Tak Lagi Nyata



Stevi memandang kosong sebuah kolam ikan dan air mancur kecil milik keluarganya yang berada di halaman belakang rumah. Suara gemericik air, tiupan angin yang perlahan, dan bau tanah yang lembab karena baru saja hujan mengguyur daerah ini. Suasana seperti ini, bagi Stevi adalah suasana yang paling enak dibuat melamun.
     Tapi tak lama. HPnya berdering setelah 10 menit ia tak bergeming.
“Halo? Iya, gue tau. Masih jam berapa juga. Hah? Udah jam 6? Ngaco lo! Hah?” setelah mengatakan itu pada orang di seberang, ia menolehkan kepalanya, menatap jam dinding yang tak jauh dari tempat dimana ia duduk. “HAH!!”
Beberapa saat kemudian, Stevi sudah terlihat berjalan menyusuri koridor sekolahnya. Ia nyaris saja telat masuk kelas jika temannya tadi tidak menghubunginya. Sekarang, ia masih punya waktu 10 menit untuk sekedar ngobrol bareng teman-temannya, padahal biasanya ia punya waktu lebih dari itu sebelum bel masuk berbunyi. Stevi memang paling semangat masuk sekolah, tapi, lebih dari sebulan yang lalu, ia berubah dari kebiasaannya itu.

Beberapa meter lagi sampai tujuan, langkahnya melambat ketika ia melintasi mading sekolahnya. Langkah yang semula bersemangat, menghirup udara pagi yang bau tanah namun sejuk dan segar karena habis hujan. Senyum yang dikembangkannya mulai memudar. Mata yang awalnya berseri-seri seketika berkabut. Hati yang awalnya berbunga-bunga menyambut hari baru seketika menjadi kelabu. Langkahnya pun terhenti, tepat di salah satu wacana yang dicetak di kertas buram.
Matanya terus mengikuti dari awal sampai akhir paragraf. Entah apa yang membuatnya tertarik untuk membaca kata demi kata dari wacana tersebut, padahal foto yang ada di samping wacana itu cukup membuatnya menderita. Sampai akhirnya ia sanggup melahap habis semua kata dalam wacana tersebut dengan ending mata mengabur. Hari ini diawali dengan pahit yang amat.
“Pagi, Stev,” sapa seseorang. Spontan, Stevi mengusap kedua matanya yang mengabur akibat air mata yang nyaris jatuh itu.
Sambil menyiapkan hati yang habis diiris-iris oleh wacana di depannya, ia menoleh seraya tersenyum. “Pagi juga,”
Sekeras apapun Stevi menyembunyikan lukanya, cowok itu mengetahui. Rupanya, ia sudah memperhatikan Stevi semenit setelah Stevi memutuskan untuk membaca wacana itu. Ia menatap Stevi iba, sedangkan yang ditatap berusaha tersenyum dan menunduk, belum berani menoleh lagi karena sedang bergulat dengan air matanya sendiri yang bersikeras untuk keluar.
Cowok itu menatap mading yang sukses menorehkan luka pagi hari di hati Stevi. “Seharusnya anak jurnalis nggak perlu posting ini,” komentarnya.
Mendengar temannya itu berkomentar, Stevi kecewa karena dirinya gagal menyembunyikan tangisannya. Namun, ia terus berusaha tersenyum, mengambil napas dalam-dalam, dan terus mengusap matanya. “Nggak masalah, Ndre,” katanya tersenyum kecut.
“Tapi buat lo jadi nangis gitu. Seharusnya anak jurnalis lebih mau ngerti perasaan lo...,”
“Dia punya semua orang,” bantah Stevi cepat. “Nggak cuma gue yang sedih. Lo juga kan?” katanya akhirnya memberanikan diri untuk menoleh memandang temannya itu.
“Tapi Stev...,”
“Udahlah,” potong Stevi cepat. “Lagian kejadiannya udah lama,” suaranya mulai bergetar. “Gue aja yang nggak bisa terima kenyataan. Gue aja yang cengeng. Gue aja yang...,”
“Stev, berhenti salahin diri lo sendiri,” potong cowok itu. Suaranya agak keras sehingga yang sedang lalu lalang di koridor tertarik untuk menoleh. Stevi tersenyum kecut.
Stevi menghela napas dalam-dalam dan memandang foto itu sekali lagi. Lalu ia tersenyum, kali ini tulus. Cowok di sebelahnya masih terus memandangnya iba.
Tiba-tiba, Stevi teringat sesuatu. Ia menoleh cepat ke cowok di sebelahnya dengan tatapan waspada, membuat orang yang dipandangnya mengerutkan kening. Heran.
“Sekarang ada ulangan harian matematika ya?” tanyanya panik. Si cowok mengangguk polos. Stevi memandang jam tangannya. “Sial! Lima menit lagi! Gue belom belajar!!” katanya setengah berteriak lalu lari kalang kabut menuju kelas, hendak mengadakan les mendadak dan super singkat dengan teman sekelasnya yang jago pelajaran menghitung itu. Saking paniknya, Stevi belum sempat berpamitan dengan cowok tadi. Sementara itu, cowok yang ternyata bernama Andre itu menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat Stevi menerobos koridor sambil bermaaf-maafan karena menabrak beberapa orang.

***

Sehabis ulangan matematika yang aduhai susahnya, waktunya kelas XI IPA-2, kelas Stevi, olahraga. Pak Sarwan, guru olahraga mereka adalah guru yang menyenangkan. Bahkan, ada yang bilang beliau lebih pantas jadi pelawak. Lucu, kocak, humoris. Salah satu pelajaran yang baru-baru ini difavoritkan Stevi karena selama bersekolah, ia bego olahraga. Benar orang bilang, cintailah dulu gurunya baru pelajarannya. Karena sudah mencintai pelajarannya, maka akan mudah dipelajari. Stevi pernah berfikir kenapa Pak Sarwan tidak menjadi guru matematika saja, biar nilainya nggak terus-terusan berkepala enam.
Hari ini, pelajaran bola voli. Setelah diberi materi dan tes awal, semua siswa diperbolehkan olahraga bebas. Stevi mengajak Fany, teman sebangkunya untuk sekedar passing bola voli berdua. Sesekali, Stevi iseng menguatkan tangannya mengoper bola agar Fany kewalahan. Fany sih nggak bego olahraga, tapi agak malas sama yang namanya bola voli. Yang membuat Fany sekarang menyentuh dan memainkan bola itu ya nggak lain nggak bukan atas paksaan sadis dari Stevi. Fany diancam nggak akan mendapat sontekan dari Stevi saat ulangan bahasa Indonesia nanti, maklum Fany agak eror pelajaran itu. Padahal pelajaran bahasa negaranya sendiri.
“Stev! Biasa aja kalo passing bola! Nggak usah pake tenaga ekstra gitu napa? Gue males ambil bola...,” keluh Fany disambut kekehan Stevi. Dengan bibir agak manyun, Fany menyeret langkahnya untuk menghampiri bola yang lumayan jauh mendaratnya.
Sambil terkekeh-kekeh, Stevi menoleh ke samping. Sekedar melihat Andre dan kawan-kawannya yang sedang bermain basket, karena sebelumnya terdengar sorakan meriah dari arah mereka. Tapi nyatanya, ada sosok yang tak asing disana selain Andre dan anak-anak cowok lainnya. Sosok yang benar-benar ia rindukan. Sosok yang benar-benar diharapkan Stevi datang kepadanya, atau minimal datang ke mimpinya. Sosok yang membuatnya nyaris gila sebulanan terakhir ini. Cowok itu! Yang fotonya sedang dipajang di mading sekolah! Cowok itu! Reza!
Seketika Stevi terpaku melihat sosok yang dilihatnya sedang tersenyum kepadanya. Tubuhnya menegang. Membeku. Seketika ingatannya membuka layar tancap dadakan, memutar kembali kenangan yang ditinggalkan Reza. Hati Stevi serasa diiris kembali.
“Nggak mungkin,” katanya dengan suara bergetar namun ada seulas senyum di bibirnya. Senyum tak percaya. Namun sosok itu mulai mendekat, mendekat, terus mendekat dengan senyum yang belum dihempaskannya. Makin sesak saja napas Stevi. Ia menggeleng tak percaya sambil tersenyum aneh. Meski dalam hatinya ia sangat merindukan sosok itu, namun ia sudah sadar, Reza tak lagi nyata. Tak lagi ada. Reza sudah nggak ada!
