, dan lain-lain. Yang selalu ingin kucontoh atau bahkan kucuri darinya adalah sifat rendah hati yang ia miliki terhadap segudang kelebihannya itu. Selain itu, ia juga cerdas. Aku khawatir ia bosan terhadap gelar juara kelas yang lama akrab dengannya.
Tanpa sadar aku tersenyum bangga padahal aku bukan siapa-siapa Effendi.
Mataku tergerak memandang kelompok tenang yang ada di ujung sana. Dan mataku menangkap sosok Senna di sana. Cewek berpostur tubuh tinggi semampai, mata sebulat bola pimpong dan seperti manik-manik hitam, rambut sehalus sutra yang terurai panjang dan lurus, sertab wajah innocence jika dipandang sekilas ia sedang tersenyum tipis dalam diam. Dalam suasana tegang sekalipun. Ia terlihat duduk menatap layar laptop dengan posisi sempurna; badan tegak dan kedua telapak yang diletakkan di paha.
Ia lebih banyak diam di perkumpulan ini, tapi ia memiliki kemampuan yang cerdas. Matanya jeli. Ia pandai membaca suasana. Sebenarnya, dalam kehidupan di luar perkumpulan ini, ia cukup memiliki selera humor yang tinggi. Ia begitu pintar menempatkan kapan dan dimana ia harus bercanda atau diam. Brilian sekali. Saat suasana yang tepat dan sifat-sifat liarnya itu keluar, cukup membuatku terkejut, dibalik tingkah laku dan cara bicara maupun bergeraknya yang kalem dan lembut, sesuai wajahnya yang innocence itu.
Lalu aku melihat ia cekikikan dengan salah satu telapak tangan menutupi mulutnya, bersama dengan yang lain di kelompok itu. Saat mengangkat lengannya untuk sampai ke mulut, ia melakukannya dengan cukup lembut. Sepintas benar-benar mirip dengan putri Solo. Aku curiga ia punya kepribadian ganda jika mengingat aku sempat melihatnya tertawa heboh seperti Anna.
Tanpa sadar aku geleng-geleng kepala sambil mesem.
Dan aku kembali mengedarkan pandangan dan berhenti di kelompok yang tersisa, tak lain tak bukan adalah kelompokku sendiri. Aku bingung sendiri mataku menangkap sosok Dana yang tepat ada di depanku. Ia serius---dan aku bersyukur wajahnya tak semengerikan Effendi---entah melihat saja atau membaca deretan huruf di kertas yang dipegang oleh kedua tangannya. Kertas kerja kami. Kertas kerja yang ditolak yang membawa kami terjebak dalam keheningan namun kalut, tak seperti kelompok Senna yang hening tapi damai.
Kulihat ia meremas rambutnya dengan jari-jari tangannya, menunjukkan ia makin pusing dan frustasi. Keningnya berkerut, berlipat-lipat dalam jumlah banyak, seolah memaksa otaknya berputar lebih keras lagi. Aku kasihan melihatnya. Tapi aku tak heran jika ia ditunjuk sebagai penanggung jawab dalam menangani acara ini. Di balik rambut lurus agak gondrong dan mata sipit itu tersimpan segudang pengalaman di usia yang terbilang dini. Ia kerja tuntas, ikhlas, dan professional. Aku begitu mengagumi keprofesionalannya meski sebagian perilaku-perilakunya seringkali berwujud modus.
Tanpa sadar aku menatapnya ngeri.
Terdengar suara sorakan lagi dan kepalaku spontan berputar ke sumber suara. Kelompok Anna (lagi). Kali ini yang pertama mataku jajaki adalah Erika. Ia tertawa begitu maksimal hingga matanya nyaris tertutup, bahunya tergerak naik-turun, dan tangan yang memegangi dadanya. Kalau saja tak ada senyum di sana, orang lain mengira bahwa ia sesak napas. Sederet gigi yang terlihat itu mau tak mau membuatku tersenyum. Aku senang melihat orang tertawa sebegitu menyenangkannya meski aku tak mengerti apa yang ia tertawakan.
Erika pribadi yang memiliki rasa simpatik dan empatik yang tinggi. Ia tergolong orang yang tidak tegaan. Ia juga mudah tersinggung dan terusik, sehingga aku menangkap kelemahan hatinya, mentalnya. Tapi ia termasuk cerdik. Ia pintar mengambil hati, supel, dan gampang akrab dengan orang lain. Jadi, jangan kaget kalau ia punya banyak koneksi dan saat mengintip jejaring sosialnya yang penuh sesak dan berubah setiap menitnya karena obrolan dengan orang satu dengan orang lain. Dan itu sangat menguntungkannya.
Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku.
Begitu banyak kepribadian dan karakter di perkumpulan ini, yang tak bisa kusebutkan satu persatu. Perbedaan kontras yang cukup menarik menciptakan dinamika kehidupan yang unik. Semua orang memiliki sisi negatif dan positif, sehingga mustahil Tuhan tidak menyisipkan satu keahlian di dalamnya. Mereka yang merasa tak punya bakat apa-apa mungkin belum memahami lebih dalam dirinya.
Dan aku mulai memahami diriku sendiri. Beberapa sat kemudian, aku merasakan tubuhku menegang dan hatiku terasa hampa. Aku begitu sedih mendapati diriku yang lebih banyak diam tapi bukan diam emas seperti milik Anna. Aku tak seceria Anna. Tak serendah hati Effendi. Tak sejeli Senna. Tak seprofesional Dana. Tak secerdik Erika.
Kesedihanku begitu memuncak dan makin merasa bersalah karena aku merasakan hal ini saat sedang dalam pertemuan. Karena ini membuatku tak bisa berfikir jernih, padahal kami benar-benar dikejar waktu. Maka harus selesai hari ini juga. Namun tak lama, Dana mengumandangkan kata istirahat membuatku bernapas lega.

