Tania Tanpa Alvin?
Tak ada lagi yang mampu dilakukan Tania sekarang, selain
menangis tanpa suara dan memegangi dadanya yang sesak. Kadang ia menjerit
histeris, seakan menyuruh Tuhan untuk membalikkan segalanya. Tapi nyatanya
semua sudah terjadi. Namun, Tania tidak menginginkan ini semua! Apa Tuhan tak
mendengar doa Tania? Kenapa Tuhan? Apa salah Tania??
Sekarang Tania sedang memeluk lututnya, terus menangis tanpa suara sambil menggemgam ponsel. Layarnya bertuliskan ia sedang menghubungi seseorang untuk meredakan ini semua. Sungguh, hal yang selama ini Tania takuti akhirnya terjadi. Pikirannya kacau. Dadanya sesak. Hatinya perih luar biasa. Sebagaimana bisa ada anak manusia melakukan hal sejahat ini padanya? Tuhan, apa yang Kau sedang lakukan?
Sekarang Tania sedang memeluk lututnya, terus menangis tanpa suara sambil menggemgam ponsel. Layarnya bertuliskan ia sedang menghubungi seseorang untuk meredakan ini semua. Sungguh, hal yang selama ini Tania takuti akhirnya terjadi. Pikirannya kacau. Dadanya sesak. Hatinya perih luar biasa. Sebagaimana bisa ada anak manusia melakukan hal sejahat ini padanya? Tuhan, apa yang Kau sedang lakukan?
Tania seperti kehilangan separuh jiwanya. Ia tertatih. Namun
semua ini telah terjadi. Sekeras apapun Tania menangis atau mencoba, suara
monoton operator hanya bisa berkata, “Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif
atau berada di luar situs area. Cobalah beberapa saat lagi...,”
***
Esoknya,
butir demi butir air keluar dari mata Tania secara perlahan. Ia sekarang sedang
memandang kosong pelataran parkir Fakultas Ekonomi di salah satu Universitas
Negeri di Surabaya. Meski keluarnya air mata itu beriringan perlahan, namun
napas Tania memburu. Dadanya begitu sesak.
Sia-sia pengorbananku?
Segini aja? Bagaimana dengan usahaku? Kau anggap apa? Hah?! Kenapa kamu sejahat
ini, Alvin... hanya itu yang terus bergema
dalam hatinya sedari kemarin. Lalu Tania mengambil ponsel dari saku celananya.
Ia mencoba kembali menghubungi seseorang. Tetap saja, tak ada kata lain yang
bisa dikabarkan operator tentang nomor yang dituju Tania.
Tania mengusap air matanya pedih. Ia benar-benar tidak siap
mental untuk menghadapi semua ini. Tuhaaaaaaan!! Dengarkan aku kali ini saja
Tuhan..............
“Hei, Tan!” sapa seseorang yang tiba-tiba saja ada di
sampingnya sambil menepuk bahunya pelan. Buru-buru Tania mengusap air matanya
yang tersisa dan bersikap senormal mungkin. Namun, yang ia dapati tatapan tajam
temannya itu saat ia menoleh.
“Kenapa? Alvin lagi?!” kata temannya itu ketus. Tania malah
memandang sendu kea rah bawah dan memilih tak mengatakan apapun.
“Tania plis deh! Di dunia ini masih banyak cowok yang LEBIH
daripada dia!!” kata temannya itu tetap ketus dan penekanan ucapan di kata
“lebih”.
“Kamu nggak ngerti apa yang aku rasain, Van...,”
“Ya Tuhan, cintaku Tania. Aku tau apa yang kamu rasain meski
nggak sepenuhnya. Tapi... aduh!!” katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
tak gatal dengan kasar. Frustasi. “Sekarang aku tanya ya. Kamu nyiksa diri kamu
sendiri seperti ini apa bisa buat Alvin kembali? Bisa?” katanya dengan nada
menantang.
Yang ditanya malah mulai menangis lagi. Cewek itu jadi serba
salah.