“Nggak mung... mu... mung... ki... kin...,” kata Stevi tergagap karena sosok itu tak berhenti mendekat. “Lo ngapain bisa disini, Rez? Lo kan udah nggak ada,”
Sosok itu seperti mendengar kata-kata Stevi. Ia berhenti mendekat, dan senyum pun lenyap. Ia menatap Stevi nanar, membuat Stevi serba salah. Dari dulu, ia nggak sanggup lihat Reza murung seperti ini. Tapi ia ingat kembali pada kenyataan. Reza tak lagi nyata. Namun, Stevi juga nggak gila. Ia nggak sedang berkhayal. Ia benar-benar melihat cowok itu sekarang. Stevi menggeleng tak percaya. Pikiran dan hatinya saling beradu.
“Stev! Tangkap!” seru Fany sambil melayangkan bola voli ke arah Stevi. Saat bola sedang melambung, melihat Stevi tak bergeming membuat Fany bingung sekaligus panik, karena bola nyatanya akan menghantam kepala Stevi jika cewek itu tak segera bergerak. Kepanikan Fany makin menjadi karena Stevi belum mau bergerak karena bola hanya beberapa senti lagi dari wajahnya.
“STEVI AWAS!!!” Fany akhirnya berteriak histeris, membuat semua pasang mata yang ada di lapangan tertuju padanya. Tak tepat tertuju padanya, kali ini agak bergeser menuju Stevi yang mulai tersadar atas teriakan Fany.
Tapi bola sudah cukup dekat. Kecelakaan tak dapat dibendung lagi. Bola itu dengan keras menghantam kepala Stevi hingga ia jatuh tersungkur. Fany ternganga, begitu juga semua yang menyaksikan kejadian itu secara live. Stevi jatuh terkapar, sedangkan bola voli itu terpental, bergulir menjauh seakan tak bertanggung jawab. Tanpa pikir panjang, semua yang menyaksikan termasuk Fany dan Andre berlari berhamburan menghampiri Stevi layaknya semut yang menemukan sebutir gula jatuh.
Andre yang sampai duluan karena jaraknya dengan Stevi lebih dekat dari yang lainnya mengangkat kepala Stevi dengan panik. Darah segar mengucur dengan deras dari hidung cewek itu. Rupanya Stevi masih setengah sadar dengan pandangan kabur.
“Stev? Lo nggak papa?” tanya Andre panik.
Stevi nggak menjawab. Ia malah bergumam pelan, amat sangat pelan hingga hanya beberapa orang yang paling dekat dengannya yang bisa mendengarnya, “Reza...,”
Andre kaget setengah mati. bahkan ia sampai membelalakkan matanya. “Stevi...,” katanya khawatir.
Stevi merasakan kepalanya berputar, membuat pandangannya atas teman-teman yang mengerubunginya semakin kabur, buram, tak jelas, dan lenyap.

***

Tiga hari berlalu. Stevi sukses membuat Andre ternganga saat ia membereskan buku-buku saat hendak pulang. Stevi berkata dengan senyum manis mengembang di wajahnya. Kali ini terlihat tulus dan senyum Stevi yang sesungguhnya, lepas, spontan, tanpa ada yang mengganjal di hati.
            “Nanti malam ke telaga biasa ya. Hari ini kan ulang tahun Reza,”

***

Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday... happy birthday to you!” Stevi melantunkan lagu selamat ulang tahun dengan ceria sambil meniupkan lilin di atas sepotong kue tart coklat yang kecil bentuknya. Krimnya pun hanya ada di permukaan, karena Reza nggak terlalu suka krim. Lain Stevi, lain Andre. Cowok itu hanya diam karena menganggap Stevi benar-benar hampa dan gila.
Mereka duduk di setengah jembatan di pinggir telaga. Meski sekarang malam yang terang bertabur bintang, Stevi memenuhi papan itu dengan puluhan lilin. Romantis.
“Stev...,”
“Gue nggak gila, Ndre. Gue malah seneng, akhirnya gue lega,”
Kening Andre mengerut tak mengerti.
“Iya. Akhirnya Reza mampir ke mimpi gue dan bilang semuanya. Yang buat gue menderita selama ini sebenernya bukan sepenuhnya karena dia meninggal, melainkan dia nggak pernah bilang kalo punya penyakit hemofilia. Dan akhirnya, gue udah mampu menerima kalo dia udah nggak ada, tapi dia nggak kunjung datang buat ngejelasin semuanya...,”
“Tapi...,”
“Gue belum selesai ngomong. Gue tau, lo bakalan bilang gue kemakan film atau sinetron. Yang namanya orang mati, mana bisa kembali, bahkan bicara. Tapi gue percaya, sebelum empat puluh hari setelah kematian seseorang, orang itu masih bisa keliling kemana aja. Termasuk Reza,”
Andre bungkam. Reza adalah kekasih Stevi, yang hubungannya udah berjalan satu tahun. Tanpa Stevi tau, Reza mengidap penyakit keturunan kelainan darah hemofilia, penyakit darah sukar beku. Suatu hari, Reza mengalami kecelakaan. Tempat kecelakaan terjadi hanya berjarak 1 km dari rumah sakit setempat. Tapi darah Reza terus mengucur, hingga akhirnya nyawa cowok itu tak tertolong, meninggal karena kehabisan darah.
Stevi tersenyum lemah sambil menatap langit. “Tapi sekarang gue lega dan bersyukur banget, karena akhirnya gue benar-benar bisa melepaskan dia,”
Stevi mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya. Foto Reza dan setangkai bunga mawar yang benar-benar sudah kering, hingga tak bisa ditebak, mulanya berwarna apa mawar itu. Lalu ia celingak-celinguk mencari sesuatu. Dan ia girang saat menemukan sebuah triplek yang bentuknya tak karuan. Ia letakkan kue tart tadi di atasnya, lalu foto Reza disandarkan di lilin kue itu, begitu juga dengan bunga mawarnya. Lalu ia beranjak berdiri.
“Mawar ini adalah salah satu mawar dari seikat bunga mawar yang pernah dia kasih ke gue setahun yang lalu...,” katanya. Ia berjalan ke ujung jembatan.
“Lo mau apa?”
“Tempat ini, terakhir gue sama-sama bareng dia. Dan tempat ini, juga tempat terakhir ia disini,”
Mendengar Andre diam tak bergeming, Stevi tertawa kecil yang kecut. “Gue emang gila...,”
Triplek itu ia letakkan di atas air dan ia dorong.
Mereka yang kita sayangi dan telah mati bukan benar-benar meninggalkan kita. Mereka tetap hidup di hati kita, tetap bisa membuat kita menangis, tersenyum, menangis haru, atau bahkan tertawa. Mereka hidup di salah satu bagian dari hati kita, yang bisa kita sebut kenangan...
Happy birthday Reza.

@anggiiaaa

Komentar