Aku malas pergi ke kantin. Aku memilih bergabung ke kelompok Anna dan Erika yang seperti tak letihnya bergurau. Sesekali aku tersenyum mendengar lelucon mereka.
Tanpa sadar, lama kelamaan aku mengikuti jalur dan terbawa arus mereka. Sesekali aku menyumbang lelucon atau banyolan, dan kejutan, mereka tertawa. Bahkan, Merry, salah satu dari kelompok ini sempat terbahak-bahak. Aku begitu penat dan lelah lahir batin fisik mental sehingga aku tak mau dibuat makin parah jika terus memikirkannya. Aku memilih melepaskan semuanya sejenak sebelum akhirnya Dana kembali. Ternyata ini semua pelampiasan rasa itu; melontarkan lelucon atau bayolan konyol dan bertingkah seperti orang gila.
Anehnya, mereka tertawa. Bisa-bisa aksi yang kulakukan ini aku terlihat sebagai monyet dalam pertunjukkan topeng monyet dan mereka sebagai penontonnya. Monyet yang konyol.
Aku bingung sendiri, umurku nyaris menggapai umur dimana seseorang menjadi dewasa, tentu aku sudah melewati banyak hal. Termasuk beban-beban. Beban yang sekarang ada di pundakku ini hanya satu dari beban-beban berat lainnya, entah beban yang telah kulalui atau akan kuhadapi. Ya, semakin dewasa seseorang, beban yang ada semakin berat. Setidaknya, saat ini, beban ini terbilang ringan dari beban lain, dan ajaibnya, beban ini membuatku kembali. Kembali menjadi diriku yang dulu.
Saat masih mengenakan seragam putih merah dan putih biru, aku punya hobi membuat orang lain tertawa. Bahkan sempat terlintas di benakku untuk jadi pelawak saja nantinya. Entah dengan cara menciptakan lelucon, menjahili teman, bertingkah sebagai orang gila, dan bertingkah sebagai hewan jelek sekalipun semua kulakukan. Aku merasa bahagia melihat mereka senang karena aku. Itu kebahagiaanku tersendiri. Dan aku kehilangan. Kehilangan semuanya selepas itu. Apa karena aku makin dewasa dan matang?
Nggak juga.
Aku senang aku kembali, dan aku berharap mati-matian bahwa ini akan bertahan lama. Sejujurnya, aku merindukan diriku yang dulu.
Tapi dalam konteks lain.
Aku ingin semenyenangkan Anna---dengan caraku. Ingin serendah hati Effendi. Ingin sejeli Senna; dalam mewujudkan potret Anna. Ingin seprofesional Dana. Ingin secerdik Erika.
Jika itu semua terwujud, apalagi kalau aku berhasil seperti Erika, aku akan diterima di masyarakat dengan baik. Lalu apa yang tak lebih menjanjikan selain diterima?
Berusaha menghilangkan sisi negatif dan menggantinya dengan cara memahami dan meniru sisi positif orang lain, whats wrong?

@anggiiaaa

Komentar