“Tania... maksudku sebenernya...,” katanya mencoba lembut.
Tania malah jadi parah. Tangisnya makin kencang disertai
sesenggukan.
“Tania... jangan nangis dong... brenti nangisnya, ya?” bujuk
temannya itu sambil merangkul Tania.
“Aku masih nggak ngerti kenapa Alvin bisa setega ini,
Van...,”
“Kamu nggak perlu kaget. Kamu kan tau, Alvin bukan anak yang
baik-baik. Kenapa kaget coba?”
“Trus, apa aku yang terima apa adanya dia nggak cukup?”
“Ini bukan salah kamu, Tan. Ini salah dia yang nggak ngehargai
apa yang kamu lakukan untuk dia...,”
Tania mencoba untuk menghentikan tangisnya. Kasihan juga
Vanda yang selalu repot karena keadaan Tania sekarang. Sampai kemarin sepulang
kuliah jam 10 malam, Vanda nyempatin diri buat ke rumah Tania buat menghibur
sahabatnya itu.
“Senyum dong...,”
Mendengar Vanda berkata seperti itu, Tania berusaha mengatur
napasnya dan tersenyum meski terlihat masih terpaksa.
“Aku kasih tau ke kamu sesuatu biar kamu tenang,”
“Apa?”
“Nanti aja. Bukannya kita mau ke redaksi sekarang? Jadi
kan?”
“Dengan penampilan yang seperti ini?”
“Hmmm... aku bawa obat tetes mata. Nggak ngempesin sembab
sepenuhnya sih, tapi minimal agak mendingan lah. Sebelum itu, cuci muka dulu
sana,”
***
3
tahun kemudian...
Senyum ramah menghiasi wajah Tania
setiap ketika bertatap muka dengan orang-orang. Dia sekarang ada di sebuah toko
buku yang lumayan besar dan sedang mengadakan pameran. Tania senang luar biasa.
Nggak jarang ia melayani penggemar membubuhkan tanda tangannya pada buku komik
karyanya. Ya, sejak SMP Tania menemukan bakatnya, yaitu membuat komik.
Ceritanya juga fresh, nggak
ngebosenin, asik, dan bisa dinikmati oleh semua kalangan umur. Tania
mengkategorikan karyanya sendiri, ada yang cerita remaja, anak-anak mulai
balita sampai anak SD, atau bahkan dewasa.
Sehabis meet and greet
plus bagi-bagi tanda tangan, sehabis ini akan dibuka sesi foto bareng. Tania
sama sekali nggak nyangka, banyak juga peminat komik karyanya. Ia benar-benar
bersyukur sama Tuhan dan Vanda, sahabat terbaiknya yang mengenalkan redaksi
penerbit yang sekarang juga jadi penyelenggara pameran ini.
Saat masih sibuk membubuhkan tanda tangan pada orang yang
notabene remaja, Tania menoleh sebentar, memandang ke arah dimana Vanda berada.
Rupanya, sahabatnya itu tetap disana, setia menunggu meski acara ini sudah
berlangsung hampir 3 jam. Dan ternyata, Vanda juga sedang menatap ke arahnya
sambil tersenyum. Saat Tania membalas senyum, Vanda mengacungkan jempolnya.
Tania merasa bangga dan merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia
memiliki sahabat yang luar biasa seperti Vanda.
Seusai sesi tanda tangan dan pemotretan hingga acara
selesai, Tania tak ingin pulang langsung meski seluruh anggota tubuh termasuk
tangannya serasa mati ototnya, serta pipinya yang pegal karena harus pasang
senyum setiap kali kamera membidik. Tania malah menyeret Vanda buat mampir dulu
ke toko buku. Sekadar ingin beli buku novel terbaru sih, begitu alasannya.
Ketika di toko buku, Vanda berhenti di salah satu rak buku
yang berisikan buku-buku arsitektur. Oh ya, lupa cerita, Vanda seusai kuliah
jadi arsitek handal lho. Ia malah sekarang sedang menggarap gedung DPRD yang
baru. Nggak sia-sia ia bercita-cita dan sekolah tinggi-tinggi untuk itu. Vanda
memang hebat.
