I'm Stronger When I'm With You


Dimas benci Diandra! Suasana hati apapun yang dirasakan, tetap saja setiap kali Dimas bertemu cewek itu, hawa permusuhan memanas dalam sekejap. Itu cewek selain judes, tertutup, cuek, sadis, pokoknya Dimas benci Diandra meski mereka punya hobi yang sama, yaitu membaca. Pokok Dimas benci Diandra! Titik!
Diandra benci Dimas! Cowok itu udah songong, seenaknya, nyebelin, pokok Diandra benci Dimas. Meski cowok itu terdaftar menjadi pelanggan terajin selain dirinya di perpustakaan kota, tetap saja cowok itu dianggap Diandra hanya mengotori perpustakaan saja. Diandra heran mengapa ada cowok sesongong itu nyasar di perpustakaan kota yang suci. Diandra benci Dimas! Titik!
     Kak Rara, penjaga perpustakaan kota jadi heran sendiri melihat sikap mereka berdua tiap kali bertemu. Padahal, dengan hobi yang sama, mereka bisa jadi teman yang asik dan share berbagai hal. Apalagi mereka sepertinya bukan tipe orang yang memiliki teman banyak. Buku-buku adalah teman sejati bagi mereka. Apa mungkin sudah menjadi bookaholic, mereka jadi tak ingin memiliki teman lagi meski hobi sama?
“Jangan terlalu membenci seseorang gitu dong. Ntar jadi cinta lhooo...,” goda Kak Rara suatu hari saat Diandra menghampiri mejanya untuk memperbaruhi kartu perpus dan Dimas yang menghampiri mejanya pula untuk mengembalikan buku.

Kata-kata itu langsung dijawab dengan tatapan tajam nan membunuh dari mereka berdua. “OGAH! AMIT-AMIT!!!!” seru mereka kompak dengan suara yang dilarang di perpustakan.
Suara mereka langsung disambut bisikan marah pemijak bumi perpustakaan. “SSSSSTTTTT!!!!”
Diandra dan Dimas jadi tengsin. Kak Rara malah terkekeh-kekeh geli.
Suatu lain, pada suatu sore Diandra menunggu pujaan hatinya untuk mengantarnya pulang seusai berkutat di perpus kota; kopaja. Berulang-ulang Diandra menatap jam yang melingkar di pegelangan tangannya serta celingak-celinguk mencari kendaraan yang tak kunjung datang itu.
Lalu, tiba-tiba Dimas lewat dengan motor Vespa uniknya. “Ciyeeee, yang belom dijemput pesawat ufo. Kasian amat mbak?” ejek Dimas terkekeh-kekeh sambil menyipratkan kubangan air di dekat Diandra, karena satu jam lalu terjadi hujan. Otomatis, rok putih yang dikenakan Diandra langsung tak putih lagi.
“Sialan! Dimas sialan!! Awas lo!!!” kutuk Diandra misuh-misuh. Dia menatap mewek roknya yang kini warnanya jadi abstrak.
Atau pada suatu hari lain, ketika Dimas sedang membantu Kak Rara mengambil buku-buku baru dari gudang untuk disusun di rak pagi hari sebelum perpustakaan buka. Dimas dengan percaya dirinya membawa setumpuk yang terdiri dari lebih dari 30 buku ke perpus, sampai Kak Rara berulang-ulang tanya apakah bisa dia membawa buku yang tebalnya lumayan itu. Tapi Dimas tetep kekeuh.
Diandra yang baru masuk perpus melihat dengan mata berbinar-binar Dimas yang sepertinya mulai kehilangan keseimbangan membawa buku-buku itu. Siapa suruh songong, batin Diandra. Inilah saatnya ia untuk balas dendam.
Diandra berjalan riang menghampiri Dimas. Pandangan Dimas agak ternganggu karena tinggi tumpukan buku menutupi matanya, sehingga ia tak tau Diandra sedang menghampiri dan...
Brak!!
Menabraknya secara sengaja. Buku-buku baru itu jatuh dengan bebasnya.
Dimas kaget lalu menoleh ke arah Diandra dengan tatapan geram. Nggak perlu bukti atau apa, Pasti cewek itu pelakunya. “Di... Ugh! Diandra!! Sialan lo!!!” kata Dimas setengah berteriak.
“Ups...,” kata Diandra menutupi mulutnya dengan kelima jarinya. “Sori, nggak liat,” katanya santai dengan tatapan meremehkan.
Dimas makin geram dan beranjak berdiri. “Ambil semua nggak!!”
“Ogah!” jawab Diandra santai. “Kan itu tugas lo. Selamat membereskan Tuan Dimas Tarawiko...,” kata Diandra sambil melnggang pergi dengan santai.
“Diandra!! Balik kesini atau lo gue bunuh!”
Diandra balik badan sambil berkata dengan senyum manisnya, “Siapa yang takut lo bunuh?”
Besok terjadi balas dendam, balas dendam, terus saja begitu karena tak ada dari mereka niatan untuk damai. Dimas benci Diandra, Diandra benci Dimas! Titik!!
Hingga suatu hari, malam harinya Diandra, Dimas, dan Kak Rara pulang agak malam untuk survey buku setiap akhir bulan. Tapi hari ini mereka pulang larut sekali karena terjadi beberapa kendala tak terduga.
“Diandra, kamu pulang naek apa?” tanya Kak Rara saat membereskan file-file seusai survey.
“Naik bis malam kak,” jawab Diandra ragu-ragu. Baru kali ini ia naik bus malam untuk pulang. Selain karena baru pertama kali, jam segini di halte tempat tujuannya sampai rumahnya agak horror. Apalagi perjalanannya dengan manual alias jalan kaki. Diandra hanya bisa terdiam berdoa semoga ada keajaiban.
“Waduh, naik bis? Bahaya, Di. Dim, anterin Diandra dong. Kasian dia...,” mohon Kak Rara.
Sepercik harapan merekah dalam hati Diandra. Mengapa hanya sepercik? Karena pasti cowok yang bernama Dimas itu...
“OGAH!!” kata Dimas sambil memandang cewek disebelahnya remeh.
Tuh kan. Jangan sekali-kali deh menggantungkan harapan pada cowok songong satu ini. Diandra hanya bisa tertunduk lesu dengan bibir terkunci rapat.
“Dia kan setengah cewek setengah cowok. Bisa sendiri lah!” remeh Dimas, disambut tatapan tajam bukan main-main dari Kak Rara. Sedangkan Diandra memilih diam, selain tak ada gunanya, juga bakalan buang-buang waktu. Lebih cepat, lebih baik situasi untuk pulang. Diandra menatap jam tangannya.
“Kak, aku boleh ya pulang sekarang?” tanya Diandra.
“Iya deh, ini berantakan banget. Bakalan lama beresinnya, ntar tambah larut,” kata Kak Rara. Diandra tersenyum.
Dimas angkat bicara. “Eit! Nggak bisa! Lo nggak bisa lepas tanggung jawab gitu dong. Ini belum...,”
“Bisa nggak sih lo nggak cari masalah sama gue satu hari aja??!!” tukas Diandra cepat dengan nada ketus dan bergetar. Dimas kaget melihat mata Diandra yang memerah. Sepertinya dia kelewatan...
“Aku pulang dulu kak...,” kata Diandra seraya berlalu.
“Hati-hati ya...,” jawab Kak Rara menggantung. Ia merasa khawatir karena Diandra termasuk tanggung jawabnya karena telah menjadi sukarelawan untuk membantunya. Namun apa yang bisa dilakukan Rara? Rara saja pulang akan dijemput, kalau pinjam motor Dimas, jangankan naik Vespa, naik sepeda motor biasa saja Rara kagok.
Lalu, Rara melihat Dimas tampak terpaku. Ia tenggelam dalam lamunannya akan kata-kata Diandra barusan. Kalau dipikir-pikir, baru kali ini pertengkaran mereka yang mampu membuat Diandra menangis, sesadis apapun Dimas.
“Kalo kamu mau cari ribut sama dia kayak biasanya, seharusnya kamu juga bisa baca situasi. Dia itu lagi bingung tadi. Dan dia juga sedikit sakit hati karena kamu nggak mau bantu dia. Sekuat apapun Diandra, dia cewek, dan dalam situasi tadi, kesensitifan hatinya makin jadi. Inget ya, orang menangis itu bukan karena cengeng, entah cowok apa cewek, melainkan karena hatinya memang terlalu sakit. Cuma, tingkat mental masing-masing orang kan beda,” nasehat Rara pada Dimas.
Dimas memilih diam. Dia merasa bersalah bukan main. Diandra memang musuhnya, namun apa salahnya menolong. Seharusnya Dimas bisa mikir. Situasi kan emang darurat. Bahaya cewek pulang naik bis di jam selarut ini...
“Susul gih. Ini bisa diberesin besok pagi-pagi...,”

***

Dimas berlari dari perpus kota menuju halte biasa Diandra menunggu kendaraan yang membawanya pulang. Entah karena apa, Dimas percaya pada firasatnya bahwa Diandra masih disana. Meski tak ada keyakinan sama sekali dalam hatinya jika cewek itu masih berharap pada dirinya.
Terang saja, Diandra masih disana. Namun yang buat Dimas tercengang karena Diandra tak sendiri dan tak diam. Ia sedang bergulat dengan seseorang. Oh, dua orang! Membuat Dimas makin serba salah jika Kak Rara tak menyuruh atau kesadaran dirinya tak ada. Bahaya itu datang bahkan sebelum Diandra naik bis!
“Heh!! Jangan sentuh gue!” sentak Diandra.
“Ayolah, santai dulu dengan kami,” jawab salah satu dari mereka dengan ngelindur sambil mengusap pipi Diandra. Dua orang yang masih tampak muda itu mabuk.
PLAK!! Tamparan maut dan telak dilancarkan Diandra di pipi kanan cowok yang menyentuhnya tadi.
“Boleh juga nih cewek,” kata cowok itu sambil mengusap-usap pipinya yang panas.
“Sikat aja langsung bro! Lumayan cantik nih cewek,” kata satunya lagi.
Dan dua orang itu mulai mendekat. Satu orang yang terlihat agak kurus dari temannya itu dengan sigap memeluk Diandra dari belakang. Diandra panik, dia mencoba melawan, namun si kurus ini ternyata kuat juga. Lalu si kurus mengeluarkan sapu tangan dari sakunya untuk membekap mulut Diandra agar tak bdapat berteriak. Selain juga untuk mencegah kalau cewek itu bakal menggigit lengannya. Sesuai pengalaman di tipi-tipi.
Yang satunya lagi mengeluarkan pisau saku dengan lagak menjijikkan. Sambil melet-melet nggak jelas, ia menodongkan pisau yang mengilat dan agak silau diterpa lampu halte. Diandra masih berusaha memeras otaknya untuk lari dari dua orang sinting ini dan berdoa meminta pertolongan Tuhan. Air matanya mulai meleleh.
“Ikut kita, atau gue bunuh lo...,” kata yang megang pisau.
Oh... akankah kematian Diandra seperti peristiwa yang sudah-sudah? Meski Diandra tak terlalu berharap dia mati dengan cara yang standar karena sudah ada yang ngatur, tapi Diandra tak menyangka bahwa dia mati dengan cara seperti ini. Diandra memilih menutup matanya.
“Hei!! Lepasin dia!!”
Spontan Diandra membelalakkan matanya mendengar suara itu. Itu suara sama sekali tak asing di telinganya. Suara itu! Dimas!!
Benar saja. Dimas sekarang sudah ada di dekatnya dengan mengepalkan tangannya plus tatapan mengerikan seperti hendak memakan lumat-lumat dua bajingan cacing ini. Selain agak surprise Dimas datang, Diandra dapat surprise juga melihat ekspresi Dimas yang sekarang. Garang banget. Diandra aja ngeliatnya udah ngeri. Seperti bukan Dimas yang biasanya.
“Siapa lo?” tanya si punya pisau.
“Gue bilang lepasin dia!!” kata Dimas geram.
“Haha, mau jadi pahlawan kesiangan lo?” jawab si kurus remeh. “Sori ya. Nih cewek udah jadi milik kita,” kata si kurus sambil mendekatkan bibirnya ke leher Diandra.
“Nnnggggghhhhh!!!!!!” erang Diandra.
“GUE BILANG JANGAN SENTUH DIA!!!” kata Dimas menjadi dan melayang tendangannya pada si kurus. Tendangan itu spontan, dan Dimas nyaris sujud syukur tendangan mautnya itu tak mengenai Diandra. Si kurus pun terjengkang jatuh dan tangannya terlepas akan Diandra.
Diandra terpaku, memandang tak percaya. Air mata terus mengalir dengan derasnya. Nyaris saja lehernya ternoda dengan bibir najis dari orang menjijikkan! Jantungnya berdegup kencang. Napasnya terengah-engah.
Dimas langsung meraih Diandra, mendorong cewek itu agar berlindung di belakang punggungnya karena si kurus bangkit lagi dan mencoba menyerang bersama kawannya yang satu lagi.
“Lo tunggu sini. Diem aja...,” bisik Dimas. Diandra mangut-mangut. Lalu, dengan cekatan Dimas menumpas habis dua bajingan itu. Oh ya, dengar-dengar dari Kak Rara sih, Dimas memang jago karate. Dia udah sabuk apa gitu... pokok sabuk yang tertinggi. Dan kurang dari 2 menit, dua bajingan itu menyerah dan lari terbirit-birit.
Dimas menghampiri Diandra dan mendapati cewek itu menangis tanpa henti sambil menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Dimas jadi nggak tega.
“Di... Di... jangan nangis dong...,” kata Dimas.
Diandra melepas tangannya dari mulutnya. “Gue... gue...,”
“Sssttt, Diandra... udahan dong nangisnya...,”
“Gue nggak tau... gue... gue...,”
“Diandra...,” kata Dimas mengusap air mata cewek di depannya kini.
“Gue... gue tra... gue trauma...,” kata Diandra dengan nada miris. Sungguh, Dimas nggak tega dan mengutuk dalam-dalam dua manusia busuk tadi.
Dimas memeluk cewek itu, mungkin akan tercipta rasa terlindung. “Gue anter lo pulang...,”

***
Sejak hari itu, tak ada niatan lagi dari Dimas untuk musuhan dengan Diandra. 3 hari setelah tragedi, Diandra tak terlihat sama sekali di perpus kota. Kata Kak Rara, Diandra sakit, dia sampai opname. Namun prihatinnya, Diandra nggak bilang dia dirawat dimana. Cari informasi pun percuma, tetangga Diandra bahkan baru tau kalau cewek itu ternyata sakit. Teman, Kak Rara sama sekali tak tau siapa saja teman Diandra, dan cewek itu juga nggak kuliah.
Selain itu, ada yang baru Dimas sadari dalam dirinya. Satu, cowok itu sering melamun tentang Diandra. Dua, cowok itu jadi merasa nggak tenang, dan bahkan cenderung ingin mencari Diandra dibanding membaca saat di perpus kota. Tiga, melihat tangis Diandra, ada dorongan dalam diri Dimas untuk melindungi cewek itu, bukan karena rasa kasihan, tapi, melindungi Diandra seperti kepuasan batin tersendiri untuk Dimas. Jadi ada rasa selalu ingin dekat, rasa ingin melindungi, rasa ingin membahagiakan, rasa ingin berkorban, dan rasa ingin memiliki...
Wah, yang terakhir ini buat Dimas galau seketika.
Dan hari ke empat, Diandra kembali hadir mengisi hari Dimas di perpus dengan sifat standar. Ya, ejekan seperti biasa. Dan Dimas memilih tak menghiraukan karena tekad dalam dirinya untuk damai sudah bulat. Hal itu tentu saja membuat Diandra heran.
Sampai hari-hari berikutnya, Diandra menanyakan sikap Dimas. Bahkan Diandra menuduh Dimas seperti ini karena kasihan atas tragedi. Namun Dimas tetap diam seribu bahasa. Ia merasa belum ada kata-kata yang pas mengungkapkan isi hatinya.
Sialnya, hal itu membuat Diandra berspekulasi buruk pada Dimas. Judesnya cewek itu malah makin menjadi.
Hingga akhirnya Dimas keluar dari kegalauannya. Hingga ia sadar, bahwa ia sedang jatuh cinta...
Hari ini, Dimas terlihat semangat memasuki tanah perpus kota tercinta. Dengan sejurus pandang, dia telah menemukan Diandra di deretan buku fiksi. Senyumnya mengembang. Dimas melangkah mendekati Diandra, meski pakai acara basa-basi segala dengan pura-pura mencari buku di deretan buku fiksi.
Melihat Diandra yang serius membaca kata demi kata dalam buku yang dibacanya, membuat Dimas enggan mengganggunya. Biarkan saja dulu, nanti kalau dia mau pulang, baru deh ngomong, pikirnya. Dimas kembali fokus mencari buku fiksi yang menurutnya menarik untuk dibaca. Namun, ada perasaan mengganjal. Dia menoleh sejenak, melihat Diandra yang tak lebih dari 1 meter dari dirinya. Lalu, mencari buku lagi. Lihat Diandra lagi. Cari lagi, liat lagi. Ah! Dimas nggak tahan! Rasanya, satu menit tak memandang Diandra serasa satu abad Diandra menghilang. Padahal cewek itu baik-baik saja, tapi serasa ada magnet dalam dirinya sehingga menarik mata Dimas untuk sejenak melihat. Dan kali ini, Dimas sengaja memandang Diandra agak lama.
Peka, Diandra merasa aneh, dia merasa ada yang memperhatikannya. Dia melirik sebentar, sepertinya orang terdekatnya mencurigakan. Ia sejenak menarik diri dari benaman buku lalu menoleh ke orang terdekatnya. Sedikit kaget, bahwa orang itu ternyata Dimas.
Dan Dimas tertangkap basah sedang memandangi Diandra.
“Lo ngapain sih ngeliatin gue?” tanya Diandar sewot.
“Idih! GR lo kebangetan!!”
“Trus apa?”
“Gue lagi ngeliatin itu!” kata Dimas menunjuk ngawur. Diandra menoleh ke arah yang ditunjuk. Seorang pria paruh baya memakai seragam TNI, berbadan kekar sedang membaca buku sejarah, karena kebetulan juga buku-buku sejarah berdekatan dengan buku-buku fiksi.
Diandra menahan tawa, lalu memandang Dimas mengejek. Dimas tengsin, balik badan sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Diandra menggeleng-gelengkan kepala dan kembali menenggelamkan diri dalam buku yang dipegangnya sedari tadi.
Setelah itu, Dimas terlihat sok sibuk mencari buku fiksi. Padahal, tak ada yang ingin dilakukannya bahkan membaca sekalipun, selain untuk dekat dan melihat Diandra. Sepertinya dia salah tingkah. Tanpa pikir panjang, Dimas mengambil buku yang sekiranya kovernya menarik perhatian dan segera duduk di sebelah Diandra. Padahal belum tentu juga kover menjamin bagus nggaknya cerita dalam buku..
Buku pun dibuka namun tak dibaca. Matanya malah terus tertancap pada cewek di sebelahnya. Kali ini tak seling-seling seperti baca-pandang, baca-pandang, kali ini matanya benar-benar fokus pada sosok di sebelahnya.
Diandra merasa aneh lagi, dan lagi-lagi pula Dimas pelakunya. Dia menatap aneh Dimas, namun yang nama panjangnya Dimas Tarawiko ini cuman sekedar pura-pura baca buku lagi. Selanjutnya terus seperti itu, lagi dan lagi. Diandra lama-lama nggak tahan. Nih cowok kenapa sih? Kesamber apa sih? Kekutuk siapa sih? batinnya.
“Lo kenapa sih Dim?” tanya Diandra. Yang ditanya hanya diam.
Sampai akhirnya Diandra memilih membalikkan badan hingga membelakangi Dimas, supaya dia bisa fokus lanjut membaca buku. Namun rupanya pandangan Dimas membuat bulu kuduk punggung Diandra merinding. Diandra menoleh dan kembali mendapati pemandangan yang sama.
“Lo freak !” ucap Diandra seraya menyambar tasnya dan melangkah cepat menuju meja Kak Rara. “Kak, simpen buku ini buat aku ya,” katanya cepat dan langsung melangkah pergi.
“Lho Di...,”
Kata-kata Rara terpotong selain Diandra telah menghilang, juga karena panggilan dan langkah cepat Dimas mengejar Diandra. Rara seketika melongo.
“Di!!”
“Diandra!”
Merasa dipanggil, Diandra malah mempercepat langkah kakinya menuju halte. Hal itu justru membuat Dimas berlari hingga akhirnya menjejeri langkah Diandra hingga menghentikan langkah cewek itu.
“Lo ngehalangin jalan gue,” sembur Diandra. Lalu Diandra berjalan melalui sisi Dimas, tak menghiraukan cowok yang sepertinya terkena stress mendadak.
“Di! Tunggu!” Dimas terus berusaha menjejeri langkah Diandra. “Lo marah sama gue?” tanya Dimas. Spontan Diandra menghentikan langkahnya dan menatap Dimas serta tawa meledek.
“Sori?”
“Lo marah sama gue?” ulang Dimas.
Diandra menyentuh dahi Dimas, memeriksa dan meyakinkan bahwa Dimas benar-benar sakit jiwa. Hal itu justru membuat pipi Dimas memanas. “Lo sakit ya? Lo aneh, Dim...,”
“Gue serius?”
“Hah? Serius lo sakit?”
“Maksud gue...,” Dimas mengambil napas dalam-dalam menstabilkan detak jantungnya. “Gue capek Di. Gue mau kita damai,” kata Dimas terburu-buru.
Diandra mengerutkan kening. “Trus?”
“Ya... kita temen...,”
“Oke, kita temen,” jawab Diandra gampangan sambil kembali melanjutkan langkahnya.
Namun Dimas tetap positif thinking dan kembali mengejar Diandra. “Gue minta nomer lo,”
“087-994-332-03,”
“Jangan cepet-cepet napa?” kata Dimas melihat layar ponselnya yang baru mendapati 3 angka depan nomer Diandra.
“Nggak ada siaran ulang,”
“Di...,”
Diandra menghentikan langkahnya, melengos, menyambar ponsel dari tangan Dimas. Dengan cepat ia mengetik nomer ponselnya, mengecek kembali sebentar, lalu mengembalikkan lagi kepada pemiliknya. Dan kembali melangkah pergi tanpa bicara lagi.
“Di!” panggil Dimas. Diandra berhenti dan menoleh.
Thanks...,” kata Dimas dengan senyum tulus.
DEG! Sejurus senyuman itu sungguh membuat Diandra terpaku. Baru kali ini ia melihat Dimas tersenyum. Dan senyum itu tulus. Sungguh tulus, Diandra tau itu dan dia bisa membedakan. Selain itu, Dimas terlihat bahagia. Bahagia dan menggemgam erat ponselnya.
Tanpa sadar Diandra membuka sedikit mulutnya, dan cepat-cepat ia katupakan. Dan tanpa sadar juga ia membuat Dimas menunggu jawaban. Diandra mengangguk dengan mau-tak mau karena masih bingung.
Di kopaja, Diandra melamun, mempertanyakan detak jantungnya...

***

Dapat nomor Diandra, benar-benar kesempatan emas untuk Dimas. Ia sering menelpon cewek itu, untuk sekedar menanyakan sedang apa dan bagaimana kabarnya. Padahal setiap harinya mereka bertemu di perpus kota. Dan Diandra rupanya fine fine aja.
Dan tak terlihat lagi pertengkaran dan adu tatapan sengit antara Dimas-Diandra. Membuat sang penjaga tanah tercinta perpus kota, Kak Rara lega.
Dan mereka dekat, dekat, dan semakin dekat, hingga akhirnya menyerah atas hati masing-masing...

***

Suatu hari, Diandra mendapati Dimas melamun sambil bersandar di jendela perpus. Mereka datang pagi atas permintaan Kak Rara entah untuk apa. Diandra menghampiri Dimas.
“Hei,” sapa Diandra sambil menepuk pelan bahu Dimas, disambut cowok itu senyuman hangat. “Kak Rara mana?”
“Balik, katanya ada yang ketinggalan,”
Diandra mangut-mangut. Lalu, ia ikut-ikutan menatap lurus ke depan luar jendela. Hening.
2 menit penuh berlalu...
“Gue benci Diandra. Dia judes, tengil, cuek, nyebelin. Sedikit tomboy, tapi cengeng juga,” kata Dimas terkekeh-kekeh sambil menoleh ke arah Diandra. Diandra terlihat manyun. “Tapi... gue cinta sama dia...,”
Diandra terlihat melongo. Namun, cewek itu menjawab pernyataan Dimas. “Gue benci Dimas. Dia songong, nyebelin, aneh, tengil,” Diandra menoleh ke arah Dimas, disambut senyuman kecut. “Tapi... gue mekin benci sama dia...,” kata Diandra melirik Dimas. Cowok itu seketika ganti ekspresi khawatir. “Karena dia first love gue...,”
Mereka tertawa, renyah sekali. Ciye ciyeee, yang selama ini dipendam-pendam...
“Diandra, Dimas! Kalian dimanaaa?”

***

Hubungan Dimas-Diandra lancer-lancar saja. Mereka adem ayem, meski ada beberapa pertengkaran kecil, kedewasaan mereka nggak sampai membuatnya menjadi besar.
            Hingga suatu hari...
Dimas menunggu Diandra di tepi jalan. Mereka akan jalan, ke suatu tempat yang masih Dimas rahasiakan. Dimas mau kasih surprise buat Diandra atas ulang satu tahun jadi mereka. Lama juga Diandra nggak muncul-muncul, tapi perasaan senang menggebu-gebu memperkirakan yang terjadi nanti di tempat utama membuat Dimas sabar. Namun sampai satu jam berlalu, tak ada tanda-tanda kedatangan pujaan hatinya itu. Ponsel Diandra yang berulang-ulang dihubungi tak ada jawaban. Hingga dua jam, tiga jam, Dimas frustasi. Ia pergi meninggalkan tempat dengan perasaan gusar.

***

Beberapa hari paska malam itu, tak ada komunikasi antara Dimas dengan Diandra. Mereka lost contact. Dan baru ada tanda kemunculan Diandra saat kemarin malam. Dan hari-hari selama mereka lost contact, Dimas mendapatkan kiriman aneh masuk ke ponselnya dengan nomor yang tak dikenal. Dan kiriman aneh itu sungguh membuat Dimas geram, sehingga niatannya untuk berbaikan tak lagi nyata.
            Dan Dimas butuh bicara dengan Diandra, segera!
Jadi, di pagi ini, Dimas sudah terlihat duduk sambil membaca di ruang khusus perpustakaan. Ia sengaja sewa ruang khusus ini pada Kak Rara karena Dimas untuk rapat paripurnanya dengan Diandra. Selain itu, Diandra dengan mudah menemukannya melalui Kak Rara, dan Dimas tau pasti kalau Diandra akan mencarinya. Buktinya? Silahkan tengok ponsel Dimas. Beribu-ribu missed call dan SMS terabaikan oleh yang punya. Dan pengirimnya masih sama. Diandra, Diandra dan Diandra.
            Terang saja. Satu jam Dimas menunggu, ruang khusus dimasuki juga oleh Diandra. Cewek itu kusut, kusut pakaian, kusut muka. Dimas pengen ngakak ngeliatnya, namun ia langsung sadar bahwa ia harus tahan tawa.
“Dimas...,” panggil Diandra halus dan ada nada rasa bersalah disana.
Jangankan melirik, yang meyakini bahwa Dimas hidup mungkin hanya suara napasnya karena buku yang sedari tadi ia baca sudah ia lahap habis dan diletakkan entah dimana. Hal ini sungguh membuat Diandra putus asa. Matanya mulai memanas.
“Dimas, dengerin aku...,” kata Diandra lagi dengan suara bergetar. Dimas luluh juga. Ia melirik tajam cewek dihadapannya.
“Diandra, dengerin aku juga. “Sayang, aku tunggu kamu di pinggir perempatan jalan dekat halte rumah kamu. Be on time ya sayang.” “Iya sayang.” Satu jam, dua, hingga tiga jam kamu nggak datang Diandra,” kata Dimas sambil beranjak berdiri, menatap lekat-lekat Diandra.
“Aku...,”
“Kamu kenapa? Oh, kamu ternyata punya janji lain. Kamu lupa sehingga kamu menerima ajakanku? Iya kan?”
“Dimas, kasih kesempatan aku bicara,”
“Percuma Di! Ingat malam itu malam apa? Malam ulang satu tahun jadi kita! Kita Diandra! Satu tahun! Satu tahun bukan waktu yang sebentar...,”
“Dimas...,”
“Sekarang kamu mau jelasin apa lagi sama aku? Aku udah jelas sejelas jelasnya, kemana kamu pergi pada malam itu!”
“Apa?” tantang Diandra.
Dimas mengambil ponselnya dengan cepat, menekan beberapa tombol, dan langsung diperlihatkan layarnya pada Diandra. Foto Diandra dengan cowok lain, dengan mesranya. Foto itu diambil dengan kamera digital dan tertera tanggal di sudut kanan bawah.
“Apa yang mau kamu jelasin tentang ini? Hah?”
“Itulah yang mau aku jelasin, Dim...,”
“Nggak perlu Di...,” kata Dimas sambil menggelengkan kepalanya tak percaya. Matanya terlihat memerah. “Sudah cukup ya. Sudah cukup tau aku ternyata kamu seperti itu,”
“Dimas dengerin aku dulu...,”
“Nggak perlu,” jawab Dimas singkat seraya berlalu.
Saat hendak memutar gagang pintu, Diandra terisak sedikit berteriak memohon pada Dimas. “Dimas...,”
Dan Dimas terhenti sejenak, namun tanpa menoleh.
“Dengerin aku dulu...,” kata Diandra sambil memendam rasa sakitnya. “Waktuku nggak banyak...,”
Tak ada respon. Cowok itu menghilang di balik pintu.

***

Setelah itu, tak ada lagi sosok Diandra di perpus kota, selama apapun Dimas sengaja absen untuk membaca. Diandra menghilang. Rara hanya geleng-geleng kepala namun ikut khawatir juga. Ponsel Diandra sudah nggak aktif sejak lama. Rumah Diandra bahkan sudah dikontrakkan untuk orang lain. Semua orang perpus menanyakan Diandra, tak hanya pada Rara, Dimas pun jadi sasaran. Semua orang merindukan Diandra. Rara kangen Diandra yang sudah dianggapnya saudara sendiri. Dimas rindu Diandra. Diandra yang ia cintai...
            Hingga satu bulan penuh tanda tanya, sepucuk surat yang dibawa seseorang yang benar-benar dekat dengan Diandra tanpa ada yang tau selama ini, menjadi kunci jawaban dari segala jawaban.

***

Dear Dimas
Jika kata-kataku tak mampu meluluhkanmu, biarkan surat ini yang bicara dan menenangkan hatiku.
Dimas, saat berhubungan denganku, apa kamu nggak bertanya-tanya dimana keluargaku, orang tuaku? Oke, disini aku jelaskan.
Aku korban broken home sejak lulus SMP. Ibuku memilih untuk menikah lagi dan enggan mengurusku. Ayahku yang sekarang bersamaku. Hidup ayahku hancur ketika ditinggal ibu. Ayah sering mabuk, judi, hingga akhirnya segala hal negatif itu menciptakan suatu dorongan lain yang mengarah padaku. Pada malam itu, aku hendak dijual ayahku untuk membayar utang atas kekalahan ayahku dalam judi. DIJUAL DIMAS! Ayahku tau kamu, dan tau siapa kamu. Jadi ayahku sengaja mengambil gambar bagaimana aku dipaksa lalu dikirim ke ponselmu.
Aku pengen minta bantuanmu, tapi jangankan mendengarku. Kesempatan untuk bicara saja nggak kamu berikan. Tapi apa daya, sudah terjadi semuanya. Aku ikhlas...
Kemarin sempat aku katakan bahwa waktuku nggak banyak, entah kamu dengar apa nggak. Maksudnya karena aku, aku menolak keras tindakan ayahku, hingga ayahku telah membuat jadwal hari kematianku. Aku nggak tau harus kemana lagi aku mengadu, karena saat aku bicara sama kamu di ruang khusus, waktuku cuma satu jam.
Semua orang termasuk kamu menilaiku sebagai cewek yang kuat. Aku nggak tau apakah aku begitu tapi aku jadikan itu motivasi. Sejak sama kamu, segala hal yang ada di hidupku menyedihkan sebelumnya, semuanya jadi menyenangkan. Semua yang hitam menjadi putih. Yang keruh menjadi bening. Yang layu menjadi mekar. Gelap menjadi terang. Panas menjadi sejuk. Segalanya.
Dimas, terima kasih atas segalanya. Terima kasih mau meluangkan waktu di hidupmu untukku...
I’m Stronger when I’m with you...
Yang mencintaimu
Diandra

            Deretan kata-kata itu dibaca Dimas di depan nisan Diandra. Diandra meninggal di tangan ayahnya sendiri. Sebelum dibunuh, Diandra benar-benar dijebak agar ia tak bisa lari. Sekarang ayahnya sedang menjadi buronan polisi.
Menyesal? Satu kata beribu cerita dan berjuta rasa. Sekarang apa yang bisa dilakukan Dimas? Menggali kubur Diandra memaksanya kembali hidup? Datang ke dukun meminta menghidupkan lagi kekasihnya itu? Mencari dimana ayah Diandra dan membunuhnya untuk balas dendam? Bunuh diri sendiri agar bisa bertemu dengan Diandra disana? Meminjam Harry Potter Batu Kebangkitan untuk membangkitkan Diandra? Konyol! Toh semua itu kalau dilakukan hanya akan dapat masalah baru. Semua sudah terjadi. Yang telah mati tak dapat lagi kembali. Diandra telah pergi, tak mungkin kembali! Semua sudah terjadi! Tak ada pemutar waktu di belahan bumi manapun.
Lalu bagaimana caranya menghilangkan rasa sakit ini? Menangis? Menangislah! Menangislah bila harus menangis. Menangislah jika itu yang bisa membuatmu lebih baik. Jika itu satu-satunya hal yang bisa kau lakukan. Sekeras-kerasnya. Namun, ingatlah. Jarum jam takkan pernah berhenti bergerak sebelum waktu yang ditentukan. Hidupmu masih jalan. Menangislah namun bukan untuk selamanya. Isi hidupmu dengan hal yang berguna dan lebih baik.
Dimas menangis di depan nisan yang bertuliskan nama Diandra. Hanya itu yang bisa Dimas lakukan. Sepuasnya hingga ia puas. Selanjutnya, ia sudah tau apa yang harus ia lakukan. Ia siap. Ia siap mengarungi luka yang makin lama makin terobati. Pasti! Karena Dimas masih punya Tuhan.
Untuk Diandra, maaf dan tenanglah disana. Serta terima kasih atas seluruh cinta, dan... jika tiba masanya, cari Dimas ya!

@anggiiaaa

Komentar

Posting Komentar