Buku Catatan Jihan



Itu dia! Sungguh, itu dia! Akhirnya, setelah sekian lama aku duduk termangu menunggu kemunculannya. Dengan santainya ia berjalan menuju kelasnya yang ada di sebrang kelasku setelah menunaikan salat dzuhur di masjid. Ah, Kak Fahmi… ketika kau berjalan seperti itu dan sekadar tersenyum atau menyapa orang-orang yang menyapamu atau orang-orang yang kau kenal, sebenarnya ada yang terus memperhatikanmu dari sini. Aku. Lihat aku kak! Aku suka kamu astaga!
     Itulah yang ditulis Jihan di buku catatan kesayangannya. Sebenarnya, dia memiliki beberapa buku catatan lainnya, tapi buku yang satu ini benar-benar menjadi kesayangannya. Tentu saja, karena isinya catatan semua tentang Kak Fahmi, kakak kelasnya anak kelas 12 yang sudah disukainya pada pandangan pertama waktu MOS.
“Rianaaaaaaaaa!!! Lihat bawah! Lihat bawah! Ada sesuatu yang menarik!!” seru Jihan histeris pada teman yang sebenarnya tak lebih dar 5 meter darinya.
Sahabatnya, Riana, itu terlihat sedikit ternganggu dengan teriakan Jihan. Ya iyalah, terlalu heboh! Tapi Riana sudah kebal dan nggak harus bilang “wow”. Jihan mengagumi Kak Fahmi sudah lebih dari setengah tahun. Jadi, Riana nggak kaget dengan reaksi berlebihan Jihan ketika melihat sosok Kak Fahmi dari jauh. Bahkan sekelebat bayangan Kak Fahmi pun, Jihan tetap seperti itu. Dia sudah terjangkit penyakit berlebihan akut sejak bertemu Kak Fahmi.

Yang menjadi pikiran Riana beberapa bulan dekat ini, mengapa Jihan tak pernah bosan maupun capek dengan semua yang berhubungan dengan Kak Fahmi. Sedikit cerita, Kak Fahmi memang pantas masuk ke daftar orang-orang kece yang patut diincar di sekolah mereka. Dia ketua OSIS, jago main segala olahraga termasuk futsal, wajahnya di atas rata-rata, tinggi badan oke, postur tubuh ideal, encer matematika, dan bahasa Inggris, pikiran dewasa dan selalu memandang ke masa depan, serta rajin beribadah. Sungguh, agama cowok itu sangatlah kuat. Jadi jangan kaget, meski terdaftar sebagai cowok yang patut diincar, Kak Fahmi belum pernah punya pacar. Alias, mantannya nol! Nol! Aliiiiiiim sekali.
Jihan sudah tau tentang ini, bahkan ditulis di buku catatan favoritnya itu. Namun, Riana heran setengah mati karena Jihan masih terus mengejar cowok itu meski terlihat bahwa yang dikejarnya itu tak minat punya pacar sebelum lulus sekolah.
“Iya, gue tau. Biasa aja napa, Han?” kata Riana malas-malasan.
“Ah, lo kayak nggak tau gue aja,” jawab Jihan sambil nyengir lebar.
Oh ya, meski punya banyak kelebihan, Kak Fahmi memiliki kekurangan yang menurut Riana benar-benar fatal dan bakalan menutupi semua kelebihannya. Sombong! Nah loh, semua orang memang mempunyai sisi gelap. Selain itu, dia juga kadang sinis sama orang-orang yang menurutnya aneh. Termasuk Jihan. Karena tingkah tuh anak lebay, Kak Fahmi pernah memandang Jihan sinis plus jijik. Jihan yang dipandang seperti itu nyaris nangis juga. Tapi lihatlah, tuh anak nggak ada jeranya buat ngejar cowok itu. Nggak ada perasaan ilfil sama sekali.
Tapi, tak perlu bertanya Riana juga tau apa penyebabnya, meski dinilainya tetap saja keterlaluan. Cinta. Yaaa, memang ajaib dan bisa mengubah segalanya.
Tapi terkadang, Jihan menolak jika ia dikatakan jatuh cinta dengan Kak Fahmi. Hanya mengagumi, begitu alasannya. Tapi Riana sama sekali tak percaya. Ya iyalah, kalau hanya sebatas kagum kok sampai segitunya.
“Han...,” kata Riana lirih.
“Ya?” jawab Jihan tanpa menoleh karena masih dengan wajah berseri-seri memandangi Kak Fahmi yang menghentikan langkahnya dan ngobrol dengan guru.
“Ngaku aja kalo lo cinta sama Kak Fahmi,”
“Hah? Ngaco deh lo, Na,”
“Trus, kenapa lo bela-belain semuanya sih, Han? Kalo sebatas kagum, nggak sampe segininya. Apa lo terobsesi sama dia? Gue kasian lo juga kalo trus-trusan diliatin dia kayak gitu...,”
Jihan memandang Riana nggak ngerti. Senyumnya lenyap mendengar kata-kata sahabatnya tadi. Namun, Jihan tak memiliki jawaban apapun. Jadi, ia hanya diam dan mencari-cari dimana Kak Fahmi sekarang. Dan langsung terjawab ketika Jihan melihat kelas cowok itu, dan tuh cowok juga sedang beranjak masuk kelas, meski ia tau Riana sedang memandanginya jeli dan sepertinya tak berkedip.
“Ah! Liat itu, Na! Dia sempet ngeliat sini tadi!” kata Jihan girang. Riana menatap Jihan khawatir.

***

“Han! Ikut gue ke Devia!!” kata Riana terburu-buru dan menarik paksa lengan Jihan yang sedang asik membaca buku novel di pojok kelas.
“Ngapain??” tanya Jihan heran.
“Udah, lo ikut aja!”
“Iya, iya bentar! Gue lipet dulu halaman dimana gue sampai,”
Kemudian, Devia, teman sekelas mereka terlihat nyaris tenganga melihat Riana dan Jihan datang kepadanya dengan tergopoh-gopoh plus ekspresi wajah yang aneh. Riana menatapnya serius, sedangkan Jihan mengerutkan kening. Bingung.
“Dev, bener lo didatengin Kak Fahmi?” tanya Riana to the point dijawab Devia dengan anggukan polos karena masih bingung.
Mendengar nama itu, Jihan langsung sumringah. “Oh ya? Trus, lo diapain? Dia minta nomer HP lo? Tanya alamat lo? Trus ekspresinya gimana? Serius, cengengesan? Jangan-jangan dia naksir lo lagi!” kata Jihan heboh. Kalau benar, Jihan benar-benar merasa tersaingi karena wajah Devia memang di atas rata-rata yang bisa membuat Kak Fahmi terpesona. Jangan sampe!!
“Dia nanyain Jihan...,”
Bukannya jingkrak-jingkrak karena senang karena akhirnya cowok itu mengakui keberadaannya, mulut Jihan justru ternganga. Ia heran, bingung.
“Gue?”
“Dia sengaja dateng ke gue dan bilang “lo temen sekelasnya Jihan kan?” gitu,”
“Trus lo jawab?”
“Gue jawab iyalah. Gue bilang, “Jihan temen sebangku gue” trus gue ngacir ke kamar mandi,” jawab Devia santai.
“Ah! Kenapa lo langsung ngacir!!” ucap Riana kecewa.
“Gue kebelet, Na!” bela Devia.
“Berarti bukan gue...,” ucap Jihan pelan. Kedua temannya itu hanya diam.
Iya, di kelas mereka ada dua Jihan. Teman sebangku Devia namanya Jihan Mahira, sedangkan Jihan teman sebangku Riana ini Jihan Kirana. Dan sialnya, kedua Jihan ini sama-sama mengagumi Kak Fahmi pula!
Jihan memandang Jihan Mahira sejenak dari depan kelas. Cewek itu sedang ketawa-ketiwi dengan teman-temannya yang lain. Jihan seketika murung dan mengutuk guru TU yang menempatkan dua nama Jihan di kelas yang sama.
“Tapi, kayaknya lo deh yang dimaksud,” kata Devia menepuk bahu Jihan. Jihan memandangnya tak mengerti. “Lo kan ikut ekstra pecinta alam dan sering ketemu dia dibandingin Hira. Dan lo juga anggota OSIS. Jadi, kemungkinan besar yang dimaksud elo karena dia lebih sering ketemu lo. Mana dia tau kalo kelas ini punya dua Jihan?”
“Dan lo sempet ngobrol gitu kan sama dia. Jadi pasti lo deh, Han,” sambung Riana.
“Sempet ngobrol?” tanya Devia.
“Iya, renyah banget gitu. Dan sedikit menyanjung Jihan, buat dia makin GR,” kata Riana menyikut-nyikut lengan Jihan. Jihan tersenyum, meski senyumnya itu lemah tenggelam dalam kemurungan.
“Tapi, akhir-akhir ini Jihan kan sering nyapa dia,” kata Jihan.
“Iya juga sih...,” kata Devia.
Hal itu membuat Jihan murung sampai bel pulang dibunyikan.

***

Nggak terima! Itu yang aku rasain sekarang. Yang suka duluan siapa, yang akhirnya tau namanya juga siapa! Lagian, kenapa sih nama Jihan pasaran banget! Mama, Papa, kok kasih nama aku Jihan sih! (sembarangan).
            Namun, jika itu semua terjadi, biarlah Kak Fahmi untuk Jihan Mahira. Bukan Jihan Kirana. Sepertinya itu juga waktu yang tepat untukku melepaskan dia.
Muhammad Fahmi Kurniawan : ‘( </3 !
“Permisi,”
Kata-kata itu langsung membuat Jihan cepat-cepat menutup bukunya sebelum ada yang tau. Jihan memang sedang menulis catatan tentang hari ini saat dia iseng duduk di bawah pohon asam sepulang sekolah. Ia sedang malas untuk pulang, meski sekolah malah bakalan buat dia patah hati.
Jantung Jihan skotjam dan mulut ternganga meski nggak maksimal ketika mendapati siapa yang menegurnya. Pemilik nama yang ia tuliskan tadi. Kak Fahmi!!
Kak Fahmi terlihat agak tengsin melihat Jihan berekspresi seperti itu. Namun Jihan buru-buru menjawab kata-kata cowok di depannya. “Ya, ada apa?” tanyanya berusaha tenang.
“Lo Jihan kan?”
“I... iya...”
“Kelas X-3?”
“Iya, tapi di kelas X-3 ada dua Jihan, kak. Jihan Mahira, sama Jihan Kirana,”
“Trus, lo Jihan siapa?”
“Kirana. Jihan Kirana,”
“Oh. Singkat aja ya. Gue...,” kalimat Kak Fahmi menggantung.
Jihan makin GR. Ternyata Kak Fahmi mencarinya! Bukan Jihan Mahira! Kira-kira dia mau ngomong apa ya? Masa mau nyatain cinta? Berarti dia respon dong! Jihan jadi girang setengah mati.
“Jadi anak jangan lebay kalo ketemu gue. Gue jadi risih. Udah, gitu aja. Semoga lo ngerti,”
BLAR!! Seperti ada petir yang menyambar di siang bolong seperti ini. Apa barusan? Apa barusan hah?
Seketika semua angan tentang Kak Fahmi dilanda segala bencana. Hancur. Kacau. Lenyap, ditelan apa yang ia katakana tadi. Setelah mengatakan itu dengan sadisnya, Kak Fahmi melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Meski sebenarnya Jihan sudah memperkirakan dan menyiapkan mental, ia tak menyangka jika sakitnya sesakit ini.
Mata Jihan memerah dan mengabur dengan rambut yang dibelai angin dengan lembut, terus memandangi cowok itu hingga menghilang.
Ia membuka kembali catatanya.
Really. It’s time for me to let you go… 

Dan tulisan itu langsung mengabur karena tetesan air mata...

***

Esok harinya tak lagi ada kehebohan dari Jihan ketika melihat Kak Fahmi. Dia bersikap normal namun tetap menyapa karena cowok itu seniornya di OSIS maupun ekstra pecinta alam. Riana lega, tapi terkadang ia rindu dengan ocehan lebay Jihan.
            Tapi lain dengan Fahmi sendiri...

***

Fahmi kaget karena Jihan benar-benar menuruti ucapannya yang sadis kemarin. Padahal, sungguh Fahmi panik dan gugup jika berhadapan dengan Jihan. Cewek itu selalu berhasil membuat jantungnya melompat-lompat seperti kelinci setiap kali bertemu. Dan kemarin itu sebenarnya Fahmi ingin minta nomor HP Jihan. Tapi saking gugupnya, dia malah mengacaukan semuanya, malah membuat cewek yang disayanginya itu tersakiti. Tapi ada benernya, memang Fahmi agak ternganggu dengan sikap lebay Jihan setiap kali mereka bertemu tapi bukan ini yang Fahmi inginkan.
            Hari-hari Fahmi semakin sepi tanpa Jihan yang sepertinya tak menganggapnya ada jika sedang jauh. Kalau biasanya kan, Jihan selalu memperhatikannya. Kali ini tidak, dilihat sebentar lalu dihiraukan. Membuat Fahmi putus asa namun ia tak dapat berpaling. Jihan cinta pertamanya.
Pelajaran sejarah pun ia tinggalkan untuk memikirkan Jihan. Tak lama, bel pulang berbunyi membuat Fahmi lega karena dia telah membuat keputusan. Ia ingin menemui Jihan dan bicara semuanya.
Fahmi mendapat tatapan heran dari semua teman sekelasnya karena tumben-tumbennya ketua OSIS itu buru-buru cepat pulang. Padahal, Fahmi buru-buru bukan ingin pulang. Ia melangkahkan kaki menuju kelas X-3 dan bersyukur menemukan Jihan sedang membaca novel di bangku depan kelas.
“Jihan...,” kata Fahmi terengah-engah.
Jihan kaget begitu melihat Kak Fahmi ada di depannya. Namun, ia segera menghapus semua angan yang belum sepenuhnya lenyap paska kejadian kemarin. Mungkin aja memang ada yang mau diomongin dan penting. “Ya, ada apa kak?” tanyanya beranjak berdiri.
“Maafin gue bicara gitu kemarin,”
Jihan tercengang. Tapi kemudian ia tersenyum simpul. “Nggak masalah kok kak. Emang saya juga berlebih...,”
“Bukan gitu Jihan...,” potong Kak Fahmi cepat. “Sebenarnya. Kemarin... gue... mau minta nomer HP lo karena... karena...,”
Fahmi melihat Jihan menunggu kata-katanya. Ia melanjutkan kata-katanya dengan gugup. “Gue suka sama lo sejak kita ketemu pas MOS,”
Jihan ternganga, kali ini maksimal.
“Ciyeeeeeeeeeeeee...”
Mereka berdua kompak menoleh ketika seseorang bersorak. Riana. Jihan memang sebenarnya sedang menunggu Riana di depan kelas karena sekarang jadwal Riana piket kelas. Fahmi sendiri juga tak menyangka jika ada orang lain yang mendengar kata-katanya.
“Jihan juga suka banget kok kak,” ledek Riana sambil terkekeh-kekeh. Wajah Jihan seketika merah semerah tomat.
“Bener, Jihan?” tanya Kak Fahmi.
“Ehm... hmm...,”
“Iya kak! Kalo nggak percaya, baca aja nih!” kata Riana sambil menyodorkan buku catatan kesayangan Jihan. Jihan langsung pucat pasi.
“Eh! Jangan! Pantesan gue cariin tadi nggak ada!!” hardik Jihan pada Riana. “Kak, sini kak,” kata Jihan berusaha merebut bukunya yang sudah ada di tangan Kak Fahmi.
“Bentar Jihan, bentar,”
Jihan pasrah. Kemudian ia melihat berbagai ekspresi. Mulai dari tersenyum kecut, kening mengerut, ngakak, tersenyum malu, nyengir lebar, sampai tatapan ngeri. Kak Fahmi melirik Jihan, disambut dengan senyuman malu.
Nggak ada yang nggak mungkin meski kita harus berhati-hati dalam menggantungkan sebuah harapan pada seseorang. Untuk itu, kalau sudah memilih untuk berharap, siap-siap juga mental kuat jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

@anggiiaaa

Komentar