Tania memilih meninggalkan Vanda sejenak yang sepertinya
serius membaca salah satu buku. Daripada cuma memperhatikan Vanda nggak jelas
karena sama sekali nggak ngerti tentang arsitektur.
Tania beranjak ke rak buku komik. Ia tersenyum sumringah
melihat salah satu komik karyanya nangkring disana. Ia mengambil sebentar,
bahagia sekaligus bangga melihat ada namanya di bawah buku komik untuk
anak-anak itu. Lalu ia meletakkannya kembali, dan berjalan menuju rak buku
novel sesuai tujuannya.
Baru tiga langkah, ia menemukan komik karyanya lagi, tetapi
di rak bagian bawah. Kali ini, ia tak sempat melihat namanya, karena ada
seseorang yang menepuk-nepuk bahunya dengan telunjuk.
Tania menoleh. Anak kecil, perempuan. Imut dan... cantik
sekali. Meski yang dominan imutnya, tapi Tania yakin, besar nanti anak ini
pasti cantik sekali. Dan agak mirip... seseorang...
“Ada apa adek?” tanya Tania manis karena ia suka sekali anak
kecil.
Anak perempuan yang diperkirakan Tania masih duduk di bangku
TK itu menjawab dengan polosnya, “Kakak tau Kak Tania?”
Dengan ekspresi kaget, Tania menjawab, “Kak Tania yang mana,
sayang?” katanya sambil membelai rambut anak itu.
“Kak Tania yang ini,” katanya sambil menunjuk sebuah buku
komik yang tak asing lagi di mata Tania. Buku yang setengah lusuh itu dwilogi
dari trilogi serial “Kura-kura yang Pura-pura” karya Tania.
“Kenapa adek cari Kak Tania?”
“Kata Mama, Kak Tania ada disini...,”
Tania tersenyum dan kembali membelai rambut anak itu. “Nama
adek siapa?”
“Zahra, kamu itu Mama cari kemana-mana...,”
Tania mendongak saat seseorang menjawab pertanyaannya. Tentu
saja, karena saat kalimat itu dinyatakan, anak kecil itu menoleh dan ikut
mendongak.
“Zahra cari Kak Tania, Ma...,”
“Kak Tania-nya di toko buku yang disana. Lagian pamerannya
sudah selesai,”
Anak yang bernama Zahra terlihat murung. Tania tersenyum
simpul sambil beranjak berdiri. “Kebetulan, Tania yang Zahra maksud saya,”
“Oh ya?” tanya ibu itu dengan ekspresi kaget. “Wah,
kebetulan sekali. Kamu beruntung Zahra,”
“Jadi kakak ini Kak Tania?” tanya Zahra disambut anggukan
kepala Tania. “Kakak, Zahra minta tangan tanda...,”
“Tanda tangan, Zahra,” kata ibunya lembut sambil mengusap
kepala anaknya. “Anak saya entah kenapa dapat kata tanda tangan dari siapa,”
ceritanya pada Tania. Tania tertawa kecil dan mulai jongkok lagi agar bisa
melihat gadis kecil itu.
“Zahra mau Kak Tania tanda tangan disini?” tanya Tania
menunjukkan buku komik milik Zahra yang sedari tadi dipegangnya. Zahra
mengangguk. “Mau di sebelah mana, sayang?”
Zahra membalikkan buku tersebut sehingga kover belakang
telihat. Lalu, ia menunjuk seekor kura-kura dengan jari-jari kecilnya yang
manis. Pintar sekali, batin Tania. Tania sejenak mendongak dan mendapati sang
ibu hanya tersenyum melihat tingkah anaknya.
“Toby si kura-kura ya?” kata Tania sambil mengambil spidol
dari saku celananya. Zahra mengangguk. “Zahra suka siapa?” tanya Tania sambil
membubuhkan tanda tangan.
“Boby si kelinci,”
“Oooh, kenapa nggak Toby kura-kura?” tanya Tania sambil
menyerahkan buku tersebut seusai menandatanganinya.
“Toby jahat. Suka bohong,”
Tania tersenyum.
“Anak saya penggemar kamu berat lho,” kata sang ibu saat
Tania beranjak berdiri. “Dia ikutin seri Kura-kura yang Pura-pura,”
“Oh, saya berterima kasih sekali,”
“Saya jadi nggak khawatir kalau Zahra baca sesuatu. Cerita
kamu menyenangkan dan mendidik,” puji sang ibu.
“Terima kasih,” kata Tania tersenyum.
“Ma, Zahra udah ketemu?”
Suara itu terdengar seraya munculah seseorang dari belakang
tubuh sang ibu. Sepertinya itu ayahnya. Senyum Tania langsung memudar. Dia... dia...
nggak salah lagi. Meski sudah lama Tania lupakan, Tania yakin dia Alvin.
Bedanya sekarang ia memakai kacamata. Dan ini... istrinya? Zahra, anaknya? Anak
selucu ini? Saking kagetnya, tak sadar Tania nyaris melongo maksimal. Alvin
sudah berkeluarga. Dengan istri yang terlihat masih sangat muda, cantik, serta
anak perempuan yang manis.
Andai kalian tau... batin Tania.
Sepertinya tak hanya Tania yang tercengang, Alvin juga. Jika
Tania melongo, Alvin membelalakkan matanya. Sebenarnya, Alvin tau kalau anaknya
ngefans berat sama Tania. Tania mantan pacarnya, yang dia tinggalkan secara tak
bertanggung jawab dan berselingkuh dengan Sarah, istrinya sekarang.
Tania bersyukur setengah mati, hatinya tetap normal!
“Iya. Malah dia nemuin idolanya,” jawab sang ibu.
Tania tersenyum. Normal. Dia sepertinya sudah tak
terpengaruh. Lain dengan Alvin yang masih kaget.
“Bilang apa sama Kak Tania sayang?” kata sang ibu.
“Makasih kak...,”
“Makasih juga Zahra sayang,” kata Tania membungkuk dan
mengusap kepala anak itu.
“Yuk ke sana dulu. Makasih ya, Tania,”
“Iya sama-sama,” kata Tania mengangguk pelan.
Setelah mereka beranjak dari tempat itu, ternyata keluarga
kecil itu sedang menuju ke sisi lain toko buku. Lama diperhatikan,
berulang-ulang Alvin sengaja memandang Tania, karena Tania memang belum
beranjak dari tempatnya berdiri. Tania tersenyum penuh kemenangan, karena dia
benar-benar baik-baik saja tanpa Alvin, membuat Alvin tengsin.
Satu saja yang selalu dipegang Tania tentang Alvin. Ucapan
Vanda di redaksi 3 tahun lalu.
“Hidup itu seperti roda. Kadang kita di atas, kadang di
bawah. Dan putarnya juga nggak pasti. Kadang mundur, kadang maju. Hidup itu
adil. Orang sepintar atau setaqwa apapun, tetap saja hidupnya ada susahnya.
Nah, sekarang kamu mengahadapi ini, Tan. Percuma kamu nangis dan nyiksa diri
kamu sendiri, itu sudah terjadi dan tak mungkin kembali. Segala masalah pasti
ada jalan keluarnya, dan ada hikmahnya. Kamu beruntung ditinggal sekarang, coba
kalau kamu ditinggalnya pas kamu sama Alvin udah nikah. Sakitnya makin parah
kan? Anggap masalah adalah anugerah, karena masalah tak lain tak bukan adalah
cara Tuhan untuk membuat kita semakin lebih baik, meski dengan cara yang kasar,
istilahnya...,”
Kata-kata itu membuat Tania semakin dewasa. Vanda memang
segalanya...
Percayalah, jika kamu sedang menderita sekarang, esok kamu
akan tersenyum bahagia, bahagia yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya...
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar